Sunday, November 20, 2011

Wong Wonogiri, Ngaco di Kereta Api dan Inspirasi

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Anda sempat memperhatikan fasilitas toilet di kereta api ? Atau mungkin sekilas pernah memperhatikan peringatan yang tertera di pintu ruang melepas hajat itu ?

Secara guyon, bila Anda terpaksa menggunakan fasilitas itu untuk membuang isi perut Anda di atas kereta api eksekutif Argolawu jurusan Solo Balapan – Gambir, bayangkan apa yang terjadi. Bisa saja ampas makanan pertama Anda jatuh di Klaten dan yang terakhir jatuhnya di Kutoarjo.

Demikian pula kalau Anda melihat-lihat fasilitas toilet di stasiun Gambir (foto kedua). Apa kira-kira Anda dapat mengaitkannya dengan nama pemain komedi Srimulat era 80-an, Bambang Gentolet ?

Lupakan kedua lelucon scatological terkait kereta api itu. Karena sepanjang ingatan, saya lebih banyak menikmati kesenangan dalam bepergian dengan naik kereta api.

Misalnya, di masa saya kecil, tahun 60-an, kereta api uap dari Stasiun Wonogiri menuju Solo berangkat jam 5 pagi. Suaranya sinyalnya terdengar jelas dari rumah. Tetapi sungguh menyiksa bagi anak kecil untuk bangun pagi.

Hanya karena ingin mengunjungi kakek-nenek saya di Sukoharjo, dan harus naik kereta api, hawa pagi dingin yang menggigit itu terus ditahan-tahan.

Pagi itu, bersama mBah Marto Bangin (adik nenek saya) bersama anak-anaknya Bawarti dan Bhawarto (kini camat Pracimantoro), naik kereta itu pula. Kebetulan ikut naik Atun, anak perempuan manis, tetangga dan teman main. Ia pergi ke Solo menemui ibunya. Saya duduk bersebelahan. Baju hangatnya ikut mengusir hawa dingin yang menerobosi jendela kayu kereta api kuno yang sedang berlari itu.

Kami berpisah di Kepuh. Rombongan mBah Marto Bangin menuju Kedunggudel. Dengan jalan kaki, sekitar 7-8 kilometer, yang bagi saya inilah lelaku untuk bisa untuk menemui kakek-nenek Martowirono.

Ironi burung kasuari. Kereta api yang sama terasa eksotis ketika hampir berhenti di halte Kebon Raja Sriwedari. Anak Wonogiri yang bisa mengunjungi kebun binatang di Solo saat itu adalah suatu kemewahan. Saat itu lokomotif hitamnya selepas Pasar Pon mengeluarkan teriakan dan sekaligus semburan rinai air yang menerpa wajah-wajah kami. “Kereta api akan segera tiba di kebun binatang Sriwedari,” jelas ibu saya.

Ketika memasuki kebun binatang, di bawah menara yang puncaknya menyorotkan lampu berputar, kami segera menemui burung merak dan kasuari. “Burung kasuari itu suka makan kerikil. Seperti kita,” kata ibu saya. Saya tidak mengerti ucapan beliau saat itu.

Tetapi suatu saat, ketika beliau menampi beras jatah sebagai keluarga tentara, saya lihat ibu saya sibuk membuang kerikil-kerikil kecil dari beras tersebut. Ah, lelucon ibu Sukarni (1933-1992, hari ini, 20/11/2011, tepat wafatnya 19 tahun yang lalu) di Sriwedari itu kini baru bisa saya fahami.

Tahun 1978, kereta api komuter Kuda Putih, kini dikenal sebagai Prameks, yang bolak-balik antara Balapan Solo-Tugu Yogyakarta pernah menjadi setting cerita pendek saya yang dimuat di majalah Gadis. Kisah cinta pelajar STM yang sok tahu, dan kena batunya, karena ternyata gadis yang dia taksir sepanjang perjalanan itu seorang mahasiswi psikologi UGM yang sedang melakukan riset untuk skripsinya.

Pada tahun yang sama, sesudah menyaksikan Pekan Wayang Indonesia di TIM Jakarta, saya pulang ke Solo bersama Marlene Heinz, mahasiswi Belanda berambut pirang dengan leher indah, dengan naik kereta Senja.

Keretanya mogok di Klaten. Kami berdua pindah naik colt, turun di Pasar Klewer. Setiap kali bertemu, kejadian pindah-pindah sarana perjalanan itu jadi bahan canda kita. Marlene kini sudah jadi warga Solo, suaminya juga warga Solo, tetapi sejak 1980 (ia kembali ke Belanda dan saya pindah dari Solo ke Jakarta) saya belum pernah ketemuan dengannya lagi.

Masih pula di tahun yang sama, sebagai mahasiswa Jurusan Mesin, Fakultas Keguruan Teknik UNS, saya melakukan praktek kerja di Balai Yasa Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Madiun. Sekitar satu bulan. Untuk pertama kali, saya memperoleh surat balasan dari wanita indah yang membuat saya tergila-gila, yang punya julukan Miduk. Saat itu ia belajar Administrasi Negara Fisip UNS. SMA-nya di Ursulin.

Ia mencantumkan dalam suratnya satu judul lagu dari The Bee Gees yang hadir dalam album bergaya disko : “How Deep Is Your Love.” Tahun 2002 ketika naik kereta api Argodwipangga, lagu itu kembali menyapa. Sejarah tentang dirinya telah saya tulis di blog, dengan harapan nantinya bisa dibaca oleh anak atau cucunya.

Harapan itu justru tidak kesampaian.

“MDK (Miduk) senyum-senyum,” kata adik perempuannya di telepon. Adiknya ini adalah bekas murid sanggar melukis saya, di mana kami terpisah sejak 1980 (dan ia sempat tinggal lama di AS) dan tiba-tiba tahun 2010 (ya gara-gara ia memergoki isi blog itu) ia menelepon saya. Cerita di blog itu kini sudah menjadi pengetahuan umum untuk seluruh keluarga besarnya.

Menjemput calon presiden. Tahun 1998, lebih seru dalam aksi berkereta api. Pagi dari Solo naik Argo Lawu, tiba di Jakarta jam 16-an, lalu menuju ke salah satu gedung Fakultas Ekonomi UI di Salemba. Di tahun 1985 gedung ini adalah perpustakaan tempat saya, AC Sungkana Hadi dan Hartadi Wibowo ikut rapat sebagai petugas survei guna persiapan perpustakaan pusat UI di Depok.

Sore itu saya menemui asisten dari Dr. Sri Mulyani Indrawati, menyerahkan biaya transpor, sehingga ahli ekonomi (sekaligus Capres 2014 dari Partai SRI) itu bisa menjadi pembicara pada seminar ekonomi, 14 Agustus 1998, di Solo. Saya bersama adik saya Mayor Haristanto, di bawah bendera Forbis (Forum Bisnis Surakarta), sebagai event organizer yang didanai oleh PPK Bimo International yang dipimpin oleh Ir. Joko Widodo, kini Walikota Solo.

Urusan di FEUI selesai, mampir untuk membeli majalah Fortune, Newsweek sampai Time di lapak majalah bekasnya Pak Yono yang asal Sragen di depan Gedung Dewan Dakwah, Kramat [“seorang wanita inspiratif dari Inggris moga tidak lupa makna tempat ini”], saya harus segera kembali ke Stasiun Gambir.

Malam telah memeluk Jakarta. Saya segera masuk barisan pengantri untuk membeli tiket kereta api Argo Lawu yang berangkat menuju Solo jam 8 malam. Harga tiket saat itu, 125 ribu.

Tiket ternyata habis. Saya menelpon adik saya, Broto Happy W. di Tabloid BOLA, bahwa saya akan menginap di rumahnya, di Bogor. Ia menyarankan agar segera memesan tiket untuk esok hari. Tidak jadi. Malam itu saya beruntung. Ada seorang anak muda menghampiri, ia hendak menjual tiket, karena yang berhak menggunakannya berhalangan berangkat malam ini. Harga yang ia kehendaki 100 ribu rupiah.

Saya setuju. Di atas kereta saya duduk berdampingan dengan seorang insinyur metalurgi dari India. “Are you a snake charmer ?” canda saya. Ia tertawa. India kan terkenal dengan kaum fakir, tiupan serulingnya dan liukan ular kobra. Ini perjalanan pertamanya di Jawa.

Ia menuju Cilacap untuk memeriksa dinding kilang minyak yang jebol atau terbakar beberapa saat lalu. Ia meminta tolong untuk diberitahu ketika kereta sudah sampai di tempat tujuan turun dia, Purwokerto. Kami berbagi alamat email malam itu.

Stres versus humor. Tanggal 20 Oktober 2011, muncul perasaan tak nyaman ketika saya berada dalam antrian tiket di Stasiun Balapan, Solo. Pemesanan tiket melalui biro jasa di Wonogiri sehari sebelumnya [“petugasnya yang cantik, Isma, saya candai kalau tidak kerja ia akan sibuk menggunakan fasilitas online-nya untuk main Facebook dan ia tertawa”], rupanya rada bermasalah.

Petugas tiket berkali-kali mencek data secara online, tetapi nama saya tidak muncul. Kereta api berangkat jam 8 pagi dan saat itu jam sudah menunjuk 07.15. Apalagi kemudian saya diharuskan menemui bagian layanan pelanggan.

Ruangan berpendingin itu terasa gerah. Petugas layanan pelanggan sudah dua kali menelepon kantor pusat biro jasa tempat saya membeli tiket itu. Tak jua terdengar telepon masuk. Jam sudah menunjuk 07.30. Pengeras suara berbunyi bahwa penumpang Argodwipangga sudah diminta naik ke kereta api.

“Kamu kan suka humor. Masa sih untuk masalah sesepele semacam ini kamu malah menjadi stres ? Mana selera humormu, untuk mengejek diri sendiri ?”

Itu kata hati kecil saya. Saya lalu ambil nafas dalam-dalam. Stres pun tereduksi. Termasuk ketika mBak Dina, petugas layanan itu malah pergi meninggalkan saya di ruangannya. Terasa lama. Saat ia kembali, saya memperoleh tiket bukan yang asli. Tetapi tiket pengganti, tulisan tangan.

Saya segera berlari, bisa naik ke atas kereta api, dan kerisauan muncul lagi. Bagaimana bila tiket ini tidak diakui oleh kondektur ? Paling banter saya akan diturunkan di Yogya !

Early bird, early worm. Begitu kereta api berjalan, pandangan saya tertarik melihat-lihat papan pengumuman yang tertera di interior gerbong. Tertera nama petugas manager on duty kereta ini bernama Adicahyo Nugroho. Disertakan nomor telepon selularnya yang bisa dihubungi. Data itu saya simpan di HP saya.

Muncul keisengan kreatif. Kalau dalam penyelenggaraan seminar-seminar sering dikenalkan istilah early bird, yaitu mereka yang mendaftar lebih awal sebagai peserta. Kepada mereka, mungkin 50-100 peserta awal, justru diiming-imingi potongan harga. Tetapi mengapa pemesan awal tiket kereta api justru memperoleh surcharge, alias penambahan biaya ?

Melihat sekeliling, ternyata gerbong saya hanya diisi 15-an penumpang. Saat masuk pertama kali, hanya saya saja dan seorang wanita muda yang sosoknya mirip teman kuliah saya dulu, Siti Rabyah Parvati, mahasiswi Sastra Inggris UI (1979) yang putrinya Sutan Syahrir.

Perbedaan perlakuan antara peserta seminar dan pemesan tiket kereta api itu saya saya kirim sms-nya kepada Adicahyo Nugroho. Juga saya kirim ke teman saya yang stand-up comedian, penyunting buku dan penulis humor di Bandung, Isman H. Suryaman. Keduanya memberikan balasan.

Adicahyo menyebut bahwa biaya tambahan itu sebagai penjamin bahwa pemesan akan memperoleh tiket sesuai dengan tanggal dan jam pemberangkatan kereta yang diinginkan. Betul juga ya. Hanya saja, saat saya membaca-baca majalah Rel-nya PT KAI, ternyata biaya tambahan itu dikenakan bila kita memesan tiket melalui biro jasa atau kantorpos. Kalau melalui loket stasiun dan kita lakukan sendiri, tidak ada biaya tambahan itu. Itu yang saya alami di Gambir, 16/11/2001.

Isman menjawab : “Penumpang bukan sebagai early bird tetapi sebagai early worm.” Pesan jenakanya : cacing yang lebih duluan muncul justru bernasib sial, karena segara dipatuk oleh sang burung yang terbang awal dari sarangnya. Saya tambahi, kalau pun sebagai late worm, dirinya juga akan sial pula. Kena patuk oleh para makelar tiket !

Hari Kamis sore, 17 Oktober 2011, jam 16.30, saya selamat tiba di Stasiun Gambir. Lalu menunggu jemputan rekan saya, Danny, teman Internet yang selama dua tahun ini hanya ketemuan di email dan telepon.

Saya kemudian mengirimkan sms ke seseorang yang spesial dalam hati saya : “Tau ga yank, siapa yang menemani perjalananku ? Kaos London. Travelling bag Borderline. Juga underwear Mark & Spencer :-).” Yang bersangkutan menjawab dengan tawa, walau mengaku telah lupa akan benda-benda itu.

Kembali ke Danny. Ia akan menempatkan saya di rumah yang kosong dan lemari buku. Boleh saya katakan kemudian hampir semua buku bertopik humor, komedi dan kartun yang dijajakan di toko buku maya Amazon.com, berada di lemari bukunya itu. Rumah ini saya beri nama The Hilton Humor.

Dalam foto saya bersama buku Inside Jokes (2011) terbitan perguruan tinggi teknologi elit di AS : The MIT Press. Inilah saatnya berpesta-pora, untuk foya-foya berhumor-intelektual-ria !

Fast forward : Kamis, 17 November 2011. Hampir satu bulan, kurang 3 hari, saya tinggal di Jakarta. Bisa menemui “yank” dua kali dan melepas dengan sedih saat ia harus kembali ke London. Bisa pula ketemuan dengan sebagian teman-teman kuliah di UI tahun 1980-an : Bakhuri Jamaluddin (belakang, kanan), Hartadi Wibowo (depan,kanan) dan Subagyo Ramelan (belakang, kiri).

Saya juga dapat kenangan inspiratif dari saya, Broto Happy Wondomisnowo yang bukunya Baktiku Bagi Indonesia : 60 Tahun Tiada Henti Mencetak Juara, 9 Juara Dunia dan 4 Peraih Medali Olimpiade diluncurkan bertepatan dengan Hari Pahlawan 2011 di Jakarta.

Juga ketemu rekan sesama suporter, Arista Budiyono yang kini menjadi social media specialist di perusahaan iklan besar kelompok Dwi Sapta Group dan Aji Wibowo, alumnus Sosiologi Gajah Mada, pengelola majalah kelompok suporter klub Liverpool di Jakarta.

Keduanya saya temui lagi di Istora Senayan, Minggu 13/11/2011, untuk menanda tangani buku saya Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010) yang mereka koleksi.

Kenangan Desember. Hari yang sama bisa sowan pula Bapak Taufik Rachman Soedarbo di Cilandak. Atas bantuan putra sulungnya, Mas Anto dan istrinya, mBak Devi (“juga Axel yang spontan dan jenaka”), mantan diplomat senior untuk pelbagai negara Afrika, Vietnam, Kamboja, dan tokoh diplomat kunci saat penyerahan Timor Leste ke PBB, bisa saya temui pagi itu.

Membuncah perasaan emosional ketika bisa duduk di seputar meja makan yang sama, di mana di tempat ini pada tahun 1986 beliau banyak bercerita tentang masakan Senegal. Malam itu Ibu Bintari Taufik Tjokroamidjojo, putrinya yang cantik, artistik dan karismatis Widhiana Laneza, dan diri saya, takjim sebagai pendengarnya.

Minggu pagi itu tetap saja, tidak bisa disamarkan, betapa rumah ini masih berselubung rasa kehilangan. Ibu Bintari Taufik Tjokroamidjojo,Widhiana Laneza dan adiknya Liana Rasanti, sebelumnya saya ziarahi makamnya di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Ketiganya sudah menghadap Sang Khalik. Masing-masing wafat tahun 2007, 2005 dan 1965. Sama-sama di bulan Desember.

"Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa melimpahkan berkah dan ampunan bagi ketiganya di alam kelanggengan."

Bertambah teman. Hari Kamis pagi,17/11/2011, saya sudah tiba di Gambir. Bersiap meninggalkan Jakarta. Saya tidak bisa mengelak untuk harus duduk di depan seorang perokok, ketika kursi warung soto Lamongan itu penuh terisi. Untunglah, lima menit kemudian, ada kursi kosong. Saya bergeser tempat. Sumber asap rokok kini agak menjauh.

Tetapi dasar dunia ini memang sempit. Ketika naik ke gerbong, bapak perokok itu ternyata memperoleh kursi di belakang saya. Kami pun bertegur sapa. Ia akan turun di Yogya. Kursi depan saya dihuni turis backpack bule muda, laki dan perempuan. Mereka juga turun di Yogya. Kok engga bablas ke Solo sih ?

Hampir sepanjang perjalanan, bapak perokok tadi menelepon. Isunya tentang pencabutan usulan proyek. Nama-nama pejabat top daerah Yogyakarta muncul dalam obrolan. Ketika kereta api selepas Purwokerto, selepas saya pergi ke toilet, kami bisa mengobrol. Ia mengaku sebagai pegawai negeri, “duitnya habis untuk di jalan,mas” keluhnya. Aku menduga, ia bekerja di Jakarta tetapi keluarganya di Yogya ?

Tidak begitu jelas. Tapi, akunya, ia banyak dekat dengan pemimpin-pemimpin daerah di Yogyakarta. Sayang, ketika aku menyebut asalku dari Wonogiri ia justru mengomentari masalah kalahnya “mbak Yuni.”

Siapa Yuni ? “Ia kan anaknya Pak Untung ?,” jelasnya kemudian. Saya mengerti. Saya dari Wonogiri dan rupanya ia berbicara tentang Sragen. Diskusi menjadi tidak berlanjut lagi.

Yang berpotensi berlanjut adalah silaturahmi saya dengan Adicahyo Nugroho. Saat di Gambir, gara-gara asyik membaca buku Teach Yourself : Stand-Up Comedy (2007)-nya Logan Murray (“hadiah dari Danny”) saya telah melakukan kesalahan fatal. Mengirim sms yang keliru untuk Adicahyo.

Anehnya, ia membalas. Bahkan ia secara persis merujuk isu tentang early bird yang saya kirimkan kepadanya tanggal 17 Oktober 2011, hampir tepat sebulan yang lalu. Saya pun membalas. Saya meminta maaf atas diterimanya sms yang salah sasaran itu. Saya memperkenalkan nama saya, dan berharap bisa bereuni di kereta api Argodwipangga pagi ini.

Adicahyo menjawab : dia telah pindah tugas, di kereta api Bangunkarta, jurusan Senen-Jombang. Sedang manager on duty di kereta saya saat ini adalah Mas Sugeng. Ketika pemeriksaan karcis, saya sempat menyalami Mas Sugeng, juga mengobrol selintasan.

Saya merasa tersanjung karena sms saya sebulan lalu masih mengeram di HPnya Adicahyo Nugroho. Kita akhirnya menutup obrolan via sms dengan harapan masing-masing kita akan sukses dalam pekerjaan. Saya merasa kaya, karena lagi-lagi bertambah teman dan kenalan.

Jam 16.54, kereta api Argo Dwipangga, sampai di Stasiun Balapan Solo. Pengeras suara menyampaikan pesan berisi permohonan maaf atas keterlambatan yang hampir satu jam itu. Bagi saya, untung masih ada bis Raya senja itu, yang kemudian membawa saya dari Solo untuk tiba kembali rumah, di Kajen. Di Wonogiri.

“Perjalanan,” demikian simpul novelis dan penyair Inggris Lawrence George Durrell (1912–1990), “merupakan salah satu bentuk berkah terbaik dari introspeksi.”

Siapa yang tidak setuju ?
Saya menyetujuinya.
Manifestasinya adalah dengan menuliskannya.


Wonogiri, 21 November 2011

Thursday, November 10, 2011

Broto Happy W., Anak Wonogiri dan Bulutangkis Indonesia

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews(at) yahoo.co.id



Sembilan Juara Dunia. Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2011 kiranya memiliki makna mendalam bagi seluruh warga trah Trah Martowirono. Karena salah satu warga kita dari Taler Ke-4 berusaha ikut merayakan hari itu dengan mempersembahkan karyanya bagi bangsa dan negara Indonesia.

Selamat untuk Broto Happy Wondomisnowo !

Wartawan Tabloid BOLA, suami dari Ayu Broto Happy dan ayah dari Ega dan Adis, malam ini (10/11/2011) akan ikut aktif menjadi pelaku sejarah perkembangan dunia olahraga Indonesia. Khususnya dunia perbulutangkisan Indonesia.

Buku karyanya akan diluncurka berbarengan dengan perayaan HUT Ke-60 PB Tangkas Alfamart di Ballroom Hotel Mulia, Kamis, 10 November 2011, malam. Perkumpulan Bulutangkis (PB) Tangkas Alfamart yang didirikan oleh Keluarga Besar Soehandinata yang pencinta berat olahraga bulutangkis, telah tercatat menelurkan atlet-atlet bulutangkis Indonesia dengan prestasi dunia.

Antara lain, tercatat 9 Juara Dunia, meliputi Ade Chandra (1980), Verawaty Fajrin (1980), Icuk Sugiarto (1983), Joko Suprianto (1993), Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky (1995), Hendrawan (2001), Nova Widianto/Lilyana Natsir (2005 dan 2007).

Untuk peraihan medali Olimpiade : Hermawan Susanto (Barcelona, 1992, perunggu), Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky (Atlanta, 1996, emas), Hendrawan (Sydney,2000, perak) dan Nova Widianto/Lilyana Natsir (Beijing, 2008, perak).

Pena anak Wonogiri. Semua prestasi dan perjuangan mereka itu dan tokoh terkait lainnya demi mengharumkan nama Indonesia akan diabadikan oleh tulisan Broto Happy Wondomisnowo, yang anak Kajen Wonogiri dan anak ke-enam keluarga Kastanto Hendrowiharso-Sukarni, dalam buku berjudul Baktiku Bagi Indonesia : 60 Tahun Tiada Henti Mencetak Juara, 9 Juara Dunia dan 4 Peraih Medali Olimpiade . Diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, 2011. 498 halaman.

“Pengerjaan buku ini mungkin bisa masuk Rekor MURI,” kata Broto Happy W. Karena dengan hampir 500 halaman, dikerjakan dalam tempo pendek, sekitar 3 bulan mulai April sampai deadline naskah tanggal 10 Juli. Apalagi penulisan buku ini dikerjakan disela-sela tugas jurnalistik di Tabloid BOLA.

Buku ini merupakan buku bulutangkis ketiga yang ia tulis. Sebelumnya menulis biografi pebulutangkis kontroversial Taufik Hidayat, Magnet di Bulutangkis (2003) dan biografi Hariyanto Arbi, Smash 100 Watt. (2006).

”Buku ini merupakan dedikasi saya untuk dunia bulutangkis Indonesia. Karena sering bergaul dengan para pemain bulutangkis, saya pun termotivasi untuk berbuat sesuatu untuk dunia bulutangkis Indonesia.

Kalau para atlet berjuang demi Merah Putih dengan ayunan raket di tengah lapangan, sedangkan saya lewat kemampuan yang saya miliki, yaitu menulis buku,” tegas Broto Happy W.

Lewat buku pula ia bertekad mengajak dan memotivasi semua warga keluarga besar Trah Martowirono untuk berlomba-lomba dalam mengukir prestasi sesuai dengan bidang dan kemampuannya masing-masing. ”Mari terus berkarya, kreatif, dan tiada henti berinovasi untuk ikut mengharumkan keluarga Trah Martowirono,” pungkasnya.

Acara peluncuran dan hari ulang tahun PB Tangkas Alfamart tersebut konon akan direkam dan disiarkan ulang di MetroTV. Ayo kita siap-siap untuk menontonnya, sekaligus menjadikannya sebagai inspirasi bagi semua warga Trah Martowirono tercinta kita.

Begitu, bukan ?
Salam sukses untuk Anda semua.


Kramat Jaya Baru, Jakarta, 10 November 2011