Friday, February 15, 2008

Ancaman Di Balik Wabah Grafiti di Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews(at)yahoo.co.id


Teori jendela pecah. Kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling menelorkan teori broken windows, jendela pecah, untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Paparannya yang menarik dap[at anda baca di bukunya Malcolm Gladwell, The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000).

Keduanya berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tidak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan, siapa pun yang lewat terdorong menyimpulkan pastilah di lingkungan tersebut tidak ada yang peduli. Atau rumah itu kosong.

Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan, dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi. Buku The Tipping Point tadi bahkan menyimpulkan, “bahwa orang yang setiap hari lewat di jalanan bersih atau naik kereta api yang serba rapi cenderung akan menjadi orang lebih baik ketimbang bila mereka setiap hari lewat di jalanan penuh sampah dan naik kereta atau bus kota penuh corat-coret.”

Itukah pula ancaman besar tindak kejahatan yang akan marak dan meruyak di Wonogiri ? Karena lanskap kota Wonogiri yang kurang elok itu kini terasa makin sesak dengan munculnya corat-coret grafiti. Mari kita telusuri panorama hasil corat-coret artis jalanan yang tidak berani memunculkan jati dirinya secara terus terang itu :

Photobucket

KEKACAUAN VISUAL. Grafiti di atas tergores pada tembok bangunan rumah di Jl. Kabupaten. Apa makna pesan di balik corat-coret itu ? Sulit difahami. Tetapi karya “seni lukis jalanan” itu berperan menambah kekacauan visual bagi warga kota kecil ini. Dan adakah pengaruh buruknya bagi psike mereka ?


Photobucket

TANGGA MERAIH PENGAKUAN ? Penjual tangga bambu sedang melintas di jalan sekitar komplek SMA Negeri 1 Wonogiri. Adakah para siswa sekolah ini pula yang membuat grafiti di dekat sekolah mereka tersebut ? Kalau benar, apakah aksi mereka itu sebagai akibat lingkungan sekolah mereka yang justru tidak kondusif untuk menyalurkan energi “bomber” mereka yang meluap-luap ? Mengapa mereka memilih “jalan gelap” untuk meniti tangga guna meraih pengakuan, bahkan kemashuran ?

Photobucket


Photobucket

PARADOKS MENCARI CINTA. Para “bomber” atau pelukis grafiti itu suka menyembunyikan jati dirinya. Dapat dimaklumi, mereka itu dapat dianggap telah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Tetapi lihatlah, mereka mempromosikan diri agar dijadikan pacar, seperti tertuang dalam karyanya (atas, di menara waduk Gajah Mungkur) dan di daerah Sanggrahan, pada tembok Jl. Dr Wahidin, timur SDN Wonogiri 1. Bagaimana seseorang dapat mengenal mereka, lalu bisa menjadi pacar mereka, kalau para bomber itu selalu menyembunyikan jati dirinya ?

Photobucket

OPERASI RAHASIA. Para “bomber” itu kiranya orang-orang malam. Mereka beraksi ketika malam tiba. Lihatlah, karya di atas itu tergores pada tembok jalan di Jl. Pelem 3, persis di utara markas Kodim 0728 Wonogiri. Operasi rahasia mereka sukses, bahkan di dekat markas tentara !


Photobucket

AKTORNYA ITU-ITU SAJA ? Dari pelbagai motif grafiti yang ada di Wonogiri segera nampak bahwa karya-karya tersebut dilakukan oleh “pe-bomber” yang sama. Karya di atas terletak di pintu garasi sebuah rumah di Jl. Kartini.

Photobucket

APA INTI PESAN MEREKA ? Grafiti ini terdapat di tembok rumah/toko Tukang Gigi Jaya Leo di dekat Ponten. Tepatnya di sebelah selatan Bank Jawa Tengah. Apakah Anda bisa meraba arah pesan dari grafiti satu ini ?


Photobucket

KARYA SENI YANG HILANG. Tembok di dekat garasi bis Giri Indah, Jl. Kartini, semula nampak meriah dengan grafiti. Kemudian cat hitam telah membuat karyanya yang dikerjakan sang “bomber” alias seniman jalanan dengan sepenuh hati dan mungkin dalam hitungan beberapa malam itu, akhirnya bernasib lenyap dari pemandangan.


Langka kanal berekspresi ? Mengapa tiba-tiba grafiti marak dan apa kira-kira akibat jangka panjangnya bagi Wonogiri ? Ada dugaan, generasi muda di Wonogiri selama ini merasakan kesulitan untuk berekspresi secara otentik dalam mengaktualisasikan potensi mereka.

Sekadar contoh : secara rutin berlangsung di Wonogiri pelbagai acara budaya kolosal gagasan Pemkab. Seperti Kirab 1000 Keris, Kirab Umbul-Umbul dan Kirab Benda-Benda Pusaka yang melibatkan ribuan pelajar. Tetapi sangat jelas, kita semua tahu, aktivitas semacam itu bukan acara “mau” otentik mereka. Aktivitas semacam itu bukan otentik “milik dunia” mereka. Tetapi mereka harus ikut karena perintah guru, guna membawa nama sekolahnya.

Mungkinkah kesumpekan semacam itu yang mendorong mereka bergerilya, berekspresi, mencoret-coret tembok kotanya ? Untuk mengkritisi beragam kegiatan seremonial yang disukai pembesar Pemkab Wonogiri dan potret aktivitas kalangan pelajar di Wonogiri, saya pernah berkomentar dengan menulis surat pembaca seperti tertuang di bawah ini :


Perpustakaan di Wonogiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Rabu, 8 November 2006

Sekolah masa kini bukan lagi ibarat Matahari dan para murid sebagai planet-planet yang mengelilinginya. Para guru dan orang tua juga bukan satu-satunya sumber bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan dan kearifan. Wawasan ini menyelinap ketika menyaksikan pelajar Wonogiri pada hari pertama masuk sekolah sesudah Liburan Lebaran. Hari itu, sesudah ritus halal bihalal, jam belajar ditiadakan, dan murid-murid pun diijinkan pulang.

Sebagian dari mereka berbondong-bondong menyerbu pasar swalayan. Ada juga yang nongkrong-nongkrong di pasar. Setahu saya untuk kota sebesar Jakarta pada setiap kompleks pertokoan telah dipasang pesan yang melarang pelajar berseragam untuk keluyuran di pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Saya tidak tahu mengapa larangan yang sama tidak diterapkan di Wonogiri.

Yang kiranya boleh saya menduga, mereka menyerbu pasar swalayan karena sebagai satu-satunya tempat yang menarik. Mereka bisa melihat barang-barang bagus, sekaligus bisa melambungkan impian untuk bisa memilikinya. Di tempat berpendingin itu impian-impian mereka memperoleh rumah yang nyaman.

Celakanya, hanya impian sebagai konsumen. Sementara impian sebagai kreator, produsen, mungkin tidak memiliki tempat untuk subur berkembang. Baik di kelas, di rumah, di ruang-ruang perpustakaan sekolah atau umum, juga tidak bergejolak di lapangan-lapangan olah raga. Mereka tidak betah di sana.

Apalagi fasilitas umum untuk mengembangkan intelektualitas, bakat seni dan bakat olahraga di kota kecil Wonogiri, nampak belum mendapat perhatian yang berwenang secara memadai. Tidak hanya menyangkut bangunan fisiknya, tetapi terutama muatan kegiatannya yang mampu menarik generasi muda. Perpustakaan umum Wonogiri hadir dengan ruangan seadanya, lebih banyak lengang karena lokasinya dipencilkan, berada di luar lalu lintas ramai para pelajar.

Wonogiri konon tinggal satu-satunya kabupaten di Jateng yang tidak memiliki mobil/perpustakaan keliling. Warung Internet satu-satu berguguran. Sementara aktivitas anak muda justru cenderung dikooptasi birokrat hanya sebagai barisan pion guna meraih prestasi-prestasi semu yang tidak ada nilai-nilai edukasinya yang tinggi.

Mungkin itulah penyebab mengapa Wonogiri masih termasuk daerah tertinggal dalam hal pembangunan sumber daya manusia. Apalagi, otak-otak terbaik asal daerah ini lebih suka berkiprah di kota lain. Bahkan tidak jarang, mereka pun malu untuk mengaku sebagai wong Wonogiri. Dari mana harus mulai untuk bisa meretas lingkaran setan seperti ini ?


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri
Warga Epistoholik Indonesia


tmw

No comments: