Thursday, January 20, 2011

Revolusi Locavore, Tercekik Harga Cabe dan Wonogiri Kita

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id

Locavore.
Sudahkah Anda kenal istilah eksot ni ?
Saya ketabrak istilah itu gara-gara cabe.

Ceritanya, kemarin (19/1/2011) saya memperoleh kabar mutakhir tentang cabe itu dari penjual mi ayam Mas Djan di Wonogiri. mBaknya baru pulang dari pasar, dan mengeluh. Ia baru saja membeli cabe seperempat kilogram dengan harga gila-gilaan.

"Satu kilogram cabe rawit,harganya masih seratus ribu rupiah," katanya.Beberapa hari sebelumnya, koran lokal mewartakan : harga cabe satu klethus senilai rupiah sebanyak tiga ratus !

Pagi ini (20/1/2011), mungkin karena terus dihantui harga cabe itu, ketika membuka-buka situs koran The Jakarta Globe, saya menemukan istilah locavore itu dalam artikel yang inspiratif. Artikel tentang revolusi upaya memperkuat ketahanan pangan bagi warga Indonesia.

Disitu, penulisnya, Magfirah Dahlan-Taylor yang kandidat PhD bidang perencanaan, tatalaksana dan globalisasi dari Virginia Tech (AS), mewedar gagasan revolusi memperkuat daya tahan pengadaan pangan di negara kita ini melalui upaya pemanfaatan halaman kebun rumah-rumah kita.Kunci keberhasilan gagasan mulia ini harus dimulai dari pola pikir, mindset kita-kita semua.

Ia lalu merujuk ikhtiar Michelle Obama, yang berkebun tanaman sayuran di kompleks Gedung Putih. Aksi mulia Ibu Negara AS itu, menurutnya, sejalan dengan tren gerakan masyarakat di AS yang berlabel locavore, walau ada juga yang menyebut localvore.

Gerakan itu pada intinya berusaha mendekatkan sumber makanan kepada konsumen yang selama ini terbiasa mengambil makanan dari rak-rak di pasar-pasar swalayan ketimbang langsung dari tanaman. Dengan gerakan ini kita diajak mengonsumsi makanan-makanan hasil budi daya lokal.

Selain lebih murah, karena tidak terbebani biaya pajak sampai transportasi [baca kisah mBak Bea, warga Indonesia yang kini tinggal di Perancis ketika kangen makanan asal Indonesia], kita juga diajak/diajar untuk mengetahui ikhtiar apa saja yang membuat tanaman itu tumbuh.

Misalnya, apakah memakai pupuk kimia ataukah pupuk organik ? Merujuk hal itu, jelaslah pula bila gerakan locavore itu juga berimpit dengan misi gerakan pelestarian lingkungan hidup. Dan menurutnya, harus digairahkan sejak dini di bangku-bangku pendidikan kita.

Terima kasih, Ibu Magfirah Dahlan-Taylor.

Bagaimana sikap kita ? Mumpung kita semua masih merasakan shock, termasuk bila Anda membaca berita yang mengabarkan harga cabe mampu mencapai seperempat juta rupiah per kilogramnya, semoga tanda bahaya itu, yang juga bisa menjalar ke komoditas pertanian lainnya, mampu menginspirasi kita untuk mulai bergerak. Dimulai dari hal kecil, dari diri kita, dari rumah kita, dan sebaiknya kita lakukan sekarang juga.

Bertani modal kaleng. Bagi saya, imbauan di atas itu ibarat memutar kembali lagu lama dengan aransemen baru. Sedikit bernostalgia, di tahun 1998 ketika badai krisis moneter menggebuk Indonesia yang membuat saya harus pulang kampung ke Wonogiri setelah ngendon di Jakarta lebih dari 18 tahun, saya sempat membuat isu dan gerakan berkebun tanaman sayuran di halaman rumah sendiri.

Saya mengajak warga, misalnya dengan memanfaatkan lahan terbatas dan bahkan kaleng-kaleng bekas cat, untuk berkebun tanaman cabe, sawi, kangkung, sampai kacang panjang. Saya bahkan berbisnis benih-benih tanaman sayuran itu, juga pupuk organik, dengan label Optimis melalui jasa pos. Gagasan itu saya sebarkan dan promosikan melalui kolom-kolom surat pembaca di pelbagai surat kabar.

Cerita jadul itu sempat juga saya tulis di blog Esai Epistoholica pada bulan Agustus 2005. Potongannya : "Bisnis pertanian melalui surat pembaca juga pernah saya terjuni. Akibat krismon di awal 1998, saya pun harus hengkang dari Jakarta. Kembali mudik ke Wonogiri.

Dalam perjalanan bis Solo-Wonogiri, saya temukan penjaja asongan yang menawarkan produk unik. Yaitu paket kecil berisi sepuluh jenis biji-bijian, benih tanaman sayuran. Ada bayam, kangkung, lombok, sawi, tomat, gambas sampai mentimun. Saya membeli dan minta alamat penjualnya. Dirinya tinggal di daerah Sukoharjo. Harga satu paket, Rp. 1.000. Kalau belinya banyak, harganya Rp. 600 per paket.

Pertanian adalah subjek yang saya buta sama sekali. Saya anak tentara, bukan anak petani. Selama 18 tahun saya pun tinggal di Jakarta. Kini tiba saatnya, pikir saya, untuk belajar menjadi petani. Saya segera mencari info ke Departemen Pertanian. Bahkan kemudian menemukan tempat yang menjual pupuk organik. Juga membaca-baca majalah pertanian Trubus yang terkenal itu.

Di masa krisis moneter itu cabe harganya mencapai puluhan ribu per kilogram, aku pikir, gerakan swadesi alias mencukupi kebutuhan diri sendiri model Mahatma Gandhi (foto di atas) sebaiknya dicoba untuk dipromosikan."

Revolusi kita bersama. Apakah Anda sebagai warga Wonogiri, di mana pun Anda berada, kira-kira kini menjadi ikut tertarik dan kemudian tergerak untuk ikut dalam revolusi locavore yang inspiratif ini ? Hanya Anda yang bisa memastikannya.

Harapan saya : semoga obrolan tentang cekikan harga cabe, gerakan locavore, dan inspirasi dari Mahatma Gandhi ini mampu membawa manfaat bagi kita semua.

Mari kita mulai beraksi.
Demi kesejahteraan Anda pribadi, keluarga Anda, dan kita semua.

Anda punya pendapat menarik tentang hal ini ?
Saya menantikannya.
Terima kasih sebelumnya saya haturkan kepada Anda.


Wonogiri, 19-21/1/2011

PS : Saat ini saya memelihara 6-7 tanaman cabe. Walau tak begitu lebat, saya masih bisa mengonsumsi sayuran favorit ini, untuk diganyang menemani tempe mendoan.

Silakan akses artikel menarik ini dari Bapak Kusmayanto Kadiman, Locavore - Jurus Pamungkas Michelle Obama Menyiasati Globalisasi.

tmw