Tuesday, August 2, 2011

Selamat Jalan, Plomponk : Kenangan Dari Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Hari Selasa (2/8/2011), hari puasa kedua, saya memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan umum Wonogiri.

Berarti ada pekerjaan rumah yang harus dirampungkan dalam kunjungan itu. Membaca-baca koran terbitan hari Minggu, Senin dan Selasa.

Ini hari keluar rumah saya, selain ke pasar, yang pertama di bulan puasa ini. Dari Kajen, melewati utara Kodim, lalu ke selatan. Melewati sebelah barat Gudangseng, ke selatan. Karena di utara bagian belakang gedung SMK Pancasila I ada kajang dan bendera merah terpasang, tanda ada kesripahan, saya menuju perpustakaan melalui bekas jalan rel kereta api Wonogiri-Batu.

Setelah tiba di perpustakaan, saya ambil surat kabar Kompas edisi Minggu dan Senin. Saya baca-baca sambil menghidupkan komputer, untuk akses ke Internet. Karena, seperti dua kali bulan puasa sebelumnya, saya memutuskan untuk libur mengakses Facebook, saya hanya membuka akun 2-3 email saja. Lainnya : membaca-baca situs koran The Jakarta Post dan The Jakarta Globe..

Ketika membolak-balik koran Kompas edisi Minggu itu, saya terperangkap oleh sebuah iklan duka cita. Yang meninggal dunia : Djoko Poernomo. Fotonya, tidak lagi saya kenali.

Tetapi ketika membaca nama-nama yang ikut berdukacita, terutama nama pertama yang muncul adalah Julius Pour, wartawan senior Kompas dan biografer terkenal, segera saya tahu siapa dirinya.

Innallilahi wa ina ilaihi rojiun.

Teman saya ketika sama-sama meniti karier kepenulisan di Solo, sekitar tahun 1977-an, rupanya kini telah dipanggil menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Masa lalu pun tertayang di benak. Tahun-tahun itu, saya sebagai “wartawan Kuncung” (lelucon di antara kita, untuk merujuk posisi diri-diri kita sebagai wartawan freelance) dengan nama Hariteksi, bersama Efix Mulyadi dan Plomponk, sebut saja merupakan trio generasi baru (calon) wartawan Solo saat itu.

Kami seolah “membayangi” nama-nama wartawan Solo yang resmi. Misalnya, Achmad DS (Pikiran Rakyat), Soebianto (Kompas), L. Djono (Sinar Harapan), Agus Susanto (Berita Buana), Imam "Maesuna" Muafik (Hai dan banyak lagi lainnya.

Merasa tahu diri sebagai yunior, kami bertiga saat itu hanya menulis berita, reportase atau features yang berada di luar jangkauan para wartawan resmi tersebut. Misalnya semata melaporkan peristiwa-peristiwa budaya yang terjadi di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo. Juga menulis reportase tentang konser-konser musik di Solo.

Kebetulan, saat itu Efix Mulyadi dan juga saya menjadi aktivis kesenian di Sanggar Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Bermain teater, menyelenggarakan pentas-pentas puisi, diskusi dan musik, dan juga menulis. Saat itu saya kuliah di Jurusan Mesin Fakultas Keguruan Teknik UNS, tetapi ikut berkiprah di Mandungan dan mulai mengasah keterampilan menulis untuk media massa dan kreativitas.

Aktivis lainnya : Moertidjono. Juga Harsoyo Rajiyowiryono. Kadang mampir kakaknya yang saat itu kuliah di Geologi UGM, Hardoyo, untuk berbagi cerita tentang isi majalah Horison dan Budaja Djaja. Atau pun berbagi tawa seputar humor tentang ulah julig Nasarudin Hoja yang jenaka.

Connie Suprapto. Marsudi. Mas Lis. Bambang Permaidi. Mas Mansur RRI. Broto “UGM” Dompu. Chosani. Mamok. Urip. Kentrung. Budoyo Sumarsono. Yohanes Yantono. Yoyok “Dablir” Mugiyatno. Wati. Dewi Elisawati. Tinuk. Juga “Ialah,” pria gelandangan yang ikut tidur di serambi sanggar dan gemar berpidato a la Bung Karno (menyebut-nyebut “munawaroh”) di waktu malam.



Ketika mahasiswa Seni Rupa UNS, di bawah komando dosennya, (almarhum) Prof. Heribertus Soetopo, ikut bergabung di Mandungan, saya tergerak mendirikan Workshop Melukis Anak-Anak dan Remaja (foto,1979-1980) bersama mereka. Dengan para mentor melukis anak-anak terdiri Anang Syahroni, Putut Handoko Pramono, Seno "Crukupul" Soebroto, Soetarto, Wahyu Soekirno. Mance Harman. Didik Soehardi. Calon istri Plomponk adalah juga mahasiswi Seni Rupa UNS. Ia tak jarang main ke Mandungan. Namanya Harri Kinasih, tetapi populer dipanggil Mimin.

Trio Kuncung berpisah. Suatu saat saya pernah diajak berkolaborasi dengan Plomponk. Melakukan wawancara dan meliput profil serta kegiatan SMKI di Patehan. Tulisan ini, kalau tidak salah, muncul di majalah Hai. Adiknya Plomponk, perempuan, Th S Purwaningsih juga kuliah bersama saya di FKT. Ia mengambil jurusan arsitektur, seangkatan dengan Gembong Muria Hadi (adik dari Sumantri dan Sutopo) dan pernah menjabat di DPU Wonogiri.

Tahun 1978, Efix Mulyadi hijrah ke Jakarta, menjadi wartawan budaya Kompas. Plomponk makin serius menjadi wartawan harian yang sama, dengan area liputan daerah Yogyakarta. Kemudian juga berpindah ke Jakarta.

Tahun 1980, saya memutuskan untuk belajar lagi, di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Trio “wartawan Kuncung” Solo era 70-an itu menjalani panggilan hidup masing-masing. Belum ada Internet, kontak antara kita kemudian seperti terputus lama.

Tanggal 27 Januari 2007, artikel saya dimuat di kolom Teroka, Kompas edisi Sabtu yang dijaga oleh budayawan Radhar Panca Dahana. Judul aslinya adalah “Dosa-dosa Komedian Kita,” tetapi dalam pemuatannya menjadi : “Komedi dan Komedian : Kejujuran Mengolok Diri Sendiri. “

Tulisan yang sama kemudian ikut menghiasi buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (2010) dengan judul baru : “In Memoriam Gus Dur (1940-2009) : ‘Hanya Kita Saja yang Masih Waras.’” ( Hal. 25-30).

Gara-gara artikel itu, yang mencantumkan nama blog komedi saya, saya memperoleh email tidak terduga. Dari Plomponk. Ia tinggal di Jakarta, dan saya (sejak 1998) pulang kampung, di Wonogiri. Ia menanyakan judul-judul buku humor yang sudah saya tulis dan apakah masih tersedia di toko-toko buku.

Plomponk pun menambahi bahwa tulisan saya itu, ia sebut : “Luar biasa.”Saya pun menjawab, bahwa dua buku humor itu saya tulis di tahun 1987. Out of print. Tak ada lagi di toko buku mana pun.

Kabar tentang Plomponk, pria bertubuh besar, yang mudah tergelak dan suka memakai kacamata rayban seperti penerbang (kakaknya adalah penerbang dan analis militer, F. Djoko Poerwoko), saya pergoki dengan rasa duka di kolom obituari yang saya temukan dengan bantuan Google. Antara lain terbaca :

Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto, antara ln mengatakan, sebagai orang beriman, Mas Pom sudah membongkar kemah dan kini almarhum sudah disediakan rumah abadi.

"Sebagai orang beriman, kita yakin ini jalan satu-satunya untuk mendapatkan kehidupan kekal. Dan kita percaya Mas Pom sudah mendapatkan kehidupan kekal," kata Sularto.

Dari kejauhan, dari Wonogiri, saya ucapkan : “Selamat jalan, Plomponk. Semoga kau kini senantiasa sejahtera dan tenteram abadi disisiNya.”


Wonogiri, 3/8/2011