Sunday, February 10, 2008

Iklan Rokok Mengepung Kota Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id



Duit rokok, birokrat cadok. Bilbor tak begitu besar itu pernah dipasang di Krisak, dari arah Solo di sisi kiri sesudah monumen. Isi pesannya luhur : mengampanyekan Wonogiri Menuju Sehat 2010. Bilbor di Krisak itu kini hilang, entah mengapa. Tetapi bila pun tetap terpasang, akhirnya hanya menjadi ikon ironi besar bagi Wonogiri. Sebab ketika Anda memasuki kota yang memiliki wakil bupati seorang dokter, pelbagai bilbor yang lebih besar dan berisi iklan-iklan produk yang mengancam kesehatan justru amat dominan di kota kecil ini.

Photobucket

PROMOSI NIKOTIN ! Lanskap Kota Gaplek ini senyatanya sudah sumpek oleh centang-perenangnya iklan-iklan rokok. Dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), para birokrat di Pemkab Wonogiri sepertinya tega menyiksa isi otak warganya untuk setiap harinya dijejali iklan-iklan rokok.

Penetrasi iklan-iklan rokok itu begitu merajalela dan nyaris tidak menyisakan pertimbangan estetika. Para birokrat itu jelas mengidap sakit myopia, cadok, sehingga tidak mampu memikirkan dampak ancaman terhadap kesehatan yang serius akibat rokok yang bakal harus dibayar lunas oleh generasi muda Wonogiri di masa depan.

Sebagai ilustrasi, silakan simak gambaran mengejutkan di balik iklan-iklan rokok itu sebagaimana berita di harian Jawa Pos Radar Yogya yang dikutip BBC (14/12/2007). Harian itu ketika melaporkan hasil seminar “Studi Kelayakan Penyusunan Perda Pembatasan Rokok” di Yogyakarta (13/12/07), mengajukan fakta bahwa dua pertiga dari 19 juta penduduk miskin Indonesia adalah perokok.

Bayangkan kemudian : untuk kebiasaan buruk yang mencandu itu pada sepanjang tahun 2006 saja mereka telah rela menghabiskan uangnya untuk membeli rokok sebesar 23 trilyun rupiah. Angka pemborosan uang itu bisa untuk membeli 5,8 juta ton beras. Dana yang sama juga lebih besar dibanding dana APBN untuk subsidi BBM yang diperuntukkan bagi mereka.


Perang Nikotin di Wonogiri. Indonesia dan termasuk pula Wonogiri, sekarang memang menjadi medan perang industri rokok. Baik yang berasal dari dalam negeri atau pun dari luar negeri. Hampir empat tahun lalu saya telah menulis surat pembaca berikut ini :


Bonus rokok di tiket olahraga
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 20 Agustus 2004


Pengumuman aneh tertera di loket penjualan tiket kejuaraan bola voli yunior se-Jawa Tengah yang berlangsung di GOR Wonogiri, 7/8/2004 yang lalu. Tertulis harga tiket Rp. 3.000 dan pembeli dapat bonus sebungkus rokok. Saya batal nonton dan berpikir, bukankah pabrik rokok itu curang, melakukan dumping harga untuk mempromosikan produknya ?

Bukankah ini rekayasa bisnis tak etis, untuk produk yang berpotensi besar mengakibatkan kecanduan dan sekaligus membahayakan kesehatan ? Apalagi sasarannya anak-anak muda, di pentas yang tujuannya mempromosikan pentingnya kesehatan, yaitu ajang olahraga ?

Rokok, produk yang membahayakan kesehatan, tampil sebagai sponsor pertandingan olahraga sudah lumrah di tanah air kita. Modus serupa juga gencar dalam pertunjukan musik dan acara lain yang diperkirakan menyedot kehadiran anak-anak muda. Memang, anak-anak muda seumuran SMP-SMA kini jadi target utama produsen rokok. Sebab sekali mereka kecanduan rokok di usia rawan itu, kebiasaan buruk tersebut akan sulit hilang sampai dewasa atau meninggal di usia muda.

Peristiwa di GOR Wonogiri itu, dalam skala besar, mencerminkan pribadi bangsa kita yang terbelah. Kita adakan ajang untuk mempromosikan kesehatan, tapi sponsornya produk yang membahayakan kesehatan. Semakin banyak dibangun tempat-tempat ibadah, tetapi seperti kasus ramai di DPRD-DPRD, mereka pun tak malu berkorupsi secara berjamaah.

Kita mengaku mendukung reformasi, tapi sosok-sosok Orde Baru tetap berjaya di panggung. Gembar-gembor tak tergiur kembali terjun ke politik, tapi tetap glibat-glibet dan ngotot mengajukan RUU yang bertabiat sebaliknya. Mengaku harus netral dalam pemilu, tapi bukti VCD yang bocor ke masyarakat berkata sebaliknya pula. Itulah anomali kepribadian kita sebagai bangsa.

Photobucket

NALAR TIDAK GATHUK. Pesan dalam bilbor iklan rokok ini dan pesan yang ada di bawahnya senyata-nyatanya sangat kontradiktif. Tidak masuk akal sehat. Bagaimana bisa produk rokok mampu mempromosikan sehat bagi warga Wonogiri ?


Anomali yang sama juga diperlihatkan oleh pucuk pimpinan bangsa kita, saat itu. Untuk mengedepankan potretnya, saya telah pula menulis surat pembaca berjudul “Nalar Yang Masih Tidak Gathuk,” dan dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 18 September 2004. Silakan menyimaknya di bawah ini :

Sivitas akademika Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pantas dipuji ketika menempuh kebijakan melarang segala bentuk iklan rokok di lingkungan kampusnya. Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto berdemo menuntut dicabutnya sarana reklame rokok dalam suatu kegiatan di kampus. Lebih hebat lagi, Universitas Petra Surabaya menetapkan larangan merokok di lingkungan kampusnya sejak pertengahan Agustus 2004.

Berapa banyak institusi pendidikan kita dan warganya berlaku cerdas seperti ketiga kampus tadi ? Tidak banyak. Banyak kepala sekolah atau rektor yang tidak merasa bersalah bila ring basket, bangku taman di lingkungannya, terpampang merek rokok. Tidak sedikit mahasiswa yang mengadakan kegiatan di kampus, turnamen olahraga misalnya, dengan alasan lebih mudah mencari duit sponsor maka dikirimi proposal utama adalah pabrik-pabrik rokok.

Realitas yang menyedihkan. Insan-insan cendekia kita itu begitu tertabrak upaya memperoleh uang, maka mudah saja terjadi apa yang disebut sebagai cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Demi uang, mereka seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Nalar rancu, tidak gathuk (Jawa) ini, dikuatirkan akan mudah berlanjut bila mereka telah terjun di masyarakat. Dengan berpendapat demi uang maka apa pun suara hati, suara kesadaran, boleh dipinggirkan. Ini benih korupsi, bukan ?

Nalar rancu itu tak hanya diidap oleh insan-insan kampus kita. Pada tanggal 19/8/2004, Presiden kita mengunjungi pasukan TNI-Polri yang bertugas di Aceh, di lembah Aloe Gintong, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Kepada para prajurit, seperti dilaporkan Kompas (20/8/04 :1), Presiden (Megawati-BH) berpesan : Jaga kesehatanmu dan berhati-hatilah dalam bertempur. Berita yang sama telah dimuat di Solopos (20/8/04 :2) bertajuk : Di Aceh, Presiden bagikan rokok kepada prajurit.


Anak-anak sebagai korban. Nalar yang rancu itu mampu mengakibatkan dampak yang serius. Mari kita ikuti cerita dari wartawan William Ecenbarger dalam artikelnya yang berjudul America’s New Merchants of Death, Saudagar-Saudagar Kematian Baru dari Amerika Serikat di majalah Reader’s Digest, 4/1993 : 17-24.

Ia menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru semakin agresif memindahkan pasarnya ke luar negeri. Karena sebagai negara maju dengan penduduknya berpendidikan, berkesadaran tinggi menjaga kesehatan, membuat konsumsi rokok semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas.

Sasaran perpindahannya justru negara miskin dan berkembang. Indonesia dengan penduduk ratusan juta, dengan sbagian besar penduduknya berusia muda, jelas merupakan pasar sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran bidik utama mereka.

Mengapa anak-anak ?

Ketika perokok tua berhenti merokok atau meninggal, masa depan industri rokok bergantung kepada keberhasilan perekrutan konsumen baru mereka, yaitu anak-anak dan kaum muda. Terlebih lagi dari hasil kajian didapat data bahwa seseorang mulai merokok rata-rata pada umur 12 – 16 tahun. Mereka yang tidak merokok ketika berumur 18 tahun akan tidak kecanduan merokok.

Ketika serbuan rokok Amerika mengganas di Indonesia, reaksi apa yang dilakukan oleh industri rokok Indonesia ? Melawan dengan sengit. Terjadilah perang iklan secara sengit antarsaudagar kematian, baik melalui acara musik, olahraga, kegiatan tradisional, pemberian beasiswa, bahkan lomba karya tulis untuk wartawan. Ujung dari itu semua adalah : anak-anak muda kita yang jadi korban. Apalagi bom-bom nikotin itu mereka poles sebagai citra gaya hidup muda, gaul, gaya, funky, masa kini.

Sampai-sampai mahasiswa dan dosen dua perguruan tinggi negeri, UNS di Solo dan Undip di Semarang Jawa Tengah (Kompas Jawa Tengah, 17/9/2004), mau termehek-mehek dan terbius sihir promosi rokok berselubung seminar pendidikan akibat julignya kreator iklan mengemas produk yang berbahaya untuk dikonsumsi anak-anak muda kita.


Orang miskin korban utama. Perang antarsaudagar kematian di atas mirip fenomena perang melawan teroris di negeri kita, pasca 11 September 2001. Saat itu Amerika Serikat bangkit, bergegas menata diri memerangi terorisme. Peraturan imigrasi yang ketat sampai kewaspadaan tinggi, mampu mempersempit ancaman teroris. Akibatnya, teroris memindahkan teaternya melawan AS dan sekutunya di negara-negara luar AS. Termasuk ke Indonesia, di mana teror bom di Bali, Hotel Mariott Jakarta dan di depan Kedubes Australia adalah contoh aktualnya.

Sebagaimana contoh terorisme di atas, perang perebutan pasar rokok merembet ke negara kita. Indonesia karena perangkat hukum relatif lemah dalam regulasi rokok, bahkan presiden kita enggan menandatangani FCTC (WHO Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau, menjadikan negeri ini ideal dijadikan arena perang antarpara penjaja bom-bom nikotin itu.

Korbannya ?

Menteri Kesehatan AS Richard Carmona mengutip isi Laporan Pemerintah AS No. 28 (Deutsche Presse-Agentur, 27/5/2004) menyatakan bahwa merokok mengakibatkan penyakit untuk semua organ tubuh, pada semua tingkatan usia, di seluruh dunia. Tercatat 440.000 warga AS meninggal tiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan merokok dan menghamburkan biaya 157 milyar dollar per tahun, di mana 75 milyar untuk pengobatan dan 82 milyar dollar untuk produktivitas kerja yang hilang.

Itu di Amerika Serikat, sebuah negeri kaya yang penduduknya kebanyakan berpendidikan dan memiliki kesadaran kesehatan yang tinggi. Bagaimana jumlah korban dan kerugian akibat bom-bom nikotin di Indonesia ? Siapa saja mereka ?

Memanglah, konsumen rokok justru sebagian besar adalah orang-orang miskin. Juga anak-anaknya. Termasuk mereka adalah pula warga miskin yang terdaftar sebagai warga Wonogiri, di mana menurut laporan koran Seputar Indonesia (19/1/2008 : hal. 13) disebutkan bahwa Wonogiri termasuk sebagai tiga besar daerah tertinggal di Jawa Tengah.

Photobucket

MENGANCAM SEJAK DINI. Sebuah persewaan playstation di Wonokarto, Wonogiri. Arena permainan yang disukai anak-anak ini ikut diincar sebagai ajang untuk mengajak anak-anak berkenalan dengan rokok.

Sebagai ilustrasi, saya memiliki tetangga yang berusaha warung makan dan juga ada yang mengelola persewaan play station. Antara lain konsumennya adalah sebagian siswa sekolah kejuruan swasta yang lokasinya ada di kampung saya. Mereka itu sering nampak jajan, juga main games, sambil menikmati merokok.

Sementara itu saya pernah meliwati warung-warung yang berada di sekitar sekolah kejuruan swasta, di sekitar Kaloran, Wonogiri Kota. Saat itu jam istirahat, dan saya saksikan sekitar 30-50 persen siswa yang memenuhi warung-warung itu sedang merokok.


Photobucket

GURU KITA TUTUP MATA ? Iklan-iklan rokok juga hadir secara demonstratif di depan hidung komplek sekolah. Nampak dalam foto warung-warung yang berada di sekitar gedung SMP Negeri I Wonogiri terdapat 5 dari 7 warung yang ada memakai kain tabir penutup warungnya yang berisi iklan-iklan rokok.

Sepertinya para guru bekas sekolah saya ini, sudah tak peka akan hal semacam itu ? Apakah fenomena pelajar merokok di sekitar lingkungan sekolah sekarang ini tidak lagi menjadi perhatian para guru-guru mereka ?

Kalau para birokrat, bahkan juga kalangan guru atau orang tua siswa di Wonogiri seolah menutup mata rapat-rapat, juga membutakan nuraninya terhadap fenomena makin gencarnya iklan-iklan rokok dan budaya merokok di kalangan anak didik mereka, lalu siapa lagi yang hirau terhadap masa depan generasi muda kita di Wonogiri ini ?

Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.


Wonogiri, 9/2/2008

tmw

2 comments:

Andri Journal said...

Salam kenal Pak Bambang....Saya orang Wonogiri jg...Memang betul Pak,iklan rokok terpampang dimana-mana..Dulu,saat saya masih kuliah,setiap even yg melibatkan anak muda hampir pasti disponsori oleh produk rokok.Apa sebab?Soalnya produsen rokok sudah dikenal paling mudah untuk dimintai dana,lumayan gede pula...Pesta sepakbola terbesar di Indonesia pun,sponsornya jg rokok...entah Liga...entah Copa...Bagaimana menurut Pak Bambang?
Salam Indonesia Sehat 2010.
^_^

Bambang Haryanto said...

Dear Mas Andri Kusuma Harmaya, salam kenal kembali. Terima kasih untuk komentar Anda yang menarik dan tepat sasaran. Maaf, apa Anda warga Wonogiri yang sekarang juga tinggal di Wonogiri ? Pengalaman Anda di kampus tentang murah hatinya fihak sponsor dari industri rokok yang mudah menggelontorkan uang untuk beragam kegiatan kampus, seperti saya tulis, dapat mengancam tergerusnya akal sehat dan bahkan hati nurani para intelektual muda kita sejak dini.

Demi uang, nalar mereka terancam menjadi tidak jalan, lalu keblinger dengan tidak memikirkan dampak negatif rokok bagi kesehatan bersama di masa depan.

Tentang cengkeraman industri rokok di kancah olahraga sepakbola kita, kalau Anda ada waktu silakan baca artikel saya yang paling mutakhir di blog saya lainnya, Suporter Indonesia (http://suporter.blogspot.com). Selamat terus berkreasi. Sukses untuk Anda.