Friday, August 17, 2007

Nasionalisme Warga Kajen, Warga Kampungku

oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id
Tambahkan Gambar


Ini Nasionalismeku, Bung ! Apa wujud nasionalisme Anda ? Lebih memilih konsumsi produk makanan tradisional, dibanding makanan asal luar negeri. Mendirikan lembaga pengajaran komputer secara gratis sehingga anak-anak Indonesia di lingkungannya bisa melek teknologi. Atau, menjelang 17 Agustus sengaja memasang bendera di stang spion motor dan memekikkan kata “Merdeka !” untuk pengendara motor lain yang memajang bendera Merah Putih pula.

Itulah sebagian dari 62 pendapat pembaca Kompas dalam mengeskpresikan “Ini nasionalismeku !” yang dimuat dalam edisi16 Agustus 2007. Bagi warga RT 01/RW XI Lingkungan Kajen Giripurwo, Wonogiri, ekspresi nasionalisme itu kiranya bisa direntang lebih panjang dan memunculkan gambaran warna-warni.

Antara lain : Bapak Ketua RT, Haji Oemartopo, budayawan terkenal yang kenyang njajah desa milang kori dengan mendalang di kota-kota di Amerika Serikat, lalu masa revolusi tergabung resimen Sunan Lawu di daerah Sragen dan ikut menyerang kedudukan pasukan Belanda di pabrik Mojo, malam 16 Agustus 2007 nampak menyanyikan lagu “Padamu Negeri” bersama anak-anak kecil Kampung Kajen dengan heroik dan bersemangat. Inilah sepotong adegan ekspresi “Ini Nasionalismeku !” dari peristiwa Malam Tirakatan Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 di kampung Kajen.


Anda Ingin Mengenal Kajen ? Betul ? Pergilah dahulu ke Paris, kota cahaya, yang ibukota Perancis. Kunjungilah kantor kedutaan besar Republik Indonesia, dan temuilah salah seorang pegawai lokalnya. Ia bernama : Jeff Francois Coctaz. Kepada mantan anggota angkatan laut dan lulusan antropologi ini, sapalah dengan bahasa Jawa.

Atau bila ingin cepat lebih akrab, panggil saja dengan sebutan Mas Paimin. Lalu tanyakanlah hal seputar Kajen kepadanya. Tanyakan apa ia masih ingat nama Bapak Oemartopo. Nama mBak Nur. Bapak Suroto yang Kaling Kajen. Juga masing-masing nama anak keluarga almarhum Kastanto Hendrowiharso. Tahun 70-an Jeff Coctaz, pernah agak lama tinggal di rumah keluarga Kastanto sebagai sahabat Barry Hendriatmo, salah satu anak keluarga ini. Sejak itu Jeff ibarat sebagai warga Kajen yang kini sedang mengembara di Perancis.

Memang di halaman rumah keluarga almarhum Kastanto inilah acara malam tirakatan 17 Agustus-an tahun 2007 digelar oleh warga Kajen. Secara lesehan. Di sisi barat halaman berukuran 6 x 12 meter ini dipakai sebagai panggung dengan dekor tulisan yang dirancang oleh Jumplong dari Biro Iklan JDI, juga warga Kajen. Lengkung-lengkung kain warna merah-putih di lisplang rumah menjadi aksen yang kental dalam menggugah semangat kebangsaan.

Penjor atau umbul-umbul warna-warni siangnya telah dipasang oleh Mas Parno. Ia punya sebutan angker, yaitu si Jack of All Trades alias McGyver-nya Kajen. Karena suami mBak Tien dan pria peramah asal Cepogo Boyolali yang sudah ajur-ajer sebagai wong Kajen sejak 1974 ini memang memiliki keperampilan serba bisa dalam krida pertukangan. Tetapi tukang santet dan tukang tenung tidak termasuk dalam keterampilannya.

Di pinggiran tempat duduk para pengunjung malam itu dikepung deretan tanaman adenium yang sedang mekar berbunga, koleksi Ibu Iwin M. Taufik, sang tuan rumah. Fasilitas pengeras suara dioperatori oleh Mas Giyadi, warga setempat. Pembawa acara adalah Suharto, tokoh karismatis dan flamboyan dengan sebutan gaul sebagai fish hunter yang sangat terkenal di Pasar Wonogiri.

Memang ia tidak atau belum memiliki kapal pukat harimau atau kesana-kemari selalu membawa harpoon seperti orang Eskimo, tetapi label pemburu ikan yang tertera dalam mobilnya menunjukkan siapa dia. Yaitu entrepreneur kelas kakap urusan kakap, walau sering yang ia urusi untuk bisnis sehari-harinya kebanyakan tongkol, gereh dan juga bandeng. Di Kajen ia memiliki jabatan resmi : Ketua K3.

Kakap, Kerapu dan Kepiting ?

Oh, bukan. Menurut Haryono, Sekretaris RT 01/RW XI, K3 merupakan kepanjangan dari kebersihan, ketertiban dan keamanan. Tema serupa K3 itu ternyata juga menjadi landasan dasar bagi penyelenggaraan beragam kegiatan merayakan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-62 di Kampung Kajen.


Meretas Tesis Clifford Geertz. Hal di atas diungkapkan oleh tokoh masyarakat yang terpandang di Kampung Kajen, Bapak H. Wiloso, BA, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia HUT RI Ke-62 Lingkungan Kajen. Bahkan beliau memiliki cerita menarik yang selama ini seolah terpendam di bawah karpet. “Kampung Kajen kita ini, disadari atau tidak, penduduknya selama ini telah terbelah oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu,” kata beliau kepada “wartawan” blog Kajenku, Bambang Haryanto (20/8/2007).

Sekadar gambaran : lingkungan Kajen ini terdiri atas 6 RT. Ada 3 RT di bagian barat dan sisanya di bagian timur. Batas demarkasi yang “membelah” keduanya adalah Jl. Ahmad Dahlan yang merupakan jalan besar untuk bus jurusan Solo-Pracimantoro melintas. Pembelahan antar keduanya sepertinya sesuai dengan tesisnya antropolog terkenal Clifford Geertz.

Kita lihat, untuk Kajen Kulon (Barat) populasinya didominasi oleh kaum santri, tetapi di Kajen Wetan (Timur) oleh kaum abangan. Kajen Barat adalah masyarakat golongan elit, para pegawai negeri, sementara di Kajen Timur kebanyakan kalangan buruh tani. Kalau Pemilu, maka yang menang di Kajen Barat adalah PAN dan di Kajen Timur adalah PDIP atau Golkar. Ada pula perbedaan lain dari segi profil demografi penduduknya : di Kajen Barat relatif sedikit warganya yang berusia anak-anak dan remaja, sementara di Kajen Timur penduduk usia golongan ini berjubelan.

“Kajen adalah Kajen ! Nasionalisme untuk Kajen yang satu,” demikian tegas Pak Loso. Beliau menginginkan adanya ukhuwah alias persaudaraan untuk sesama warga Kajen tanpa adanya pembedaan-pembedaan yang tidak prinsip. Sosok beliau memang dapat dijadikan sebagai contoh. Ia berasal dari Kajen Kulon, tetapi karena luwes, ia pun bisa dengan enak berbicara dan bergaul dengan warga Kajen Wetan. Untuk mengikis kendala di atas, ia optimis akan teratasi oleh generasi-generasi yang akan datang. Sekadar contoh, sudah banyak anak-anak Kajen Timur yang bersekolah, misalnya TK Aisyiyah sampai SD dan juga SMA atau SMK Muhammadiyah yang terletak di Kajen Barat. “Tahun depan, sebaiknya lomba untuk anak-anak bisa memakai halaman sekolah-sekolah itu,” usul Bapak Wiloso. “Memanglah, menyemaikan kebaikan itu butuh sabar, karena untuk memetik buahnya memang dibutuhkan waktu,” tutur beliau dengan bijak.


Kajen Semarak ! Kebijakan itulah yang memandu panitia dalam memilih kegiatan lomba. “Jangan memilih lomba atau pertandingan yang mampu memicu tindakan kekerasan,” demikian angger-angger atau pedoman yang beliau gariskan. Pembiayaannya jangan memberatkan warga di tengah perekonomian yang masih sulit. Jangan sampai ada resiko cedera.

Awal Agustus 2007, pelbagai lomba mulai diselenggarakan. Baik untuk anak-anak, kaum remaja, kaum ibu dan juga kaum bapak. Sebagian besar diselenggarakan di venue utama, yaitu lapangan voli mBelik (Kajen Timur, Rt 01/XI), yang hanya beberapa belas meter dari tepian Bengawan Solo yang airnya di bulan Agustus mengalir tenang.


Perlombaan Anak-Anak (TK-SD).

Dengan arahan koordinasi Fajar Hartanto (Rt 3/RW X), tanggal 5 Agustus 2007, dibuka dengan lomba pukul air perorangan. Adik-adik kita yang bersukaria dan berbasah-basah ini akhirnya menelurkan Juara I – Bestin (1/XI), Juara II – Dila (2/X) dan Juara III – Diki (2/X).

Mayasari (bukan nama bis di Jakarta) dari Rt 02/RW XI kemudian memimpin lomba unik : memasukkan pensil ke dalam botol. Kembali kita sebut nama Bestin (1/XI) karena ia tampil sebagai juaranya, disusul Krisna (1/XI) dan Vian (1/XI) sebagai juara ketiga. Selanjutnya ajang lomba menjadi arena gelak tawa akibat kemunculan beragam badut dengan cemong-cemong warna hitam di wajah mereka. Dengan koordinasi Fandi (Rt 3/XI) belasan anak-anak mengadu kekuatan giginya untuk mengambil koin dari buah melon. Sokurlah buahnya melon, bayangkan bila yang dipilih panitia adalah buah durian. Bisa wajah-wajah mereka godres getih ya ? Ah, kasihan. Inilah juaranya : Krisna (1/XI), Ninis (3/X) dan disusul Nanda (1/XI).

Masih dalam suasana hari yang cerah di Kajen, Minggu sore itu diramaikan dengan anak-anak yang berlarian, sambil mengundang deg-degan para orang tua mereka. Mereka sedang ikut lomba lari kelereng, walau bukan ke lereng bukit. Tetapi yang dimaksud adalah biji kelereng atau sebutan lainnya adalah gundu, yang ditaruh di dalam sendok yang tergigit di mulut-mulut mereka. Lomba seru di bawah koordinator Dito (1/X) kembali memunculkan nama Bestin (1/XI) sebagai juara pertama. Ia melakukan hattrick setelah memenangkan lomba pukul air, memasukkan pensil ke botol dan kemudian lari kelereng. Juara keduanya, Angga (1/XI) dan disusul Yogya (2/X).

Lomba makan kerupuk, yang bila diartikan secara harafiah entah berapa tombong kerupuk yang bakal habis diserbu oleh puluhan anak-anak Kajen, akhirnya memunculkan lagi nama Ninis (3/X) sebagai juara pertama, disusul Arin (1/XI) dan Galih (2/XI) sebagai juara ketiga. Kriuk, kriuk, kriuk.




(Bersambung)




tmw

Monday, August 6, 2007

Reinventing Indonesia, Bengawan Solo dan Ide Wong Wonogiri Yang Tidak Mengalir Sampai Jauh

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id


Huruf E Yang Hilang. Bapak Ambijo seorang e-pleis-toholik sejati. Bukan epistoholik yang biasa. Beliau berasal dari Kebumen. Surat-surat pembacanya sering muncul di koran Suara Merdeka. Bahkan juga menulis artikel pada koran yang sama.

Sampai di sini, apakah Anda menemukan sesuatu keganjilan dari teks dalam alinea tersebut di atas ? Ketahuilah, saya sengaja menulis huruf “e” dengan huruf miring. Karena saya ingin merekonstruksi bagaimana surat yang dikirimkan oleh Bapak Ambijo (foto) kepada saya (9/7/2007). Surat beliau berupa fotokopi, isinya menanggapi isi surat pembaca saya yang telah dimuat di harian Suara Merdeka (Sabtu, 7/7/2007) :


Epistoholik : Spesialis atau Generalis

Industrialis mobil terkenal Henry Ford pernah bilang, “Jangan hanya mencari-cari penyakitnya, tetapi juga carilah pengobatnya.” Nasehat itu pantas dicamkan oleh kaum epistoholik, yaitu mereka yang mencandu penulisan surat-surat pembaca.

Karena menurut hemat saya, selama ini terlalu banyak penulis surat pembaca yang piawai menemukan pelbagai penyakit tetapi sedikit sekali memberikan solusi. Indikasinya adalah, terlalu banyak mereka yang generalis, tidak fokus, modalnya hanya mudah gatal lalu terjun mengomentari SEGALA macam hal.

Godaan semacam memang sulit dihindari, karena juga menjadi penyakit pribadi saya sendiri selama ini. Akibatnya, isi surat pembaca seperti itu hanya seperti balsem, panas-panas sebentar di kulit, sebentar kemudian hilang khasiatnya.

Menurut hemat saya, kini sudah tiba saatnya kaum epistoholik berusaha menjadi penulis surat pembaca spesialis untuk topik atau subjek tertentu. Jadilah pakar. Bagi diri saya pribadi, usaha ke arah spesialisasi itu saya tempuh dengan mengelola situs-situs blog di Internet dengan topik-topik yang khusus pula.

Menurut keyakinan saya, dengan menjadi spesialis membuat sumbangan tulisan saya semoga lebih kredibel, lebih berbobot, dan lebih berguna. Paling tidak bila dibandingkan surat-surat pembaca yang menu utamanya selalu ungkapan marah kepada pemerintah atau keadaan, karena menu semacam memang memudahkan untuk dimuat. Tetapi sebenarnya juga mudah untuk segera terlupakan !

Bambang Haryanto (EI)
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri


Bapak Ambijo (65) yang memiliki hobi membaca, menulis dan melukis, rupanya sepakat dengan isi tulisan saya. Dalam suratnya, beliau yang pensiunan Bank BNI 1946 itu mengibarkan bendera sebagai epistoholik spesialis, karena khusus memfokuskan tulisan-tulisannya untuk membahas seluk-beluk kota beliau. “Contohnya, lihat dan baca Suara Merdeka tanggal 6 Maret 2007 dan tanggal 24 April 2007 pada rubrik Wacana Lokal,” tulis beliau.

Surat beliau ini mengingatkan saya akan isi artikel Steven Johnson di majalah TIME (25/12/2006) berjudul “It’s All About Us” dalam edisi khusus yang menobatkan Anda, pembaca, sebagai Tokoh Tahun 2006 majalah bersangkutan. Steven Johnson sembari merujuk era meledaknya blog dewasa ini, melukiskan hadirnya fenomena placebloggers, yaitu para penulis blog yang isi tulisan-tulisannya mengungkap segala macam hal atau problem yang terjadi di sekitar tempat tinggalnya, terkait dengan segala macam isu yang paling penting bagi hidup mereka.

Mengikuti istilah di atas, tiba-tiba muncul begitu saja di benak saya, kiranya sosok dan krida Pak Ambijo itu pantas diberi gelar atau julukan sebagai e-place-toholic. Bacanya : e-pleis-toholik. Artinya, tentu saja, penulis surat pembaca yang isinya berfokus pada isu-isu tempat mereka berada.

Kembali ke soal pada awal tulisan ini. Tentang huruf “e” tadi. Dalam surat Pak Ambijo, yang diketik dengan mesin tulis manual itu, tidak akan Anda temui huruf “e.” Karena tuts untuk huruf “e” itu sudah rusak. Dalam teks kemudian beliau ganti dengan “titik” (contoh : K..bum.n) atau ditindas dengan tulisan tangan.

Secara humor, kita dapat berandai-andai : betapa susahnya bila Pak Ambijo itu sebagai penulis berbahasa Inggris. Guyonan lainnya, tuts huruf “e” dari mesin ketik beliau yang rusak menunjukkan beliau sebagai pengguna berat huruf e, yang sekaligus menunjukkan dirinya sebagai sosok epistoholik dan epleistoholik sejati.

Ada pikiran lain menyeruak. Barangkali huruf “e” yang hilang itu juga mengisyaratkan ada sesuatu yang juga hilang dalam langkah gerak kaum epistoholik selama ini ? Dan bahkan juga dalam media cetak yang selama ini menampung karya-karya mereka !



Mesin Tulis dan Somasi. Sejak kapan Anda mengenal mesin tulis ? Mesin ciptaan Christopher Latham Scholes yang patennya ia peroleh 23 Juni 1868 itu mulai memikat saya ketika saya duduk di Sekolah Dasar, kelas 3 atau 4, tahun1963. Ayah saya yang bekerja di Kodim O728 Wonogiri sering membawa mesin tulis kantornya untuk merampungkan pekerjaannya di rumah.


Tahun 1968 ketika duduk di kelas 2A SMP Negeri 1 Wonogiri, untuk pertama kalinya tulisan lelucon saya dimuat di majalah Kancana, Jakarta. Ini majalah Persit (Persatuan Istri Tentara) Kartika Chandra Kirana, organisasi ibu saya sebagai istri anggota TNI-AD.

Saya sudah lupa, apakah saya mengirimnya dengan ketikan atau tidak. Sebab saat itu ayah saya dinasnya sudah pindah ke Kodim 0734 di Yogyakarta, sehingga tidak bisa lagi membawa pulang barang inventaris tempat bekerjanya yang lama. Dua lelucon saya itu diberi honor Rp. 200,00. Walau rada malu-malu, tetapi sungguh menyenangkan setiap kali dalam obrolan keluarga, ibu saya sering menyebut-nyebut atau menceritakan kembali lelucon saya itu.

Saat duduk di bangku SMP, saya bersentuhan kembali dengan mesin tulis dengan cara meminjam milik teman sekelas saya. Teman itu bernama Bambang Niyoko, saya lupa apa paman atau ayahnya yang seorang pendeta, yang dirumahnya memiliki mesin tulis itu. Ketika tergerak mengikuti sayembara menulis yang diadakan Poltabes Surabaya (atau Semarang ?), Bambang Niyoko yang rumahnya di belakang Kodim Wonogiri itu sudi membantu mengetikkan untuk saya.

Karangan saya tidak menang, tetapi saya memperoleh surat pemberitahuan yang memberikan apresiasi atas keikutsertaan saya. Setelah sama-sama lulus SMP, 1969, Bambang Niyoko berpindah ke Yogya. Saya juga meneruskan sekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta, tetapi sejak itu di antara kita tak pernah ada kontak. Sampai kini.

Mesin tulis baru bisa saya miliki di tahun 1977. Untunglah saya dan Anda tidak tinggal di Rumania. Sebab mesin tulis pernah dibatasi penggunaannya ketika negara itu, 1965-1989, diperintah oleh diktator Nicolae Ceausescu. Presiden kelahiran 26 Januari 1918 di Scornicesti, Rumania dan tewas di depan regu tembak bersama istrinya Elena, 25 Desember 1989 di Bukarest, menandatangni dekrit yang melarang kepemilikan dan penggunaan mesin tulis bagi mereka yang berpotensi “membahayakan ketertiban masyarakat dan keamanan negara.”

Seperti dikutip majalah Reader’s Digest (4/1984), warga Rumania harus mendaftarkan mesin tulis mereka ke kantor polisi dan menyerahkan contoh hasil ketikan yang menunjukkan jenis huruf mesin tulis bersangkutan. Siapa saja yang ingin membeli mesin tulis harus memperoleh ijin dari negara.

Sebelum memiliki mesin tulis itu, ketika berkiprah sebagai aktivis kesenian di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta, Solo, atas kebaikan hati Mas Darto PKJT, saya selalu meminjam pakai mesin tulis milik Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) di Sasonomulyo. Mereknya Remington, besar, yang enak dipakai.

Pemakai lain saat itu adalah Efix Mulyadi, yang kini wartawan senior Harian Kompas. Juga Ardian Syamsudin, novelis yang kemudian berkarier sebagai tokoh dunia periklanan yang mapan di Jakarta. Saat itu Murtidjono, yang kemudian menjabat sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS), memberi tips untuk memperpanjang usia pemakaian pita mesin tulis. Yaitu dengan melumasi pita dengan minyak sereh. ”Sukma siri”, demikian canda Harsoyo “Arjo” Rajiyowiryono, yang kini adalah pakar bahasa dan kebudayaan Jawa di TBS. Ketika mengetik, aroma yang teruar seperti kita sedang pijat !


Newsletter Diatas Bus. Mesin tulis saya berjenis portable, abu-abu metalik, mereknya Silver Reed. Sampai kini masih bisa dipakai. Salah satu pemakaiannya yang tidak terlupakan, selain untuk menulis surat-surat pembaca ketika saya tinggal di Jakarta, 1980-1997, adalah ketika mengikuti karya wisata mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI ke Jawa Tengah dan Yogyakarta (1981).

Selama dalam perjalanan, dengan dibantu Bakhuri Jamaluddin dan Hartadi Wibowo, saya (dikenal sebagai “pusat bursa ide”) berprakarsa menerbitkan newsletter perjalanan. Dari Jakarta sudah disiapkan kopnya, kemudian isi redaksional dirundingkan dan diketik di atas bis yang berjalan. Ketika sampai di pemberhentian, di kota Bogor, Bandung, Purwokerto, Yogya , Salatiga dan Semarang, naskah itu digandakan di kedai fotokopi dan segera dibagikan kepada seluruh peserta tur.

Isi edisi Jakarta-Bogor, sempat membuat panitia bagian logistik tersinggung. Bagian yang menyiapkan makanan/minuman, yaitu Sri Mulungsih (kini eksekutif di Majalah Tempo) dan Arlima “Ipit” Mulyono (adiknya Nanu “Warkop” Mulyono), marah ketika diwartakan bahwa sakit pileknya saat itu dikuatirkan menulari semua peserta tur melalui makanan/minuman yang ia siapkan. Saya sebagai pemimpin redaksi kena somasi darinya, berupa wajah cemberut dan gerundelan sana-sini. Akhirnya saya dengan ikhlas meminta maaf kepada Sri Mulungsih ketika rombongan tiba di Yogya.

Edisi Bandung-Purwokerto menceritakan nasib “sial” bagi Bapak Ahmad Royani, dosen senior kami. Beliau adalah teman ngobrol saya bertopik persenjataan mutakhir di dunia. Pasalnya, ketika tiba di Perpustakaan Unpad atau ITB, beliau langsung mengikuti serombongan mahasiswa yang ia kira akan menuju ruang penyambutan. Ternyata rombongan yang bergegas ramai-ramai itu menuju kamar kecil !

Gagasan untuk melaporkan peristiwa ketika sedang berlangsung mendapat momen historis ketika meletus Perang Teluk Pertama (1990-1991). Pada tanggal 2 Agustus 1990 itu pasukan Irak menyerbu Kuwait. AS kemudian terjun dalam Operasi Badai Gurun di mana liputan secara langsung dari tengah-tengah kecamuk perang oleh wartawan Peter Arnett dari CNN menjadi tonggak peristiwa jurnalistik.

Kini, di era blog, laporan detik demi detik situasi medan perang dari garis depan secara teoritis tidak membutuhkan wartawan lagi. Karena di dunia blog sekarang dikenal sebutan mil-blogger atau military blogger, yaitu tentara yang melaporkan situasi dan perasaannya di tengah kecamuk peperangan melalui blog mereka masing-masing.

Jika Vietnam adalah perang pertama yang masuk televisi, maka perang Irak saat ini adalah yang pertama dilaporkan melalui media blog dan YouTube. Para military blogger itu selain mengirim kabar bagi keluarganya, pada kenyataannya mereka sedang menulis sejarah. Karena memang tidak seorang pun tahu hal sebenarnya yang terjadi di garis depan dibanding serdadu yang benar-benar sedang terjun berperang !



Virus Cinta Bengawan Solo. Rangkaian angan-angan di atas melintas ketika saya memperoleh undangan dari Harian Kompas, melalui kantor Biro Jawa Tengah di Semarang. Undangan itu dikirimkan atas nama Panitia Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 (EBSK 2007). Ditandatangani oleh ketua, Subur Tjahjono dan sekretarisnya, Andreas Maryoto.

Sebagai warga komunitas Epistoholik Indonesia dan sekaligus warga Wonogiri saya merasa terhormat diundang untuk hadir dalam acara peresmian ekspedisi bersangkutan. Harinya Sabtu, 9 Juni 2007, di Obyek Wisata Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri.

Surat itu saya terima tanggal 7 Juni 2007. Terpicu keberadaan layanan wireless local area network dari penyedia jasa akses Internet, SoloNet, di Wonogiri, saya tergerak mengobrol dengan Doni, operator warnet SoloNet. Sebelumnya saya membayangkan, di atas perahu karet EBSK 2007 itu dapat terpasang antena parabola mini sehingga laptop yang dibawa rombongan ekspedisi dapat terakses ke Internet. Dengan meluncurkan blog khusus, begitulah lanjut angan-angan saya, berarti dapat dilangsungkannya siaran secara online atau laporan perjalanan ekspedisi tersebut secara real time, dari detik ke detiknya, ke seluruh penjuru dunia.

Kemudian diperkaya dengan jurus-jurus kehumasan dan aksi pelibatan masyarakat yang melek Internet di kota-kota yang dilewati Bengawan Solo, lanjut impian saya, virus kesadaran mengenai nilai penting Bengawan Solo dan segala problematiknya akan mampu menjadi bahan diskusi, sehingga perhatian terhadap sungai yang panjangnya 527 km itu mampu mengalir sampai jauh dan meruyak kemana-mana.

Ternyata, menurut Doni, angan-angan saya itu mendapatkan kendala teknis. Karena antena bersangkutan harus berkedudukan statis, senantiasa tertuju kepada menara penguat. “Bila berubah sedikit, misalnya karena kena angin,” kata Doni, “akan terjadi gangguan serius dalam akses Internet.” OK-lah, saya telan kembali angan-angan itu.Walau saya yakin kendala semacam akan teratasi secara mudah pada suatu saat nanti.


Kaki Melik Telah Hilang. Yang pasti, undangan dan peristiwa Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 itu, di sisi lain, juga menyentakkan diri saya terhadap eksistensi Bengawan Solo. Ucapan nabi media dari Kanada, Marshall McLuhan (1911–1980) langsung tergambar di benak. Ia bilang, kalau ingin tahu tentang air janganlah bertanya kepada ikan.

Demikian pula, kalau Anda ingin tahu tentang Bengawan Solo maka jangan bertanya kepada saya, sebagai wong Wonogiri. Mengapa ? Karena kedekatan atau kemelekatan justru membutakan. Membuat kita tidak kritis, tidak lagi peka atau bahkan akhirnya juga tidak hirau sama sekali.

Rumah saya hanya sekitar 200 meter dari Bengawan Solo. Tetapi saya hanya bisa melihat aliran sungai itu kalau ada warga kampung saya yang meninggal dunia. Karena pekuburan kampung saya terletak di tepian bengawan itu. Dalam obrolan sambil lalu di pekuburan pernah saya tanyakan kepada Mas Parno, tetangga saya. “Bagaimana kabarnya Kaki Melik ?,” tanya saya. Sambil tertawa, Mas Parno bilang, bahwa Kaki Melik telah minggat entah ke mana. Kali ilang kedunge, sungai yang sekarang menjadi dangkal semua, mungkin yang menjadi penyebab perginya sang Kaki Melik itu.

Di tahun 1960-1966, saat saya duduk di SD Negeri 3 Wonogiri, yang gedungnya hanya 50 meter dari Bengawan Solo, sebutan Kaki Melik bagi anak-anak seusia saya saat itu cukup menakutkan. Bahkan juga membuat was-was teman sekolah saya, almarhum Timbul Susanto (rumahnya di Puthukrejo, hanya 10 m dari tepian Bengawan Solo), Slamet Hartanto dan Sukatno (almarhum). Padahal mereka adalah jago-jago renang di antara kami murid SDN 3 Wonogiri. Kalau jam istirahat tiba, kami memang sering menghambur ke kali untuk jeguran, mandi dan bermain di kali. Saya bukan perenang yang baik, sehingga saya pun punya rasa takut terhadap Kaki Melik.

Kaki Melik saat itu kami percayai sebagai danyang, roh halus penunggu kedung, bagian dalam dari Bengawan Solo. Ia dikabarkan setiap periode tertentu suka mengambil nyawa anak-anak sebagai tumbalnya. Saat itu aliran Bengawan Solo belum dibendung, permukaannya masih lebar dan cukup dalam. Merujuk keadaan seperti ini, Bengawan Solo memang masih mampu mengundang bahaya. Hal ini pulalah yang membuat saya selalu kena marah ibu dan bapak saya, dengan mendapat hukuman dimandikan, bila ketahuan telah mandi di sungai.

Legenda tentang Kaki Melik dan hukuman yang saya terima dari orang tua saya itu mungkin yang membuat bawah sadar saya, barangkali juga anak-anak segenerasi saya, menganggap bahwa Bengawan Solo bukanlah obyek alam yang pantas untuk diakrabi dan dicintai. Tetapi harus disingkiri. Cerita-cerita pewayangan mengenai ritus larung atau labuhan, yang artinya menghanyutkan atau membuang sesuatu yang sudah meninggal atau yang membawa sial, menunjukkan sungai memiliki konotasi negatif dalam budaya orang Jawa.

Lagu indah tentang Bengawan Solo yang diciptakan tahun 1940 oleh Pak Gesang Martohartono, belum pula menjadi sentuhan kuat yang mampu menggerakkan nurani untuk membuat Bengawan Solo menjadi sesuatu yang berarti bagi saya. Lagu keroncong yang diwarnai nuansa Portugis itu ketika di tengah kecamuk Perang Dunia Kedua telah memincut serdadu-serdadu Jepang. Juga orang-orang Belanda yang menjadi tawanan mereka saat itu. Bahkan serdadu Jepang itu membawanya pulang, hingga beberapa tahun kemudian memunculkan rekaman lagu Bengawan Solo dalam versi Jepang yang dinyanyikan oleh Toshi Matsuda. “Bengawan Sorro,” begitukah ia menyanyikannya ?


Menyaksikan Tempat Sampah Raksasa. Tahun 2002, saya bisa ikut mempromosikan bagian dari Bengawan Solo, yaitu Waduk Gajah Mungkur. Aktivitas rutin jalan kaki pagi saya kadang memang sampai ke tepian waduk ini. Kemudian berhenti sejenak untuk membaca-baca buku. Ritus ini kemudian sengaja saya masukkan dalam skrip ketika saya menjadi aktor utama film dokudrama, The Power of Dreams 2002 Documentary. Dalam foto (saya bertopi merah) nampak sedang diambil gambar yang dilakukan kru rumah produksi Sendok Satu Jakarta. Film ini telah ditayangkan di TransTV, 29 Juli 2002.

Di depan saya terbentang air waduk yang didalamnya mengalami proses sedimentasi atau pelumpuran yang parah. Ketika kemarau dan airnya surut, saya pernah berjalan menuju pulau yang berada di tengah waduk. Mengamati benda-benda yang bergumpalan di lumpur yang mengering, Anda bisa menemukan beragam sampah rumah tangga. Potongan sandal, sikat gigi, bungkus deterjen, botol air dalam kemasan, botol kosmetik, juga tas-tas plastik. Apa yang bisa saya kerjakan terhadap hal-hal seperti ini ?

“Sungai memang masih sebagai halaman belakang rumah kita,” tutur Maria Ambesa. Beliau kiranya seorang arsitek tata ruang yang saya temui tanggal 6-8 April 2002 di Jakarta. Saat itu kami sama-sama mengikuti The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan oleh pabrik mobil Honda di Indonesia. Dalam kontes itu ia mengajukan gagasan dan impiannya mengenai sungai dan bantarannya sebagai wahana kehidupan.


“Let’s create space for living,” demikian tulis Maria Ambesa di kanvas putih yang saya sediakan untuk menampung tanda tangan kenangan dari peserta kontes lainnya. Begitulah, sungai dalam kesadaran kosmis masyarakat kita rupanya masih merupakan tempat sampah raksasa. Tidak seperti Sungai Gangga, misalnya, yang dianggap sebagai sungai suci bagi pemeluk Hindu di India.

Dalam kesempatan lain, ketika jalan kaki pagi ke lokasi yang sama, saya membaca pengumuman mengenai proyek pengerukan waduk yang dibiayai oleh Pemerintah Jepang. Dalam papan pengumuman proyek pengerukan itu terbaca kalimat yang menohok : “Proyek Ini Dibiayai Oleh Pajak Yang Dibayarkan Oleh Warga Jepang.” Saya sebagai warga Wonogiri, warga Indonesia, yang sarana penunjang kehidupan saya telah dibantu diperbaiki oleh warga Jepang, lalu apa yang harus saya lakukan ?

Terlintas gagasan keinginan mengajak anak-anak sekolah di Wonogiri untuk menulis surat, atau membuat lukisan, dan kemudian dipublikasikan di Internet. Isinya berupa ucapan terima kasih kepada warga Jepang yang telah merelakan uang pajaknya untuk memelihara waduk Gajak Mungkur dan juga menjaga kelestarian Bengawan Solo.

Gagasan yang masih terhenti sebagai tabungan gagasan.

Yang pasti, gagasan pemanfaatan Internet untuk merangkul sebanyak mungkin warga guna menumbuhkan kesadaran sekaligus mengajak mereka untuk melakukan aksi bersama, sering muncul kembali. Demikian pula ia kembali menjadi landasan pemikiran ketika saya melambungkan angan-angan mengenai pemanfaatan media blog sebagai sarana publikasi secara online dari Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007.

Karena terbentur kendala teknis, di mana membuat siaran secara real time melalui Internet itu belum dimungkinkan, bagaimana bila modusnya dilakukan seperti ketika saya menerbitkan newsletter saat melakukan karya wisata di tahun 1981 itu ? Karena ekspedisi ini dilakukan oleh penerbit surat kabar ternama di negeri ini, saya sempat berharap gagasan itu sudah dieksploitasi oleh edisi online nya, yaitu Kompas Cybermedia.

Sayang, harapan itu juga pupus adanya.

Karena media maya Kompas Cybermedia nampak cukup puas menjadi shovelware : informasi tentang ekspedisi yang termuat dalam edisi cetak kemudian “dicongkel” seutuhnya untuk dimuat lagi dalam edisi onlinenya. Jadi media online tersebut hanya sebagai kuburan informasi dan karakternya sebagai media Internet yang interaktif pun dimatikan.

Apalagi situs ini rupanya memang tidak memandang istimewa ekspedisi tersebut. Tak ada greget untuk merancangnya sebagai isu yang penting, seperti dikatakan sebagai ikhtiar menemukan kembali Indonesia lewat Bengawan Solo, sehingga sepantasnya terbuka untuk dibuat menarik sebagai publikasi online yang mampu menggerakkan dialog dengan para pengunjungnya.

Media maya di Indonesia memang belum terbiasa mengeksploitasi unsur “e” yang penting dalam kosmologi komunikasi di dunia maya. Yaitu engagement, keterlibatan, atau membuka dialog dengan pembacanya sebagai bagian yang penting dalam kebijakan redaksionalnya.


Reinventing Indonesia. Upacara peresmian EBSK 2007 berlangsung dalam balutan musik campur sari. Ada Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, yang menyanyi. Juga Bupati Wonogiri, Begug Purnomisidi, dengan “Sewu Kutho”-nya Didi Kempot yang terkenal.

Di tengah upacara yang banyak dihadiri birokrat Wonogiri, tetapi tak ada kalangan guru, aktivis lingkungan atau pun murid-murid sekolah asal Wonogiri, saya sempat bertukar alamat dengan M. Dwi Cahyono, M.Hum., dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Ia peserta ekspedisi dan ahli arkeologi sungai, yang menjadi juru penerang dalam menguak riwayat masa lalu pelbagai situs arkeologis yang ditemui pada sepanjang aliran Bengawan Solo.

Saya juga bertukar kartu nama dengan Eka Budianta, sastrawan, aktifis lingkungan hidup, yang saat itu menjabat sebagai Advisor to Board of Director Jababeka, salah satu sponsor ekspedisi. Saya menyapa dengan memperkenalkan diri sebagai memiliki alma mater yang sama dengannya, Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia. Jababeka melalui Mas Eka telah menyumbangkan 1333 tanaman langka untuk Wonogiri.

Selain menebarkan ribuan benih ikan ke waduk, Mardiyanto, Begug dan Perwakilan Kompas Gramedia juga menanam pohon peringatan di lingkungan obyek wisata Waduk Gajah Mungkur. Saya mengaku, sebagai penduduk Wonogiri, baru kali inilah saya menjejakkan kaki ke obyek wisata tersebut. Beberapa hari kemudian, saya menulis surat pembaca seperti berikut ini :


Peduli dan Cinta Bengawan Solo
Dimuat di Kompas Jawa Tengah
Kamis, 21 Juni 2007


Menemukan kembali Indonesia dari dan melalui Bengawan Solo. Saya tergetar dengan penjelasan Rikard Bagun, Wapemred harian Kompas ketika menjelaskan misi Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di obyek wisata Waduk Gajah Mungkur, 9 Juni 2007.

Sebagai warga Wonogiri saya bangga sekaligus prihatin. Apalagi menyimak penjelasan Gubernur Mardiyanto yang meresmikan ekspedisi Kompas itu, betapa sungai legendaries itu kini terlilit masalah berat dan harus segera diselamatkan.

Bukti-bukti temuan eskpedisi menegaskan hal itu, selain ancaman sedimentasi juga beragam pencemaran yang mengancam masa depan sungai dan warga yang memanfaatkan sungai itu.

Ekspedisi Kompas itu merupakan tonggak penyadaran yang bermakna. Kini di masa depan, semangat pelestarian Bengawan Solo harus terus didengungkan. Merujuk hal itu, saya usulkan agar tanggal 9 Juni didaulat sebagai Hari Peduli atau Hari Cinta Bengawan Solo.

Kalau ancaman terhadap Bengawan Solo kini telah “mengalir sampai jauh,” maka tiba saatnya kita membangkitkan kepedulian dan cinta bangsa Indonesia terhadap sungai itu hingga kelestarian dan keasriannya tetap mampu mengalir sampai jauh, melintasi generasi demi generasi. Semoga.


Bambang Haryanto
Jalan Kajen Timur 72 Wonogiri
Warga Epistoholik Indonesia



Tukang Bersin-Bersin Virus. Dengan menulis surat pembaca itu saya telah merasa melakukan kuajiban saya sebagai kaum epistoholik dan warga Wonogiri. Bila menurut paradigmanya Seth Godin dalam wacana penyebaran virus gagasan, kiranya saya telah menjadi tukang bersin-bersin atau sneezers yang menyebarkan virus kepada orang lain. Sedang bila menurut Malcolm Gladwell dalam wacana menularkan epidemi sosial, bolehlah saya didaulat sebagai market maven, alias pemasar (tetapi masih kelas teri) dari Wonogiri.

Tetapi saya merasa belum berhasil. Mungkin karena yang menulis surat pembaca tentang ekspedisi itu hanya saya sendirian. Ekspedisinya pun tidak memiliki blog. Apalagi para kolega saya, sesama kaum epistoholik dan warga Wonogiri sendiri, masih belum banyak yang tertarik memiliki dan mengelola blog, membuat virus itu sulit menyebar.

Akhir-akhir ini banyak orang berwacana mengenai penyebaran virus gagasan sampai virus pemasaran. Wacana yang menarik. Tetapi bila yang bersangkutan sama sekali tidak mengaplikasikannya melalui situs web atau blog di Internet, sama saja omong kosong. Di luar media Internet, penyebaran virus semacam tidak smooth, sulit meruyak kemana-mana.

Merujuk pentingnya penyebaran virus gagasan itu, kalau boleh memutar ulang, saya angankan bahwa ekspedisi tersebut selain menyertakan para ahli arkeologi, ahli tanah, ahli kimia dan lingkungan (termasuk dosen UNS, Drs. Pranoto, M.Sc, yang teman saya seangkatan waktu di SMP Negeri 1 Wonogiri) seyogyanya juga menyertakan anak-anak Wonogiri. Katakanlah para pemimpin redaksi majalah dinding SLTP dan SLTA di Wonogiri dan dari kota-kota lain yang dilewati aliran Bengawan Solo. Tidak harus ikut berperahu dari awal sampai akhir, tetapi pada etape-etape tertentu saja.

Kepada peserta generasi muda itu diwajibkan menulis buku harian, yang kemudian dipajang pada majalah dinding, blog sekolah atau blog pribadi masing-masing. Kemudian dilakukan penilaian. Dengan demikian, tukang bersin-bersin yang bertugas menularkan virus kepedulian mengenai masa depan Bengawan Solo semakin banyak dan lintas generasi.

Bagaimana kalau tukang bersin-bersin itu berusaha dihadirkan ketika seluruh ekspedisi itu justru telah berakhir ? Gagasan lanjutan mengenai penyebaran virus makna pentingnya ekspedisi itu telah saya tuangkan kembali dalam surat pembaca berikut ini :


Hari Cinta Bengawan Solo


Menemukan kembali Indonesia dari dan melalui Bengawan Solo. Saya tergetar dengan penuturan Rikard Bagun, Wapemred harian Kompas ketika menjelaskan misi Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 di obyek wisata Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, 9 Juni 2007.

Sebagai warga Wonogiri saya bangga sekaligus prihatin. Apalagi menyimak penjelasan Gubernur Mardiyanto yang meresmikan ekspedisi Kompas itu, betapa sungai legendaris itu kini terlilit masalah berat dan harus segera diselamatkan. Bukti-bukti temuan eskpedisi kemudian menegaskan hal itu, selain ancaman sedimentasi juga beragam pencemaran yang mengancam masa depan sungai dan warga yang memanfaatkan sungai itu.

Ekspedisi Kompas merupakan tonggak penyadaran yang bermakna. Kini dan di masa depan, semangat pelestarian Bengawan Solo harus terus didengungkan. Utamanya bagi warga Jawa Tengah dan Jawa Timur, tempat sungai itu abadi mengalir. Merujuk hal tersebut, saya usulkan agar tanggal 9 Juni didaulat sebagai Hari Peduli atau Hari Cinta Bengawan Solo.

Sebaiknya di situs pohon kenangan yang saat itu ditanam oleh Gubernur Mardiyanto, Bupati Wonogiri, Kompas Gramedia dan Jababeka, dibuatkan prasasti yang memadai. Atau idealnya dibuatkan ruang pamer untuk memajang dokumentasi segala pernik dan seluk-beluk ekspedisi, biodata para pelaku, temuan dan rekomendasinya yang mampu menginspirasi pengunjung lokasi wisata itu.

Sebab ketika saya tengok (24/6/2007), kondisi tanaman-tanaman itu memprihatinkan. Masih hidup, tetapi kondisinya natural, dalam arti dibiarkan hidup atau mati tanpa ada kepedulian ekstra. Entah siapa yang harus ambil prakarsa, tetapi pengelola lokasi wisata itu merasa ‘”tidak berdosa” dengan keadaan yang ada. Tak ada anggaran untuk hal seperti itu, kilahnya. Saya prihatin karena pada hari biasa sekitar pohon-pohon itu merupakan tempat lalu lalang pengunjung, ia terancam mati terinjak-injak, karena juga terkepung oleh penjaja kali lima.

Kalau ancaman terhadap Bengawan Solo kini telah “mengalir sampai jauh,” maka tiba saatnya kita membangkitkan kepedulian dan cinta bangsa Indonesia terhadap sungai itu hingga kelestarian, keasrian dan kemanfaatannya tetap mampu mengalir sampai jauh, melintasi generasi demi generasi. Semoga.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Jalan Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Email : humorliner@yahoo.com


Surat pembaca ini saya kirimkan via email, kali ini ke Harian Kompas Jawa Timur. Karena Bengawan Solo juga melintasi Jawa Timur dan Kepala Biro Kompas Jawa Timur, Subkhan SD, juga hadir dan membacakan laporan mengenai ekspedisi bersangkutan di saat peremian.. Saya kirimkan pada tanggal 26 Juni 2007. Juga saya tembuskan kepada Eka Budianta di Jakarta dan M. Dwi Cahyono di Malang. Sepertinya, tidak dimuat. Juga tidak ada balasan.


Hari Cinta Bengawan Solo. Dalam impian saya, dipicu isi artikel tentang virtual value chain di majalah Harvard Business Review beberapa waktu lalu, pohon-pohon dan prasasti penanda peresmian ekspedisi bersejarah itu, sokur-sokur kalau dibangun gedung perpustakaan misalnya, dapat dijadikan sebagai titik wisata di dunia maya. Yaitu titik rendezvous atau titik pertemuan, kongkow, dialog, bagi mereka, di mana pun kini di dunia, yang memiliki kepedulian tentang masa depan Bengawan Solo.

Tentu saja pada setiap tanggal 9 Juni sebagai Hari Cinta dan Peduli Bengawan Solo, berusaha terus dikobarkan rasa kepedulian masyarakat Indonesia terhadap masa depan Bengawan Solo, agar tetap membara sepanjang waktu. Apakah impian saya ini hanya impian kosong di siang bolong ?

Setelah kunjungan kedua ke Obyek Wisata Waduk Gajah Mungkur (24/6/2007), saya belum menengok lagi bagaimana nasib tanaman yang dijadikan tonggak upacara peresmian ekspedisi tersebut. Saya hanya mampu bergumam : kalau Harian Kompas/Gramedia tidak peduli, sementara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah atau pun Pemerintah Kabupaten Wonogiri merasa tidak punya kuajiban untuk memelihara monumen hidup itu secara sebaik-baiknya, lalu siapa yang peduli ?

Ketika jalan kaki pagi di tepiannya dan memandangi aliran Bengawan Solo yang tenang, saya mudah teringat kata mutiara dari pakar kreativitas asal Malta yang terkenal, tetapi buku-bukunya sulit difahami, Edward de Bono. Ia bilang, banyak orang dalam kehidupan terhanyut seperti gabus yang mengapung di sungai, merasa bahwa mereka tidak dapat melakukan sesuatu kecuali hanya ikut terhanyut, waktu demi waktu. Ini menyangkut sikap mental atau pikiran. Karena sebenarnya setiap orang mampu berbuat sesuatu yang konstruktif, walau sekecil apa pun yang bisa ia kerjakan.

Terima kasih, Pak Bono.

Syukurlah, saya merasa tidak seperti seonggok gabus yang hanya mampu terapung-apung di permukaan Bengawan Solo. Walau harus saya akui, mungkin ibarat mesin tulis milik Pak Ambijo yang kehilangan huruf “e”-nya, maka eksplorasi, elaborasi, ekstensifikasi sampai eksekusi ide-ide kecil saya untuk ikut membangunkan kesadaran masyarakat kita tentang eksistensi Bengawan Solo, nampaknya sejauh ini memang belum mampu mengalir sampai jauh.


Wonogiri, 9/6-3/8/2007

tmw

Friday, May 25, 2007

Desperately Seeking “TV Bal-Balan” In Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id




Sea of tranquility. Andrew Weil, M.D. ibarat sosok seorang “nabi” dalam kancah pengobatan alternatif. Ia lulusan fakultas kedokteran Universitas Harvard. Dalam wawancara dengan majalah Housekeeping beberapa waktu lalu, di mana saya lupa mencatat nomor edisinya, tetapi saya fotokopi dari Perpustakaan LIA Jakarta Timur, 14 Januari 1998, ia mengajukan hal yang menarik dan kontroversial.

Sambil merujuk isi buku Weil terbaru yang laris, berjudul 8 Weeks to Optimum Health, Bonnie Rubin, si pewawancara, mengutarakan bahwa Andrew Weil menganjurkan agar orang “puasa berita,” yaitu absen dari membaca media cetak, tidak mendengarkan radio dan absen nonton televisi, sebagai cara memperoleh ketenangan yang lebih optimal. Tetapi bukankah terlibat secara aktif dengan keadaan yang terjadi di dunia merupakan nilai plus ?

“Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu,” jawabnya. “Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari. Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita.”

Bayangkan, bila tiap hari mental kita “dihajar” dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Merasa rada ngeri membayangkan hajaran-hajaran itu, kiranya dalam sebulan-dua bulan ini saya harus bersyukur karena telah secara tidak sengaja menjadi pengikut ajaran dokter karismatis yang berewokan ini.

Saya absen dari aktivitas menonton televisi.

Bukan untuk sok kontemplatif atau sedang melakukan ritus nenepi, tetapi ketenangan itu kiranya datang karena saya tidak dapat akses menonton televisi. Gara-gara Basnendar HPS, adik saya, menempati rumahnya di Mojosongo, Solo (atau Boyolali ?), pesawat televisi miliknya ikut ia bawa. Pesawat TV ini hadiah ketika karya logonya ikut dalam final lomba logo yang diadakan oleh pabrikan alat-alat elektronik Samsung. Ketika salah satu produk raksasa elektronik asal Korea Selatan ini pindah dari Kajen ke Mojosongo, jadilah saya puasa dalam mengonsumsi tayangan televisi.

Terpaan dari luar itu bersifat netral. Hal tersebut jadi menyakitkan atau tidak, semuanya tergantung kepada kita dalam memberikan reaksi. Itu ajaran Covey. Untunglah, saya tidak mengalami sindrom penarikan, seperti halnya yang diderita oleh perokok berat ketika dirinya harus berhenti merokok. Sepertinya tidak menonton televisi, ternyata juga tidak apa-apa. Bahkan sebelumnya, ketika tidak membaca-baca koran secara rutin, tiap hari, juga sepertinya tidak apa-apa pula bagi saya.

Saya memutuskan untuk “puasa baca koran” terjadi sekitar tahun 2004. Kebetulan di komputer saya terpasang peranti lunak dari PDA Casio (“PDAnya hilang di Singapura, 16-17 Januari 2005”) yang merincikan neraca keuangan sederhana. Dari data itu segera muncul gambaran betapa “semakin lama saya semakin sedikit membelajakan uang untuk beli koran, tetapi biaya akses Internet semakin naik saja kuantitasnya.” Mudah-mudahan kabar dan kondisi saya ini ini tidak terdengar oleh para penerbit koran ya ?


Buta sepakbola. Puasa nonton televisi juga membuahkan konsekuensi. Hal terberat bagi saya adalah hilangnya tontonan pertandingan langsung sepakbola. Apalagi, seperti kata nabi media digital dari MIT, Nicholas Negroponte, hal itulah kelebihan utama televisi. Menurutnya, televisi paling cocok sebagai saluran untuk menyiarkan informasi secara synchronous, seperti pertandingan olahraga atau berita secara langsung dan momen penghitungan suara.

Informasi jenis lainnya dapat dikemas secara asynchronous, seperti halnya karakter email atau sms, yang dapat diakses oleh pengguna dengan menentukan sendiri waktunya. Jadi tayangan seperti Seputar Indonesia atau Liputan 6 tidak harus kita tonton bareng-bareng pada jam tertentu.

Pendekatan model di atas telah diterapkan oleh Gannet, kelompok media terbesar di AS. Kini informasi mereka sampaikan, “menuruti apa yang dimaui oleh konsumennya.” Jadi tidak semua berita berbentuk cetak (yang lamban) dan tidak semua harus dalam bentuk teks yang membosankan. Bisa berbentuk grafis, suara, multimedia, atau hanya pesan singkat. Informasinya mengalir terus selama 24 jam tiap harinya.

Kembali ke masalah “puasa” nonton tayangan sepakbola. Sepakbola dalam negeri, Liga Inggris, Liga Italia sampai Liga Spanyol, sudahlah, saya bisa melupakannya. Tetapi tidak untuk Liga Champions. Ketika tim favorit saya, FC Hollywood alias Bayern Muenchen bertanding melawan AC Milan, dini hari saya memutuskan untuk keluar rumah.

Tetapi mau menonton di mana ? Dulu di terminal angkot Wonogiri ada televisi umum. Demikian juga di pos keamanan pabrik jamu Air Mancur yang hanya 100 m dari rumah. Menonton televisi di luar rumah seperti itu mengingatkan hal yang sama di tahun 1970, ketika saya bersekolah di Yogya. Saya yang tinggal di Dagen harus jalan sekitar 1 km menuju Alun-Alun Utara. Ke markas mahasiswa Arief Rahman Hakim. Iklan yang saya ingat saat itu adalah kacamata night and day IOM. Terkait komunitas mahasiswa, pada Piala Dunia 1990 saya juga nonton bersama mahasiswa. Saat itu RCTI masih menggunakan dekoder. Nontonnya di Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia, Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur.

Dini hari itu saya memutuskan untuk lewat di depan pabrik jamu Air Mancur. Ternyata pesawat tv di pos satpam itu mati. Saya tanyakan kepada satpam Air Mancur mengapa tidak menonton sepakbola. “Hanya bisa untuk nyetel MetroTV, mas,” jawabnya.

Lupakan Roy McKaay.
Lupakan Bayern Muenchen.
Lupakan AC Milan.
Lupakanlah sepakbola.

Saya pulang. Dan di tengah jalan kepergok dengan Pak Haji Sukijo. Rupanya beliau yang tinggalnya di dekat SMA Muhammadiyah 1 Kajen sudah berangkat ke masjid pada dini hari itu. Beliau memang menjadi pengurus Masjid Taqwa, Wonogiri.

“Assalamualaikum, Pak Haji,” sapaku. Beliau menyahut, tetapi kita terus saja berjalan menuju arah berlawanan. Sokurlah. Terus terang, selama ini saya agak “jeri” untuk ketemu dan ngobrol sama beliau. Karena pada sekitar bulan Maret 1998, di masjid Taqwa Wonogiri, beliau pernah menginterogasi saya. Topiknya : kapan kawin ?

“Sesudah Pak Harto lengser nanti,” begitulah jawaban saya secara sembarangan. Begitulah, beberapa minggu atau bulan sesudah Pak Harto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, saya bertemu Haji Sukijo lagi. Tentu saja beliau masih ingat “kredo” saya dan kini beliau menagihnya. Saya hanya bisa menjadi salah tingkah.

Terakhir, ketika ikut mengantar Basnendar dan calon istrinya Evy melakukan upacara ijab qobul di Masjid Taqwa, Jumat, 8 Oktober 2004, “penagihan” yang sama kembali berulang. Enam tahun “janji palsuku” telah berlalu, ternyata beliau masih tetap mengingatnya. Bahkan beliau berniat hendak menjodohkan saya dengan putri seseorang guru yang terhormat, yang rumahnya besar di Sanggrahan, sekitar lingkungan SMA Negeri 1 Wonogiri.


Dikira Sepakbola, Ternyata Film KB. Final Liga Champions 2007 tibalah juga, Kamis, 24 Mei 2007, dini hari. Hari Rabu sore saya mendengar ada mobil keliling dengan pengeras suara, mewartakan sesuatu. Yang saya tangkap hanyalah, “nanti malam saksikanlah di lapangan depan rumah dinas Bupati Wonogiri.”

Malam hari, sekitar jam 19.15, saya menuju lapangan tersebut. Waktu kecil, inilah lapangan tempat saya bermain sepakbola. Atau menunggang kerbau dari Jagalan (“mirip logo penerbit buku Kompas”) yang digembala Mulyadi, temanku sekelas saat SD. Fans penunggang kerbau di sore hari itu antara lain saya, Sukatno (teman sekampung) dan Joko Waluyono yang saat itu tinggal di rumah dinas Bupati Wonogiri.

Joko ini, yang kini tinggal (“kalau belum pindah”) di daerah Kebalen, Jl. Suryo, Kebayoran Baru Jakarta, masih famili dengan Eyang Laksmintorukmi, selir PB XI, yang menjadi istri Bupati Brotopranoto. Eyang Laks adalah guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Tahun 1973-1977 saya ikut kost di rumah Eyang Laks ini di Tamtaman, Baluwarti. Saya kadang menjadi “apoteker” bagi beliau : menerjemahkan cara pemakaian obat atau vitamin milik Eyang Laks yang dikirimkan kerabat, yang berbahasa Inggris.

Pernah kami bertiga bersamaan menunggang kerbau. Saya, Sukatno dan Joko Waluyono. Tiba-tiba kerbau itu melangkah ke dataran yang lebih tinggi. Semua penumpangnya segera melorot ke belakang dan akhirnya kami berjatuhan, berdebum ke tanah.

Malam itu, di tanah lapang depan rumah dinas Bupati Wonogiri itu sudah berdiri layar dan ada mobil unit pemutaran film. Saya sudah menicil gembira : nanti malam saya bisa menonton final Liga Champions. Tetapi ketika bertanya dengan salah satu awak mobil unit, harapan saya menguap. Mereka ternyata hanya memutar film saja. Pertunjukan layar tancap itu disajikan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Bhayangkara.


Ketemu chef Melia Hotel Hanoi. Saya lalu harus menonton sepakbola di mana ? Saya memutuskan pergi ke Pokoh. Di sana sejak November 2006 telah berdiri kafe unik, bangunannya terbuat dari bambu, dengan beragam sajian makanan unik pula. Ada makanan bergaya hik, makanan Wonogiri tempo dulu seperti sego tiwul sampai sego abang, juga makanan a la Barat seperti steak atau pun makanan Jepang seperti tempura dan terayaki.

Kafe itu, letaknya di sebelah barat lampu bangjo Pasar Pokoh, di bawah rerimbunan pepohonan, bernama Ngaso Angkringan. Ketika menanyakan apakah dini hari nanti televisinya akan menayangkan sepakbola, saya lalu diajak ngobrol oleh pemiliknya. Namanya : Susilo (50) tahun. Warga asli Pokoh, Wonoboyo. Ia alumnus SMA Negeri 1 Wonogiri.

Mas Susilo lalu bercerita mengenai konsep kafenya tersebut. Ia bercita-cita mengangkat kembali makanan-makanan unik khas Wonogiri masa lalu. Lengkap dengan asesori masa lalu pula. Saat itu saya disuguhi teh, tidak dalam gelas, tetapi dengan cangkir kaleng model jimbeng. Mengingatkan suguhan warung adiknya nenek saya, mBah Marto Bangin (ayah Lik Bawarto, kini Camat Giriwoyo), yang juga jualan teh dengan cangkir kaleng model yang sama, di Pasar Wonogiri.

Di warung wedang inilah ibu saya, ketika itu membantu mBah Marto Bangin ini, akhirnya bisa berkenalan dengan ayah saya. Kakak pertama ibu saya, Suripti, kemudian menjadi istri teman ayah saya pula. Sebagai bahan guyon keluarga, warung wedang ini akhirnya sering kami sebut sebagai MBA’s (Mbah BAngin’s) Café. Atau Army’s Café, karena ayah dan pakde saya berprofesi sebagai tentara.

Kembali ke kafe Ngaso Angkringan. Mendengar obrolan Mas Susilo saat itu, saya segera mengetahui bahwa dia banyak mereguk pengalaman bekerja di hotel. “Sebagai chef ?,” sergah saya. Ternyata saya tidak salah. Ia pernah melanglang sampai Amerika Serikat hingga Brunei. Salah satu cerita yang menarik adalah ketika ia bekerja di Hotel Melia Hanoi, Vietnam, saat melayani rombongan presiden Megawati menginap tahun 2003 di ibukota negaranya Paman Ho itu. “Ah, Hanoi,” pikiran saya ikut menerawang. “Nama ini mengingatkan saya fotonya Anez almarhumah saat kecil, saat ia mengikuti ayahnya bertugas sebagai diplomat di kota itu, di tahun 1965.”


Foto Mas Susilo bersama Ibu Mega tersebut kini menjadi dekorasi utama dinding kafenya sekaligus sebagai credential untuk menunjukkan kredibilitas bisnisnya. “Ah, orang Wonogiri satu ini pantas untuk dikisahkan cita-cita dan impian hidupnya,” kata hati saya. Sebab, secara tersirat dan walau sambil lalu, ia sepertinya agak mengeluhkan betapa masih kuatnya budaya ingin menjadi pegawai negeri di kalangan generasinya, dan cita-cita yang sama sepertinya juga belum tergerus secara signifikan untuk generasi anak muda Wonogiri masa kini.

Saya belum tahu mengapa ia berhenti dari karirnya sebagai chef hotel internasional. Tetapi yang pasti, keberaniannya berwirausaha, membuka kafe di Wonogiri dengan konsep unik dan cukup inovatif, di mana ia menjelaskan bahwa “saya sendiri yang menentukan dekorasi sampai makanannya,” sudah merupakan nilai plus tersendiri. Wonogiri, saya pikir, butuh lebih banyak pionir dan orang-orang “tidak normal” seperti dia. Kata hati saya, dengan sebisa saya, saya ingin ikut menerkenalkan kafenya tersebut melalui media blog-blog saya di Internet.

Jam sudah menunjuk pukul 21.30, saya minta pamit sama Mas Susilo. Saya berjanji, dini hari nanti akan kembali ke kafenya lagi. Sokurlah saya bisa tidur sejenak. Begitulah, akhirnya di kafe Ngaso Angkringan ini saya bisa menonton final Liga Champions 2007. Saya menjagoi Liverpool dan harus kecewa karena Steven Gerrard tidak beruntung di babak pertama.

Lalu muncul rasa cemas, ketika muncul adegan the armed robbery oleh si oportunis, Filippo Inzaghi, yang menjebol gawang Liverpool di menit 45+ itu. Istilah the armed robbery secara harafiah berarti sebagai “perampokan bersenjata,” tetapi dalam konteks gol Inzaghi banyak pers Inggris menilai ia handsball dulu karena bola tendangan Andrea Pirlo mengenai lengan Inzaghi, arah bola jadi berbelok dan mengecoh kiper Reina.

Untuk mengurangi cemas dan kecewa saya mengirim SMS ke Niz, yang saat itu ada di Lhoong Aceh. Ia tak membalas. Ia tidur dan memang tak suka sepakbola. Saya juga kirim SMS ke Mustikaningsih, warga Epistoholik Indonesia (EI) di Mojosongo, yang sama-sama sedih karena menjagoi timnya Rafael Benitez itu. Sebaliknya, ketinggalan 1 gol itu membuahkan kegembiraan bagi FX Triyas Hadiprihantoro, guru SMA St. Joseph Solo dan juga warga EI. Juga Purnomo Iman Santoso, warga EI dari Semarang.

Rasa kecewa juga datang dari Aji Wibowo, Banjarnegara. Ia alumnus FISIP UGM di mana ketika menulis skripsinya sempat berdiskusi denganku, persis dua tahun lalu (2005) saat Liverpool menumbangkan AC Milan dengan keajaiban, ketinggalan 0-3, 3-3, dan lalu menang dalam drama adu penalti.

Keajaiban 2005 tidak hadir lagi di tahun 2007 ini. Warga EI dari Jombang, E. Musyadad, bahkan mengaku dremimil mengirimkan wiridan agar Liverpool terhindar dari kekalahan. Ketika terjadi gol kedua oleh Inzaghi lagi, hal itu semakin meremukkan hati Musyadad. Juga hati kami. Peter Crouch masuk, harapan pun sempat muncul. Sayang, ketika Dick Kuyt mampu membobol gawang Dida, waktu pun sudah tidak lagi berfihak kepada tim asal tepian sungai Merseyside ini.

Saya kemudian pamit kepada Mas Susilo. Operasi atau ikhtiar mati-matian saya mencari televisi yang menyiarkan sepakbola atau bal-balan di Wonogiri, berakhir sudah. Dan seperti nasehat Andrew Weil, pada hari-hari mendatang saya bisa kembali dengan lega meneruskan laku “puasa” dalam hal menonton televisi.

“Apabila Anda dapat memilihkan tiga perubahan bagi warga Amerika Serikat dalam mengubah gaya hidup sehingga sistem kesehatan jiwa raga mereka selalu dalam kondisi puncak, apa saja yang harus mereka kerjakan ? ,” demikian pertanyaan terakhir Bonnie Rubin dari majalah Good Housekeeping kepada Andrew Weil.

“Lebih banyak berjalan kaki, memperhatikan pola bernafas (Weil menyarankan cara terbalik, yaitu menghembuskan nafas dulu, baru kemudian menariknya) dan makan lebih banyak buah serta sayuran. Ketiga hal tersebut mampu dilakukan oleh setiap orang,” tutup Andrew Weil.

Dini hari itu saya langsung mempraktekkan ajaran pertama Weil di atas. Dari kafe Ngaso Angkringan di Pokoh ke Kajen saya pulang dengan jalan kaki. Sebagai the morning walker, kali ini jalan kaki pagi saya sungguh-sungguh merupakan ritus yang benar-benar terlalu pagi. Itulah harga yang harus dibayar agar saya bisa menonton sepakbola di layar televisi, di kota kecil Wonogiri ini.

Mission accomplished !


Wonogiri 24-28 Mei 2007


tmw

Tuesday, May 8, 2007

Komputer Rusak, Gethuk Lindri dan Slogan Kosong Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id




Stres Berat. “Mengapa rusaknya komputer mampu mengakibatkan stres 10 kali lebih berat dibanding stres akibat hal-hal lain ?” Itulah salah satu topik menggelitik yang muncul ketika saya meriset di Google. Apakah Anda pernah mengalami stres yang sama ?

Saat itu saya mengajukan topik “computer troubleshooting” di mesin pencari di Internet yang kreasi Larry Page dan Sergei Brin itu.

Saat itu komputer saya memang lagi rusak. Komputer jangkrik yang saya beli di Pasar Senen Jakarta, 2002, tiba-tiba keyboardnya tidak jalan. Ketika keyboard itu saya bawa ke warnet, dicoba operatornya, bisa jalan normal. Saya coba di rumah, tak bisa. Kemudian saya berkonsultasi ke Anisah Computer, sebelah timur SDN 1 Wonogiri. Mereka berkesimpulan bahwa sakit komputer saya itu lebih parah daripada yang semula diduga.

Konsekuensinya mengejutkan : motherboard harus diganti. Apa boleh buat. Sang “ibu” yang penampilannya jelek dan selalu ngumpet di kotak itu harus diganti. Sebelumnya memiliki prosesor merek VIA, yang mudah mengingatkan nama Sylvia dari agen Korean Airline, yang di tahun 1984 menemani saya saat di wisuda. Si VIA itu kini diganti Pentium buatan pabriknya Andy Grove yang punya slogan “Only The Paranoid Survive” seperti judul bukunya yang terkenal.

Mungkin saya ketularan, karena ketika komputer saya menjadi waras pun, paranoid itu seperti enggan pergi. Penyebabnya adalah, baru dua hari, keyboard merek Supreme yang baru itu sudah tidak berfungsi lagi. Bayangkan stresnya karena memikirkan harus membeli “ibu” yang kerempeng dan sialan itu lagi !

Berusaha bersikap sabar dan rasional, maka saya mencoba mencari solusi dengan meriset artikel-artikel di Internet yang bertopik “computer troubleshooting” tersebut. Tips yang diberikan oleh dua situs yang saya pelajari justru menakutkan : motherboard memang harus diganti. Harus diganti lagi, setelah jalan hanya dua hari ?

Ketika mencoba mencari penghiburan akibat saran kejutan yang menggiriskan itu, saya temukan pertanyaan yang muncul di awal tulisan ini. Memang betul, rusaknya komputer mampu memicu stres 10 kali lebih berat bagi kita semua !


Hadiah Ulang tahun Niz. Tanggal 16 April 2007, yang merupakan hari ulang tahun Niz, saya terpaksa menggotong lagi CPU saya ke Anisah Computer. Komputer saya tinggalkan, untuk pergi ke warnet Salsa yang ada di Pokoh. Operatornya ternyata Eko, saya kenal saat ia dulu bekerja di warnet CosmicNet, utara Kodim, yang menutup usahanya. Saya menulis email untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Niz yang saat itu masih tertidur lelap dini hari, di kota London.

Sokurlah, ketika kembali ke Anisah Computer, motherboard ternyata tak ada masalah. Keyboard yang harus diganti, tanpa biaya. Saya merasakan lega, dan di rumah sambil mengopi balik pelbagai harta karun ke hard disk, saya menemukan kejutan-kejutan kecil. Kini komputer saya menjadi agak “Jawa” karena memiliki koleksi lagu-lagu Jawa. Antara lain 10 Campur Sari Pilihan Volume 1, Campur Sari Gunung Kidul – Album Sukses, 11 Koplo Dico The Best. Saya sekarang bisa mengenal suaranya Manthou’s, Nurhana, Sunyahni dan Wuryanti.

Salah satu lagu campur sari yang menarik perhatian adalah lagu “Gethuk Lindri” yang dinyanyikan oleh Wuryanti. Lagu itu memuja-muja kelezatan jajanan yang terbuat dari singkong itu, dan ini yang menarik dan sekaligus absurd, saat ia katakan bahwa gethuk lindri itu terkenal dari Wonogiri !

Dalam lagunya Wuryanti bercerita bahwa warung yang menjual gethuk lindri itu dijejali pembeli. Mereka harus antri. Penjualnya cantik, merak ati, dengan senyum serta lirikan mata menggoda. Kalau Anda membeli, dijamin tidak akan melupakannya. “Yen wis kadung ngincipi, ora liya mesti bakal bali,” simpul Wuryanti.

Mungkin saya yang salah. Tetapi hampir setiap pagi menyusuri jalanan di Wonogiri, saya belum pernah menemukan kios atau warung yang menjual gethuk lindri itu. Yang agak mudah dijumpai adalah penjual serabi, termasuk di mulut Jalan Kajen, jalan utama kampung saya. Tetapi di mana gethuk lindri itu dijual di Wonogiri ? Saya tidak tahu.

Saya mencoa merenung-renung : lagu menarik itu mungkin harus dianggap hanya fiksi. Indah, tetapi tidak nyata. Pelbagai kebohongan dengan kemasan indah itu bukan hal yang penting untuk dipertanyakan, digugat atau dikritisi. Ucapan dalang bahwa negara kita itu gemah ripah, tentrem lan toto raharjo harus didengarkan sebagai unsur musik semata. Hal serupa agaknya juga berlaku untuk slogan WISATA yang menempel pada hampir semua rumah di Wonogiri.

Wonogiri Adalah Kota Wisata ? Pemkab Wonogiri telah lama menentukan tagline atau slogan tersebut. Sebagian besar warga Wonogiri, yang baik-baik, penurut, pasif, memegang kuat budaya Jawa yang wegah rame itu, mungkin sudah melupakan fakta betapa kurang jumbuhnya antara slogan dengan kenyataan tersebut.

Sementara warga Wonogiri yang kritis, cendekia, sudah lama melupakan Wonogiri ketika mereka meninggakan kota ini. Wonogiri yang indah bagi mereka adalah masa lalu yang hanya mereka tengok saja di hari-hari Lebaran. Selebihnya, di kota tempat mereka mencari sesuap nasi justru dalam pergaulan berusaha menutupi fakta sebagai wong Wonogiri.

Identitas sebagai wong Wonogiri mungkin ibarat kita makan gethuk lindri : enaknya sekejap, tidak begitu bergizi, warnanya itu-itu pula dan tidak seperti kata Wuryanti, tidak makan gethuk yang satu ini juga tidak ada pengaruh apa-apa bagi kenikmatan, apalagi bagi kesehatan. Mungkin seperti halnya lagu campur sari, hanya bikin kita ngantuk ?

Selamat ulang tahun ke-266 Wonogiri !



Wonogiri, 9 Mei 2007

tmw

Tuesday, February 27, 2007

Penny Lane, Kajen Lane, Riwayat Sebuah Jalan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id



Email itu terkirim dari Liverpool. Dari Ardiyani, yang pernah bekerja sebagai mantan web editor di RCTI. Ia pun telah berbaik hati menyebutku sebagai “guru,” padahal aku tidak merasa pernah mengajarkan sesuatu padanya. Kita hanya mengobrol melalui email, tentang gangguan alergi yang ia derita, obrolan seputar tim Liverpool, dan tentu saja mengenai The Beatles.

Saya yang memulai, ketika dari BBC saya mendengar di Liverpool ada nama jalan yang diusulkan untuk diganti. Penny Lane. Padahal kita tahu, nama jalan ini sudah begitu melegenda berkat dijadikan sebagai judul lagu oleh kelompok the fabulous four, The Beatles.


In Penny Lane there is a barber
showing photographs
Of every head he's had the pleasure to know
And all the people that come and go
Stop and say hello
On the corner is a banker with a motorcar
The little children laugh at him behind his back
And the banker never wears a mack
In the pouring rain, very strange

Apa kesamaan antara Penny Lane dengan Kajen Lane ?
Ceritanya masih diramu. Maaf, Anda saya minta sabar menunggu.

(BH).

Sunday, February 4, 2007

Perempuan Sidney Sheldon dan Impian Suporter Sepakbola

Oleh : Bambang Haryanto
Email : humorliner@yahoo.com



Kaburnya Empat Biarawati. Spanyol : bumi tempat gairah abadi membuncah dan tak henti-hentinya terjadi pertumpahan darah. Dari aksi balas dendam tiran yang kejam, empat perempuan kabur meninggalkan biara suci, tempat aman mereka berlindung selama ini.

Spain. A land of eternal passion and unceasing bloodshed. From the vengeance of a pitiless tyrant, four women flee the sacred, once-safe walls of the convent.

Empat biarawati itu adalah Graciela, Lucia, Megan dan Teresa. Yang digambarkan memiliki gairah seks membara adalah Lucia. Ia bersembunyi dan masuk biara setelah kabur dari Sisilia, Italia. Ia melarikan diri setelah terlibat dalam aksi pembunuhan yang eksotis dan bergairah, guna membalas dendam atas kematian ayahnya.

Megan adalah anak industrialis kertas Amerika Serikat. Pesawat keluarganya hilang di Spanyol saat ia masih balita. Hanya dia yang selamat. Setelah kabur dari biara yang diobrak-abrik tentara Spanyol, ia terlibat asmara dengan Juan Miro, pentolan pemberontak Basque yang diuber-uber tentara Spanyol.

Kisah indah dan menegangkan dalam novel The Sands of Time (1988) itu seolah mengawang kembali di benak saya, ketika membaca berita di Yahoo News (31/1/2007) bahwa pengarangnya, Sidney Sheldon, telah meninggal dunia.

“Sidney Sheldon yang telah memenangkan penghargaan untuk tiga kariernya, di teater Broadway, film dan televisi, dan pada usia 50 tahun berpindah karier sebagai penulis novel laris tentang perjuangan perempuan yang mampu meraih kejayaan di tengah dunia pria yang kejam, telah meninggal dunia. Ia mencapai usia 89 tahun.”

Karya-karya novelnya menurut Wikipedia antara lain : The Naked Face (1970), The Other Side of Midnight (1973), A Stranger in the Mirror (1976), Bloodline (1977), Rage of Angels (1980), Master of the Game (1982), If Tomorrow Comes (1985), Windmills of the Gods (1987), The Sands of Time (1988), Memories of Midnight (1990), The Doomsday Conspiracy (1991), The Stars Shine Down (1992), Nothing Lasts Forever (1994), Morning, Noon and Night (1995), The Best Laid Plans (1997), Tell Me Your Dreams (1998), The Sky is Falling (2001), Are You Afraid of the Dark? (2004) dan The Other Side Of Me (2005). Sebagian besar sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.


Bergantungan Di Tebing. Novel-novel Sheldon digandrungi kaum perempuan. Menanggapi hal ini ia berkomentar, “saya suka menulis kisah tentang perempuan yang berbakat dan cakap, tetapi yang terutama bahwa mereka mempertahankan feminitasnya. Perempuan memiliki kekuatan dahsyat, yaitu feminitasnya, sebab kaum pria tidak memilikinya.”

Sidney Sheldon yang lahir 11 Februari 1917 terkenal piawai mengemas alur ceritanya. Meramunya antara ketegangan tinggi dan sensualitas. “Saya mencoba menulis buku di mana pembaca tidak dapat berhenti untuk merampungkannya,” katanya di tahun 1982. “Saya mencoba mengonstruksi cerita sehingga ketika pembaca sampai di akhir bab, mereka tergerak untuk membaca bab berikutnya. Ini merupakan teknik seri televisi kuno Sabtu malam : meninggalkan sang tokoh bergantungan di bibir tebing pada akhir bab cerita.”

Sheldon membanggakan dirinya terkait otensitas karya-karyanya. Pada tahun 1987 ia berujar : “Kalau saya ingin menulis sesuatu tempat, saya harus mengunjunginya. Apabila saya ingin menulis makanan di Indonesia, saya harus menyantap makanan itu di restoran Indonesia pula. Saya tidak berpikir untuk membohongi pembaca.”

Untuk novelnya Windmills of the Gods, yang menceritakan seluk-beluk CIA, ia melakukan wawncara dengan mantan bos CIA, Richard Helms. Juga melakukan perjalanan ke Argentina dan Rumania, menginap seminggu di Junction City, Kan., di mana tokoh perempuan novelnya itu tinggal.


Pacuan Banteng Gila. Saya bukan penggemar Sidney Sheldon. Saya belum pernah membaca buku-bukunya. Di perpustakaan umum Wonogiri, terdapat setengah lusin novelnya. Satu-satunya novel karya kreator dan sekaligus produser film seri I Dream of Jeannie (1965-1970, di Indonesia ada plagiatnya, “Jinny oh Jinny), saya baca dari cerita bersambung di Harian Kompas. Yaitu The Sands of Time (1988), yang diterjemahkan sebagai Butir-Butir Waktu. Jalinan cerita dalam novel ini ternyata ikut mampu mengantar diri saya memenangkan salah satu penghargaan di tahun 2002.

Salah satu bagian dari Butir-Butir Waktu yang paling saya ingat adalah adegan festival San Fermin di Pamplona, bagian daerah Navarre di Spanyol Utara. Festival seru tersebut yang diselenggarakan setiap bulan Juli diisi dengan aktivitas melepaskan banteng-banteng berlarian ke jalanan kota.

Photobucket - Video and Image Hosting

Menabuh Drum Impian. Di tengah syuting pembuatan film dokudrama The Power of Dreams Documentary, saya menabuh drum di tengah suasana menjelang pertandingan sepakbola di Stadion Manahan, Solo, 2002.


Dalam esai berjudul “The Power Of Dreams : Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif,” untuk mengikuti The Power of Dreams Contest 2002 yang diadakan pabrikan mobil Honda di Indonesia, PT Honda Prospect Motor, telah saya tuliskan impian saya :


“Dengan mengambil tamsil pagelaran adu banteng di Spanyol, banteng dan matador adalah ibarat dua kubu tim sepakbola yang bertanding. Para pemain sepakbola merupakan aktor utama. Sementara penonton tetaplah berstatus sebagai penonton. Mereka bukanlah pemain.

Tetapi di Spanyol juga dikenal atraksi massal, tidak kalah sensasional, yang melibatkan banteng dan massa. Uniknya disini, massa tidak hanya berstatus sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain.

Novelis Sidney Sheldon dalam novel indah dan menegangkan, The Sands of Time, secara memikat menggambarkan operasi pembebasan pentolan gerilyawan separatis Basque dari penjara Spanyol dengan latar belakang adegan pacuan massa dengan banteng “gila” ini. Pembaca disodori panorama eksotis berbau darah, kematian dan juga ruap gairah hidup, saat gemuruh massa dibalut rasa gembira bercampur ngeri, ramai-ramai berlarian di gang-gang sempit kota Pamplona sambil merecoki, menggoda, sekaligus menghindari amukan banteng ganas yang siap menginjak atau menyeruduknya secara buas.

Teater adu banteng di Pamplona ini rasanya klop sebagai presentasi roh teater sepakbola kontemporer, utamanya tren yang menggelombang dan sedang mencari bentuknya yang terbaik di Tanah Air dewasa ini. Penonton, juga suporter, yang dulu hanya duduk manis di bangku-bangku stadion, kini bangkit sebagai aktor yang ikut bermain.

Pada pelbagai kota sepakbola di Tanah Air seperti kota Solo, Jakarta, Malang, Bandung, Makassar, Surabaya, Semarang, Sleman, Tangerang, Gresik dan Medan, kini mewabah tren suporter sepakbola membentuk organisasi untuk tampil sebagai sosok entertainer, penghibur, dalam konser sepakbola. Secara atraktif kerumunan massa itu kompak meneriakkan yel-yel, melakukan koor, juga menampilkan koreografi yang gigantik.

Akibatnya perbedaan status sebagai entertainer, antara pemain sepakbola dan suporter, kini tak lagi kontras. Keduanya berbaur, saling berdialog, guna “membakar” atmosfir pertandingan sepakbola sehingga menjadi tontonan yang benar-benar menggairahkan. Atensi publik yang semula menjadi privilege pemain, kini sebagiannya terenggut oleh aksi suporter yang melakukan konser di pinggir lapangan secara signifikan !

Paradigma baru ini membuka harapan baru, sebagai salah satu antidote, penangkal, bagi rentannya sepakbola dengan aksi-aksi rusuh suporter. Peningkatan status suporter dari sekadar properti menjadi aktor harus disadari merupakan outlet, penyaluran, yang sehat dan rasional guna mensubstitusi fokus perhatian suporter yang mudah meledak terpicu oleh perolehan skor akhir, atau status kalah-menang dari tim yang didukungnya. Pemikiran ini bukankah sejalan dengan nilai-nilai yang dipromosikan oleh gerakan Olimpiade, bahwa partisipasi itu lebih penting dibandingkan dengan kemenangan ?

Para suporter dalam status sebagai entertainer pada langkah berikutnya didorong agar bertanggung jawab secara profesional terhadap kualitas konsernya. Sedang kalah atau menang, itu urusan profesional tim kesebelasan bersangkutan. Dalam konteks ini kelompok suporter harus terus memacu kreativitas, hingga suguhan konsernya menghibur, tak kalah sensasional dari pertandingan sepakbolanya. Mereka juga harus terampil menjual diri sehingga mampu merenggut atensi dan liputan media !”


Impian Belum Berakhir. Di Jakarta, tanggal 6-8 April 2002, di hadapan dewan juri yang terdiri Arswendo Atmowiloto, Mien Uno, Riri Riza, Susi Susanti, Kusnadi Budiman dan Satoshi Okamoto, saya mempresentasikan impian besar saya sebagai suporter sepakbola Indonesia.

Adalah suatu kehormatan besar, sebagai pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000) dan tercatat di Museum Rekor Indonesia (“semoga foto saya masih terpajang di museum tersebut di Srondol, Semarang”), saya bisa meresapi makna kekuatan impian yang dikukuhi oleh Soichiro Honda, pendiri kerajaan otomotif Honda. Saya memenangkan kontes tersebut. Profil diri saya sebagai suporter sepakbola kemudian ditayangkan di TransTV, 29 Juli 2002.

Di Wonogiri sekarang ini, hiruk pikuk dunia suporter sepakbola sudah saya tinggalkan. Tetapi saya masih memikirkannya, mengaduk-aduk gagasan, dan menuliskannya. Sejak tahun 2003 saya mengelola blog Suporter Indonesia, sebagai kontributor untuk majalah sepakbola Freekick (Jakarta), menulis untuk tabloid Liga Indonesia, dan bulan lalu (5/1/2007) sempat menjadi nara sumber via telepon untuk perbincangan seputar suporter sepakbola di Radio Utan Kayu (Jakarta).

Dalam perbincangan radio tersebut saya mengatakan bahwa kelompok suporter sepakbola Indonesia masih memiliki cakrawala yang sempit. Mereka terlalu fanatik untuk membela daerahnya, tetapi tidak melihat kanvas besar dunia sepakbola Indonesia yang terus terpuruk prestasinya di tataran regional, apalagi di tingkat dunia.

Impian saya untuk mengubah paradigma suporter sepakbola yang antara lain embrio gagasannya dipantik oleh sebagian isi novelnya Sidney Sheldon, masih dibutuhkan lagi ribuan sampai jutaan butir-butir waktu untuk realisasinya.


Wonogiri, 4-5 Februari 2007


tmw

Tuesday, January 16, 2007

Prof. HB Sutopo dan Eyang Murtidjono Pensiun

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id


Resep Sehat Voice of America. Penguasaan dua bahasa, bilingual, berpotensi memperlambat seseorang dari ancaman kepikunan. Informasi kesehatan menarik itu saya dengar dari radio Voice of Amerika (VoA) Siaran Indonesia, 15/1/2007. Penggunaan dua bahasa secara aktif diwartakan memacu otak penggunanya menjadi lebih “cemerlang” dan “tahan lama” dibanding otak mereka para pengguna satu bahasa saja.

Kabar ini, sekali lagi, nampaknya semakin mengukuhkan pendapat use it or lose it, gunakan atau kehilangan, baik yang menyangkut otak mau pun otot Anda. Kiranya kita dapat bercermin dari pendapat Alfred Eisenstaedt (1898–1995), fotografer dan jurnalis kenamaan Amerika kelahiran Jerman. Seperti telah dikutip edisi elektronik majalah Life 24 Agustus 1995 (“tepat saya berumur 42 tahun”) ia telah berujar, ”although I am 92, my brain is 30 years old.” Walau saya berusia 92 tahun, tetapi otak saya berusia 30 tahun.

Umur saya kini menjelang 54 tahun. Juga sudah terasa mulai dihinggapi “penyakit” mudah lupa. Pernah saya ke warnet, sesudah berjalan kaki sekitar 2 km, harus kecewa karena disket yang berisi tulisan untuk di-upload ke blog-blog saya dan materi untuk membalas email, lupa tidak saya bawa.

Sehari-hari saya yang terlibat dalam pemakaian tiga bahasa, Jawa, Indonesia dan Inggris, tetapi ketika bercermin diri saya sungguh tidak tahu pasti sejauh mana tesis informasi dari VoA di atas berlaku untuk diri saya. Dari ketiga bahasa itu, pastilah bahasa Inggris yang paling minimal saya kuasai. Maklum.

Tahun 1986 pernah ikut tes TOEFL di Kedutaan Besar Amerika Serikat, nilai saya hanya 58. Padahal untuk bisa lulus harus minimal, kalau tak salah ingat, 76. Di antara yang mampu mencapai angka lulus itu adalah Rene L. Pattiradjawane, lulusan Sastra Cina FSUI, dan kini redaktur senior di Harian Kompas.

Proses penguasaan saya untuk bahasa negerinya Putri Diana itu berlangsung asal-asalan. Sejak kecil hingga kini. Tetap saja asal-asalan. Termasuk setahun terakhir ini ketika saya membaca-baca email atau mendengar obrolan via telepon dengan Niz, my sweet heart yang tinggal di London.


Like father, like son. Belajar bahasa adalah masalah kebiasaan, kata Niz, suatu waktu. Konon ia sendiri saat tiba di Inggris lebih dari 20 tahun lalu, belajar berbahasa Inggrisnya dari anak-anak atau kaum manula saat bekerja sebagai carer, pengasuh mereka.

Bahasa Inggris menarik saya ketika saya masih duduk di klas lima SD Negeri 3 Wonogiri, 1965. Saya tidak tahu untuk tujuan apa, tetapi saat itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, yang seorang TNI Angkatan Darat, di rumah sering mengucapkan kata dan kalimat dalam bahasa Inggris. Saat itu ia bertugas di Kodim 0734 Yogyakarta. Saya punya ayah hanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Beliau rupanya mengambil kursus bahasa Inggris di Yogyakarta dan ketika ia belajar di rumah, saya ikut mendampingi dan mendengarkan, sehingga terimbas secara alamiah.

Tahun lalu, Mas Bambang Setiawan (BS), warga Wonogiri yang lama tinggal di Jakarta, kakak dari Sri Wahyuni (teman seangkatanku di SMP Negeri 1 Wonogiri), bercerita lewat email tentang ayah saya. Mas BS bisa saling mengenal dengan diri saya gara-gara saya memiliki blog di Internet. Ketika di masa kanak-kanak, kami justru tidak saling mengenal.

Yang saya tahu kemudian, adiknya Sri Wahyuni adalah putri dari Wakil Kapolres Wonogiri saat itu. Rumah dinasnya di tepi jalan raya, depan warung menco. Kemudian saya tahu ternyata ibunya Mas BS itu, Ibu Sudarmo, telah pula mengenal ibu saya. “Bu Kastanto itu priyayi-nya tinggi besar,” kenang Ibu Sudarmo. Sebagai istri polisi rupanya beliau akrab pula dengan kalangan istri tentara di Wonogiri.

Mas BS sekarang merupakan salah satu dedengkot :-) paguyuban warga Wonogiri yang tinggal di Jakarta. Kantornya di Graha Irama Building, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta. Di antara warga paguyuban wong Wonogiri itu, begitu ceritanya, antara lain mBak Ari Selopadi. Kalau tidak salah ingat, mBak Ari yang cantik dan tinggi semampai itu, yang pernah menjadi Putri Jawa Tengah, adalah juga alumnus sekolah dasarku, SD Negeri 3 Wonogiri. Termasuk semua adiknya, Minda, Iwan sampai Jajit.

Warga paguyuban lainnya adalah Mas Handrio, putra Pak Pangat, yang jarak rumahnya sekitar 150 m dari rumahku. Menurut Mas Handrio, seperti ditirukan oleh Mas BS, bahwa ia mengenal ayahku sebagai “lancar berbahasa Inggris.” Maka di emailnya pada saat-saat awal kenal, Mas BS membom diriku dengan perkataan : like father, like son.”

Selain belajar bahasa Inggris, beberapa waktu sebelumnya ayahku bercerita bahwa dirinya juga mempelajari bahasa Rusia. Kalau tak salah ingat, beliau bercerita akan ikut tes agar bisa lolos diikutkan menempuh tugas belajar di negeri asal Nikita Khrushchev, Mikhail Baryshnikov sampai Mikhail Sergeevich Gorbachev itu.

Dari buku-buku peninggalannya yang masijh utuh, antara lain dalam Buku Bahasa Rusia : Kursus Permulaan (Moskou, 1959), ia tulis dibeli seharga Rp. 50,00 tanggal 4 Desember 1961. Tercatat ayah mulai belajar 5 Desember 1961, Jam 17.30. Saat itu saya berumur 8 tahun. Dasar anak-anak, dari buku tersebut saya terpancing untuk ikut belajar bahasa Rusia pula.

Ketika SMP, saat dilanda cinta monyet, saya pernah menulis surat cinta berbahasa Indonesia tetapi dengan huruf abjad Rusia. Nasib surat itu mencocoki isi lirik lagu lama, Night of White Satin-nya Moody Blues : “letters I've written, never meaning to send. Surat-surat yang aku tulis tidak pernah dimaksudkan untuk dikirimkan. Kalau pun saya kirimkan, siapa yang mampu menjamin sang jantung hati akan memahami isinya ?

Tahun 1980 ketika berkuliah di FSUI saya berteman dengan Arlima “Ipit” Mulyono, adik pelawak Warkop Prambors, Nanu Mulyono. Ipit pernah berkuliah di Sastra Rusia. Ketika saya mencoba mengobrol dengan satu dua patah kata Rusia, Ipit mengira saya pernah ikut kursus Bahasa Rusia, Jl. Diponegoro, Jakarta.


Memvonis Raja Gerobak. Belajar bahasa Inggris secara tidak langsung lumayan menggebu di tahun 1977-1979. Saat itu saya menghuni sanggar seni rupa yang kami sebut sebagai Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Kehidupan semi bohemian di sanggar itu membuat saya berinteraksi dengan pelbagai aktivis kesenian Solo lainnya.

Photobucket - Video and Image Hosting

Di Luar Arena Scrabble. Aktivitas kesenian di Sanggar Mandungan beragam. Antara lain pementasan musik dan pembacaan puisi. Dalam foto tergambar aktivitas latihan untuk pementasan Malam Puisi 1977. Ki-ka : Murtidjono, Marsudi (membelakangi kamera), Tatah, Harsoyo dan Efix Mulyadi.


Aktivis tersebut antara lain HB Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara, ketiganya adalah pengajar di Jurusan Seni Rupa UNS Sebelas Maret. Ada pula Murtidjono atau Eyang Murti, sebutan gaulnya, yang saat itu baru lulus dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lagi kesengsem sama Koes Murtiyah alias Gusti Mung dari Kraton Solo, yang saat itu masih duduk di SMAN 4 Solo.

Kalau aku sih lebih menyukai adiknya, Koes Indriyah. Juga diam-diam menyukai Kenil, putri Pak Panji Mloyosuman, pelajar SMA Ursulin, yang bermurah hati menebarkan senyum penuh pesona dan lambaian tangan ketika setiap kali melintas di depan Mandungan.

Pengunjung setia sanggar lainnya adalah Didik “Fernando” Marsudi almarhum. Ia pegawai Pemkot Solo, aktivis teater dan kemudian dikenal sebagai seniman ketoprak Solo, Harsoyo Rajiyowiryono, mahasiswa Sastra Jawa UNS Sebelas Maret dan kini bekerja di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo dan juga Broto, pemuda dompu asal Laweyan, sohib-nya Eyang Murti, yang saat itu sepertinya tak selesai-selesai kuliahnya di FE UGM.

Nama-nama di atas adalah musuh-musuh utama saya dalam bermain scrabble. Papan permainan ini saya beli tanggal 6 Juni 1979. Pada boksnya tertulis : Manufactured by J.W. Spear & Sons, Ltd., Enfield, Middlesex, England. Sebelumnya saya membeli yang buatan dalam negeri, tetapi kurang memuaskan. Ibarat pembagian liga dalam kancah sepakbola, maka di Gallery Mandungan sering berlangsung permainan scrabble dalam dua arena : para pemain divisi utama menggunakan papan buatan Inggris dan divisi kedua menggunakan papan scrabble buatan dalam negeri. :-)

Selain sebagai pemain, saya sendiri didaulat sebagai pencatat kata mau pun skor. Juga penghakim karena saya yang memiliki kamus dan sekaligus sebagai motor pengejek bagi pemain lain yang kosa katanya terbatas. Mereka yang sering berulang memunculkan kata “VAN” mendapat vonis ramai-ramai dengan sebutan Raja Gerobak.

Arena permainan kadang tidak hanya di Mandungan, tetapi berpindah ke Baturan, rumah Pak Topo yang berada di kompleks perumahan dosen UNS. Atau berekspansi ke Laweyan, rumahnya Broto, atau rumah Marsudi, di Kauman.

Permainan scrabble ini begitu mencandu, membuat hidup kami seolah terbalik. Siang hari dijadikan untuk tidur dan malam hari digunakan untuk melek, bertarung meramu huruf menjadi kata yang bermakna, sekaligus menggabungkan unsur penguasaan terhadap kosa kata dengan kalkulasi demi meraih nilai tertinggi dipadu strategi membunuh peluang lawan. Sebagai pencandu scrabble dan pelintas batas malam, kami pun mengeluarkan kata-kata mutiara : “Cara terampuh untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur.”


Imbauan Menawan Dari Michigan. Sekarang ini kabar tentang teman-teman bermain scrabble di atas, kadangkala saya ketahui dari surat kabar. Sejak tahun 1980 saya meninggalkan Solo untuk berkuliah di Jakarta dan tahun-tahun sesudahnya membuat saya seperti terbuang sekaligus terputus dari seluk-beluk atmosfir sampai kiprah dunia kesenian.

Seperti saya katakan via email kepada Tinuk R. Yampolsky di New Haven, Connecticut, AS, karena teman-teman sesama aktivis kesenian Solo nampak belum akrab dengan Internet, antara lain telah membuat kami yang secara geografis dekat justru sulit saling bertemu di dunia maya.

Tahun 1987 saya pernah menulis surat pembaca di Majalah Tempo (7/2/1987). Isinya menawarkan Buletin InfoSeksi, yaitu jasa informasi mutakhir kepada klien berupa puluhan daftar isi majalah-majalah ilmiah luar negeri. Saya saat itu sedang merintis bisnis sebagai broker informasi. Secara mengejutkan, alamat saya di majalah itu telah mengakibatkan saya mendapatkan surat dari Pak Topo. Dari Michigan, Colorado, Amerika Serikat. Beliau menceritakan berita gembira, bahwa dirinya telah meraih dua gelar master dan kini meraih gelar Ph.D.

Ia pun mengompori diri saya untuk tergerak pula menempuh pendidikan lanjutan di manca negara. Nasehat hebat. Tetapi karena kebacut putus asa dengan nilai TOEFL saya yang rendah itu, sehingga membuat peluang saya untuk memperoleh beasiswa Fulbright ke AS praktis tertutup karena melewati batas umur, saya mencoba menghibur diri dengan membalas : mungkin diri saya masih ada peluang untuk belajar ke Inggris. Ternyata, sampai sekarang pun impian belajar ke Inggris itu masih pula hanya sebatas sebagai impian belaka.


Pensiunan : Untapped Resources. Informasi lanjutan tentang Pak Topo saya ikuti dari surat kabar, antara lain ketika beliau diangkat sebagai guru besar di UNS Sebelas Maret. Saya lupa tahunnya. Adik saya yang terkecil, Basnendar Heriprilosadoso, masih sempat menjadi mahasiswa dari Prof. HB Sutopo tersebut.

Berita mutakhir, koran Solopos minggu lalu (13/1/2007) mewartakan bahwa Pak Topo telah memasuki masa pensiun sejak November 2006. Sementara itu koran Suara Merdeka, minggu lalu pula, mewartakan Murtidjono akan pensiun sebagai PNS bulan Juni 2007, dan berarti pula pensiun dari jabatannya yang lebih dari dua puluhan tahun sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo itu.

Saya merasa lucu, juga rada aneh, membaca kabar-kabar di atas untuk memergoki fakta betapa sesama teman sepermainan scrabble di akhir tahun 70-an kini telah memasuki masa pensiunnya. Mungkin bila pekerjaan boleh diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka pak Topo dan Eyang Murti boleh disebut mereka tidak akan bermain lagi. Tetapi bila karier yang diibaratkan sebagai permainan scrabble, masa pensiun bukanlah batas akhir untuk melanjutkan karier mereka. Karena pekerjaan memang miliknya perusahaan, sedang karier adalah milik setiap pribadi.

Di koran tersebut diberitakan, Pak Topo masih memiliki kesibukan sebagai konsultan di Yayasan Indonesia Sejahtera. Juga tetap mengajar di kampus. Eyang Murti konon akan membantu istrinya dalam mengelola perusahaan keluarga, Sadinoe Songkopamilih. Nama ini aku dengar dari ayah sebagai perusahaan terpandang di Solo yang menyediakan peralatan tanda pangkat, seragam sampai sepatu militer.

Pak Topo dan Eyang Murti, masih sehat dan produktif. Demikian pula banyak kaum pensiunan yang lain. Nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT, menyebut kaum pensiunan itu sebagai untapped resources, harta karun yang terbengkalai dan belum dibudi dayakan secara maksimal. Saya telah menyuarakan keprihatinan itu dalam surat pembaca, sekitar dua tahun yang lalu :


Masa Pensiun, Masa Loyo ?
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 17 November 2004


Setiap kali penerimaan pelajar atau mahasiswa baru, mirip sebuah ritual, mereka harus menjalani masa orientasi. Bagaimana mereka yang akan pensiun ? Apakah mereka juga memperoleh bimbingan dan orientasi dari para seniornya ? Pertanyaan itu muncul ketika Kompas (10/9/2004) mewartakan tahun 2004-2009 terdapat 590.000 pegawai negeri sipil, terbanyak guru, yang pensiun. Jumlah yang sangat besar.

Hemat saya, sangat disayangkan bila ratusan ribu kaum terdidik yang selama ini terbiasa melakukan olah intelektual, bila tanpa bimbingan dan orientasi, akan membuat sumber daya intelektual mereka jadi muspro, sia-sia, di masa pensiunnya.

Dr. Mary Furlong, pakar Internet AS yang menaruh perhatian kepada kaum lansia, menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan.

Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri. Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.

Bapak Soeroyo (80 tahun), asal Solo, mungkin dapat dijadikan salah satu contoh. Bangga sebagai epistoholik, sejak pensiun dari PNS tahun 1981 beliau mengisi hari-hari kreatifnya di usia sepuh dan sehat itu dengan terus mengamuk (dalam tanda kutip), menulis surat-surat pembaca. Resepnya, banyak membaca, memperhatikan siaran radio, juga televisi. Bila ada hal-hal yang tidak laras dengan pikiran beliau, segera ia angkat pena. Tulisannya yang arif dan semangatnya yang tinggi menjadi ilham para yunior dalam komunitas Epistoholik Indonesia

Beliau juga rajin menggalang silaturahmi dalam wadah PWRI. Banyak humor. Bahkan punya slogan yang pantas dicamkan oleh sesama pensiunan dan mereka yang akan pensiun. Slogannya TOPP : Tua, Optimis, Prima dan Produktif. Beda dengan TOPP di jaman Orde Baru yang berarti Tua, Ompong, Peot dan Pikun.

Fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !

BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Bagaimana diri saya sendiri ? Bila menurut peraturan pegawai negeri sipil, saya akan pula pensiun satu-dua tahun mendatang. Tetapi saya bukan seorang pegawai negeri. Sehingga apabila pekerjaan dan karier diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka saya masih tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan orang lain untuk memainkannya.

Bahkan secara konkrit, saya pun masih memainkannya. Walau memang tidak bisa ramai-ramai lagi. Juga tidak pula harus setiap malam. Juga bukan lagi menggunakan papan scrabble buatan J.W. Spear & Sons, tetapi memanfaatkan peranti lunak permainan scrabble buatan Infogrames di komputer .

Dalam hidup kita memang saling memandang. Tetapi, there is only one success – to be able to spend your life in your own way. Hanya ada satu keberhasilan, yaitu menuntaskan waktu hidup Anda untuk menyusuri kehidupan yang telah Anda pilih sendiri. Ucapan penulis Amerika Christopher Morley (1890–1957) di atas kiranya pantas menjadi panduan kita semua. Terutama untuk diri saya pribadi yang selama ini memang tidak pernah menerjuni pekerjaan dan karier sebagai pegawai.

Ketika teman-teman sepermainan scrabble berangkat memasuki pensiun, seperti tergurat dalam lirik lagunya Carpenters yang saya sukai, We've Only Just Begun, mungkin hidup saya dalam beberapa hal justru baru akan dimulai. Lagu indah dan ucapan Morley di atas mampu membuat senyum kecil ketika di Wonogiri ini saya membaca email Niz yang mutakhir. Isinya setengah merajuk, sekaligus mengajukan pertanyaan : kapan mas mendampingi hidup saya di London ?


Wonogiri, 16 Januari 2007


tmw