Monday, November 24, 2008

Solo Cyber City Dalam Gugatan Blogger Solo

Oleh : Bambang Haryanto


Senyapnya blogger Solo. “Anda seorang blogger ?” Itulah pertanyaan yang mungkin paling manis bagi telinga seorang blogger. Hal itu saya alami pada sebuah sore hari yang bergairah di kawasan city walk Solo, 30 Juli 2008. Di sisi kanan dan kiri kawasan pedestrian itu ramai berjajar para netters dengan laptop mereka, asyik mengikuti aksi browsing Internet bersama di sepanjang Jalan Slamet Riyadi, jalan utama kota Solo.

Acara tersebut, yang diikuti 468 peserta, merupakan aksi pemecahan Rekor Museum Indonesia (MURI) kategori browsing Internet bersama-sama. Tanggal 30 Juli kemudian dicanangkan sebagai Solo Cyberholic Day. Solo punya hari mabuk Internet. Solo punya hari gandrung Internet. Kota Solo sedang memamerkan otot kekuatannya di bidang teknologi informasi.

Pertanyaan kejutan “Anda seorang blogger ?” tadi muncul dari Gus Koko. Ia mengaku sebagai blogger dari Bandung. Ia berkalungkan kartu identitas dari Blogger Indonesia. Sore itu ia menyambangi hampir satu demi satu mereka yang sedang asyik dengan laptopnya, dengan pertanyaan serupa. Untuk yang sudah memiliki blog, ia melakukan tukar-menukar URL di secarik kertas bloknotnya. Untuk yang belum ngeblog, ia sarankan agar segera ngeblog.

Kami berdua lalu jalan bareng dan saya membeo saja sapaan dia itu. Saya terkesan dengan ikhtiar Gus Koko itu. Sampai-sampai saya tidak kritis atau skeptis untuk menanyakan cerita atau status organisasi yang tertera di kartu ID-nya itu. Bahkan saya tidak sempat memperhatikannya. Sesama blogger sebaiknya memiliki sangka baik, bukan ? Para blogger adalah bersaudara. Begitu kata hati saya.

Tetapi yang lalu mengusik adalah, ia juga menanyakan eksistensi blogger Solo saat itu. Gus Koko menyentil bahwa banyak peristiwa besar di Solo, tetapi liputannya di dunia maya hanya oleh media online yang standar. Itu pun tidak masif. “Mana blogger Solo ? Mana suara blogger Solo ?”


Urban guerrilla. Sebagai orang Wonogiri, walau kelahiran Solo, saya tidak tahu jawabnya. Rupanya, pertanyaan itu baru bisa agak terjawab empat bulan kemudian. Ketika berlangsung acara Jagongan Blogger a la Solo, 23 November 2008. Mengambil momentum Pesta Blogger Nasional 2008 (22/11/2008), para blogger Solo dapat saling bertemu. Lokasinya di gerai Speedy Hik, lantai 3, Solo Grand Mall.

Dengan dukungan Speedy Solo dan Laptop Solo, komunitas bloggger Pasarsolo.com, menggelar acara jagongan atau ketemuan sesama blogger Solo untuk rembukan. Topiknya kali ini menggugat kelanjutan proklamasi Pemkot Solo untuk merealisasikan diri sebagai sebuah kota cyber di tahun 2010. Juga mendata peran apa saja bagi para blogger Solo dalam mengisi proklamasi bersangkutan.

Dalam acara itu, yang kebetulan sebagai pencetus gagasan 30 Juli sebagai Solo Cyberholic Day, saya didaulat sebagai provokator untuk memancing lalu lintas sumbang saran dan obrolan. Pekerjaan saya relatif mudah ketika seorang blogger Solo (walau asal Makam Haji, Sukoharjo), Haris Firdaus, saya daulat untuk bicara. Karena mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS, fellow pada Kabut Institut, penulis buku dan kolom itu, telah menggugat kelanjutan program Solo Cyber City dalam artikelnya di harian Kompas Jawa Tengah (29 September 2008).

“Apakah konsep kota cyber yang hendak dicapai itu hanya sekadar pemasangan hot spot di tempat-tempat strategis seperti yang telah dilaksanakan sekarang, ataukah juga akan berimbas pada pengelolaan administrasi birokrasi, itu juga tak jelas,” gugatnya.

Ia pun merujuk pernyataan pakar TI internasional Onno W. Purbo, bahwa “tantangan utama membangun cyber city bukanlah pemasangan instalasi fisik teknologi internet. Perangkat fisik teknologi, kata Onno, hanya menjadi satu bagian kecil dari konsepsi kota cyber secara keseluruhan.

Tantangan terbesar justru membangun sebuah komunitas cyber yang berisi sumber daya manusia berkualitas yang mampu memproduksi informasi secara baik. Dalam istilah Onno, sebuah kota cyber hanya akan terwujud dan mampu bertahan hidup tatkala ada knowledge based society, masyarakat berbasis ilmu pengetahuan.”

Pak Jokowi, dengarkanlah. Saya pun tergoda untuk berandai-andai. Di manca negara, wacana sebuah cyber city sering mensyaratkan signifikansi persentase warga kota bersangkutan yang berkiprah dalam bidang teknologi informasi. Sebagai contoh adalah kota Seattle, di bagian utara Amerika Serikat itu. Disana telah bercokol perusahaan-perusaaan kampiun TI kelas dunia, seperti Microsoft, Google, Amazon.com dan belasan perusahaan-perusahaan TI baru yang menyerap tenaga-tenaga kerja baru di bidang teknologi informasi.

Pak Jokowi, pada tahun 2010 nanti sudahkah hadir perusahaan “Microsoft a la Solo”, “Google a la Solo”, atau “Amazon.com a la Solo” di Solo ? Mimpi memang halal dan sah untuk dilambungkan. Juga untuk para blogger Solo. Peserta jagongan kemudian nampak bersepakat kembsali ke bumi. Bahwa, biarlah Pemkot Solo menyelesaikan pekerjaan rumah mereka. Sedang para blogger Solo, yang oleh Haris disebut sebagai gerilyawan urban, harus hadir terus sebagai sumber-sumber suara kritis, dengan pertama kali harus mengasah amunisi terampuh mereka : otak mereka. Memperkaya isi blog-blog mereka.


Pasar gagasan kritis. Sumber-sumber suara kritis itu, yang memperoleh kanal relatif bebas, tentu saja nongkrongnya yang ideal di dunia maya. Internet dan terutama blog memang menjadi tumpuan untuk perjuangan penegakan demokrasi. Sempat saya sebutkan nama-nama Arash Sigarchi di Iran, Raja Petra Kamaruddin di Malaysia, sampai Fuad Al-Farhan di Arab Saudi. Mereka adalah blogger-blogger yang kritis dan kenyang keluar-masuk penjara.


Kritis, tetapi tak usah masuk penjara, itulah semangat dari pendirian portal blog Pasarsolo.com, ko-produser gagasan acara jagongan tadi. “Solo kini sedang naik daun. Sedang menjadi sorotan nasional dan internasional,” kata Sadrah Sumariyarso, motor portal blog Pasarsolo.com ini.

“Tetapi semua itu jangan membuat warga kota menjadi silau. Kebijakan Pemkot harus terus dikawal dengan membangkitkan pemikiran-pemikiran yang kritis pada warganya. Portal Pasarsolo.com hadir untuk menampung suara-suara kritis dari kalangan akar rumput itu,” lanjut Sadrah.

Cita-cita yang hebat. Apalagi memang banyak media massa utama, yang ber-DNA-kan pendekatan atas-bawah, lebih sering sebagai sumber informasi yang bersifat searah. Pendekatannya broadcast, top-down, lebih berfihak kepada para penguasa dan pengusaha. Media massa tradisional itu, yang bersifat oligarki itu, memang senantiasa memposisikan akar rumput berada di pinggiran.

Suara rakyat, suara akar rumput yang otentik dan beragam, memang sering mudah terdengar dalam dengungan sebuah pasar. Semangat pasar itu pula yang kental mengemuka dalam acara jagongan tadi. Mantan wartawan dan eksekutif radio di Solo, Duto Sri Cahyono, misalnya. Ia membuka banyak wacana upaya untuk menumbuh kembangkan komunitas yang kritis dan hidup di blogosfir Solo. Antara lain tentang pembentukan ceruk-ceruk komunitas yang berbasis pada hobi, kegemaran.

Duto banyak cerita menarik tentang hobinya memelihara burung. Dipadu antara kemampuan menulis yang mumpuni dan kejeliannya dalam menangkap peluang pasar, bisnis burung-burung berkicau itu dapat dia rentang “ekor panjang”-nya. Saya juga sempat menyinggung tesisnya Chris Anderson dan the long tail-nya itu. Dalam kiprah Duto, ia menggelarnya sampai ke bisnis sangkar burung, obat-obatan, konsultasi dan bahkan tutorial. “Bersinergi dengan blog, bisnis Anda apa pun, mampu merengkuh dunia,” tegasnya.

Terima kasih, Mas Duto. Masih terkait dengan hobi, Is “Hio” Aryanto, kartunis dan karyawan pers yang berdomilisi di Purwosari, ikut memamerkan blog komunitasnya di Solo yang menampung beragam kreasi dan kegiatan para penggemar penyanyi dan aktivis sosial, Iwan Fals. Taufik menjual beragam merchandise sepakbola terkait kedudukan blognya untuk menampung aktivitas suporter Pasoepati Solo.

Andy, aktivis LSM yang mengkritisi tindakan korupsi di Solo, Patiro, memiliki aktivitas hebat. Tanpa perlu dukungan pemerintah kota, dengan komputer-komputer bekas dan akses Internet tak terbatas bagi kantor LSM-nya, ia telah berusaha meluberkan akses itu sehingga merakyat untuk warga kampungnya di Sodipan, Solo. Salut banget, Mas Andy.

Pasar gagasan yang bergairah. Para blogger Solo lainnya yang hadir, seperti Gabon, Kornelius, I Love Solo, Ladyelen, MySukmana, Hens, Siska, Kusuma, Loso, Yoyo dan belasan simpatisan yang memenuhi gerai Speedy Hik itu, tentu setuju dengan ajakan Mas Khoirul, pengelola gerai menarik ini.

Menurut Mas Khoirul, sarana ini terbuka untuk diisi dengan beragam aktivitas intelektual oleh para blogger Solo. Bahkan tanggal 30 November 2008 di tempat yang sama akan diisi oleh Kurniawan dari UNS Sebelas Maret yang akan membahas topik Trik dan Kiat Mempercantik Blog Anda.

Pasar gagasan yang semoga terus berdengung. Dalam acara itu saya sempat melemparkan wacana bagaimana mensinergikan antara kiprah para blogger Solo dengan potensi-potensi ekonomi kreatif di kota ini. Sebagai tabungan. Kita semua berharap, isi dari lalu-lintas obrolan sore itu dapat menjadi benih-benih yang bisa tumbuh di kemudian hari, untuk menyemarakkan jagat blogsfir dan geliat ekonomi kreatif di Solo masa depan.

Saya senang skali diSolo ad acra seprti td. Sip!” begitulah potongan SMS dari Haris Firdaus, saya terima ketika senja jatuh dan bis Serba Mulya membawa saya pulang ke Wonogiri. Kabar gembira yang sempat memicu rasa sedih. Sebagai blogger memang nasibnya sering ibarat sebagai dukun : Anda seringkali bukan siapa-siapa di lingkungan Anda, tetapi justru dianggap “sakti” oleh mereka yang jauh di luar lingkungan Anda.

Sore itu, di salah satu mall besar di Solo, menjadi saksi kesedihan saya itu. Sebagai blogger saya bisa “mendalang” di Solo. Tetapi di Wonogiri, kota saya, status saya sebagai blogger merupakan status yang masih tidak terdengar.


Wonogiri, 24/11/2008

Wednesday, July 23, 2008

Alas Kethu, Wonogiri dan Pasadena

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (a) yahoo.co.id


Puing masa lalu. “Setelah ke Pasadena, aku akan meluncur ke Alaska.” Kalau ucapan ini terdengar di Wonogiri, Anda jangan bayangkan bahwa si pengucap tersebut akan segera terbang ke Amerika Serikat dan terus ke Kutub Utara.

Pasadena adalah nama warung Internet baru di kawasan Gudang Seng. Sedang Alaska adalah singkatan dari Alas Kethu, kawasan hutan di bagian utara Wonogiri yang kini sedang ramai dibicarakan. Disengketakan.

Antara keinginan bupati Begug Purnomisidi yang ingin menjadikan Alas Kethu sebagai kompleks pabrik etanol, bermitra dengan perusahaan dari Cina. Pabrik dengan bahan baku singkong ini diproyeksikan akan menyerap 15 ribu tenaga kerja. Klaim yang bisa diperdebatkan. Tapi ia bersikukuh, kalau proyek ini gagal, ia akan mundur.

Sementara itu kubu yang menentang adalah mereka yang pro lingkungan hidup, ingin menyelamatkan hutan itu dari keruasakan atau kepunahan, karena berfungsi sebagai paru-paru kota Wonogiri dan sebagai daerah resapan air.

Yang pasti, sekilas cerita tentang Pasadena atau Alaska itu seolah mencitrakan Wonogiri yang sedang bergulat antara masa lalu dan masa depan. Katakanlah, warnet Pasadena merupakan simbol yang mencerminkan orientasi Wonogiri terhadap masa depan. Era informasi.

Karena warnet ini, dan sekitar sepuluh warnet lainnya di kota Wonogiri, menjadi wahana bagi warga kota gaplek yang melek Internet untuk mampu merengkuh dunia. Sementara isu mutakhir tentang Alaska, alias Alas Kethu, yang melibatkan wacana dengan kata-kata kunci pabrik, singkong sampai buruh, jelas mewakili mazhab dari dunia atau era agraris dan industri. Kemana Wonogiri akan melangkah ?

Alas Kethu Wonogiri Di Waktu Pagi, Alas Kethu Wonogiri Di Waktu Pagi. Foto tahun 2008. Rencana mengalihfungsikan hutan sebagai lokasi pabrik, banyak ditentang oleh para pencinta lingkungan hidup.

Terancam. Jalanan Alas Kethu masih lengang ketika anak-anak nampak berangkat ke sekolah. Kalau hutan di sekitar mereka lewat itu kelak menjadi industri, jalan diperlebar, mobil lalu lalang, maka keindahan pagi yang sunyi di hutan ini hanya tinggal dalam impian.

Mental kelangkaan. Debat tentang Alas Kethu itu melemparkan saya untuk mengenang isi laporan Harian Kompas tentang profil Wonogiri. Kalau tidak salah ada empat seri tulisan, di tahun 1980-an. Tahun 1980 itu adalah tahun pertama saya menginjak kota Jakarta. Sebagai mahasiswa di kampus Rawamangun, Universitas Indonesia. Artikel itu memercikkan kebanggaan saya sebagai orang Wonogiri.

Sayang, klipingnya sudah tidak lagi saya miliki. Yang cukup menggores di ingatan adalah ilustrasi mengenai dominannya penduduk Wonogiri yang melakukan boro, merantau ke seluruh pojok-pojok tanah air. Mereka meninggalkan Wonogiri yang tandus, berbatu kapur, lahan yang tidak membuahkan kemakmuran baik sandang atau pangan bagi warganya. Gambaran lain dari koran itu adalah mengenai keuletan warga Wonogiri berkarya di perantauan.

Cerita-cerita sukses mereka lalu ditunjukkan saat Lebaran tiba. Para kaum boro itu mudik ke Wonogiri, menularkan virus yang sama kepada generasi mudanya. Sehingga selama ini dikatakan bahwa Wonogiri terus-menerus mengalami brain drain, mereka-mereka yang terbaik dipaksa harus pergi dan sukses di luar kota Wonogiri. Secara sinikal, slogan Wonogiri sebagai Kota Wisata di mana kata-kata ini tertempel hampir semua rumah di Wonogiri, mungkin memang ditujukan kepada kaum boro ini. Berwisatalah ke Wonogiri ketika Lebaran tiba !

Akibat brain drain itu, apakah kemudian yang tinggal di Wonogiri hanya remah-remahnya belaka ? Orang bisa berdebat. Tentu saja tidak mutlak semuanya. Karena Harian Kompas itu juga melaporkan kisah sukses warga Wonogiri, di tanah mereka di kota ini. Sebagai contoh mencolok adalah dinasti-dinasti wiraswastawan yang terjun berwirausaha guna melayani kebutuhan warganya untuk ulang-alik, merantau dan pulang itu. Kisah sukses pengusaha-pengusaha bus Wonogiri kemudian dibabarkan.

Terkait perbincangan tentang atmosfir berusaha di Wonogiri, ada satu dua alinea yang saya ingat saat itu. Dipaparkan bahwa akibat latar belakang alam yang keras, sumber daya yang terbatas, konon membuat perangai pebisnis asal Wonogiri selalu sengit dalam bersaing. Bahkan bersikap tegaan satu sama lainnya. Buntutnya, membuat pebisnis Wonogiri lebih suka bekerja sama dengan pebisnis dari daerah lain, dibanding mereka bekerja sama dengan sesama pebisnis asal Wonogiri sendiri.

Kalau boleh diberi label, persaingan itu terjadi karena bersumber dari pola pikir kelangkaan, scarcity mentality. Dunia ini terbatas. Oleh karena itu sukses orang lain berpotensi mengurangi peluang sukses diri saya sendiri. Roti dunia yang bisa mereka makan akan mengurangi jatah roti yang bisa saya makan.

Hidup akhirnya semata menjadi arena persaingan dan perbandingan. “Ketika orang lain sukses, di mulut saya katakan ucapan selamat padanya, dengan senyum juga, tetapi mengapa ada sebungkah kepedihan dan luka besar menganga di hati saya ?”

Apakah sikap mental suka bersaing dan suka membanding-bandingkan itu juga masih mencengkeram mindset warga Wonogiri, apa pun profesi mereka ?


Kutukan oyot mimang. Wacana tentang kontroversi proyek Alas Kethunya Begug akan terus bergulir di hari-hari mendatang. Ribut-ribut itu membuat saya beberapa hari lalu memutuskan jalan kaki pagi, menyusuri jalan yang membelah Alas Kethu itu. Sebelah kiri terdapat area hutan yang dibabat ketika Begug terpilih pertama kali, lalu mencita-citakan area itu sebagai replika Taman Mini Indonesia. Impiannya itu hanya impian, sampai kini. Lalu muncul impian barunya mengenai pabrik etanol tadi.

Jalan kaki saya hanya sampai pertigaan, yang kalau belok ke kanan menuju Seneng Kata “Seneng” itu tertanam di kepala saya sejak Sekolah Dasar. Tahun 1960-an. Muncul dari mulut teman saya, (almarhum) Sri Wahyono. Setiap liburan, ia bilang, selalu ke Seneng. Dengan melintasi hutan, ya Alas Kethu itu, yang jauh lebih lebat dibandingkan saat ini.

Kata dan cerita mengenai hutan atau alas saat itu dari Sri Wahyono (bapak dan ibunya, Sidin Wirotenoyo adalah sahabat ayah dan ibu saya) mampu memberikan eksotika tersendiri di kepala seorang murid SD yang belum pernah mengenal bagaimana hutan itu sebenarnya. Hutan menjadi sesuatu yang hidup dan menawan di dalam kepalanya akibat membaca-baca komik Wiro, Tarzan Jawa.

Atau mendengar cerita dari tetangga, dari anak yang lebih besar. Dari Mas Marino, tetangga saya yang waktu kecil suka mencari kayu bakar ke Alas Kethu, muncul dongengan. Bahwa konon di Alas Kethu itu ada yang namanya oyot mimang. Akar mimang. Akar kutukan.

Ceritanya, kalau Anda melangkahi akar kutukan itu maka Anda akan hanya berjalan melingkar-lingkar di hutan bersangkutan. Tersesat. Tidak mampu menemukan jalan pulang. Kalau tidak ditemukan oleh para pencari, akhirnya kelaparan dan ngenas di hutan. Apakah bupati Begug Purnomisidi kelak juga bernasib menerima “kutukan” serupa, akibat ia berani melangkahi atau bahkan merusak habitat akar kutukan Alas Kethu itu ?


Dunia ini berkelimpahan. “Kutukan” itu sebenarnya sudah terjadi. Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tanggal 7 Desember 2004 menyajikan data pahit : dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ternyata Wonogiri termasuk sebagai daerah tertinggal. Status itu mungkin telah menjebak warganya untuk hanya berkubang dalam masalah yang dalam piramida kebutuhan manusia-nya Abraham Maslow disebut kebutuhan primitif. Kebutuhan penyambung hidup. Walau Wonogiri, jelas, tidak sendiri di negeri serba terpuruk saat ini.

Masalahnya, apakah Wonogiri mampu meretas keterbatasan dan keterkungkungannya itu ? Tergantung kepada warga Wonogiri yang tinggal, juga diasporanya yang tersebar di seluruh dunia dalam ikut berwacana membangun Wonogiri. Terlebih lagi, berkat revolusi digital, semua sumber daya (brainware ) itu, di mana pun berada, kini semakin mudah untuk diintegrasikan guna menghadirkan pasar diskusi atau bursa ide yang hidup tentang masa depan Wonogiri.

Sekadar provokasi gagasan : kalau Bupati Sragen kini melangkah dengan membangun sebuah technopark, guna memberdayakan brainware warganya, apakah benak warga Wonogiri hanya puas dijejali udreg-udregan dengan masalah yang berorientasi ke dunia manufaktur, yang menuju senja ?

Kalau di dunia fisik yang terbatas itu sesama warga Wonogiri dikondisikan berpuluh tahun untuk halal saling sikut, atau saling jegal guna memperebutkan jatah roti yang terbatas, maka di dunia digital yang berkelimpahan itu sudah saatnya warga Wonogiri mampu membangun kolaborasi. Semua dapat memperoleh bagian. Semua mampu meraih kemenangan.

“If cyberspace is a nation, it is probably of the most benevolent nations that has ever existed,” kata nabi media digital dari MIT, Nicholas Negroponte dalam wawancara dengan Newsweek (8/1/1998). Dunia maya, dunia digital, adalah dunia penuh kebajikan, penuh berkah. Karena warganya saling tolong-menolong. “It is a place where people help each other,” demikian tutur Negroponte menutup wawancaranya.

Warga Wonogiri, dengan semangat saling tolong-menolong, marilah kita pindah persneling sikap mental yang melatarbelakangi kemelut Alas Kethu, Alaska. Mari kita ramai-ramai menuju Pasadena.


Wonogiri, 24 Juli 2008

tmw

Friday, June 27, 2008

Radio KaravanFM Solo Kini Tinggal Desisan !

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.com


Kabur Koneksi. Sudah seminggu lebih Radio KaravanFM Solo hanya berupa desisan saat ditangkap siarannya di Wonogiri. Jadi akhir Juni 2008 ini praktis saya tidak bisa mendengarkan siaran Radio BBC Siaran Indonesia di pagi hari yang biasa direlai oleh radio Solo itu.

Aneh juga situasi seperti ini. Di negara yang bukan bersifat otoriter, sebuah media justru menghilang dengan sendirinya. Apakah karena kalah bersaing dalam ranah bisnis ? Boleh jadi. Tetapi radio yang punya siaran stereo, bahkan kualitas suaranya terbaik di antara radio-radio Solo yang bisa tertangkap di Wonogiri, nyatanya kini tinggal hanya berupa desisan.

Rasa penasaran itu yang membuat saya mengirimkan SMS kepada Elina. Dia adalah pimpinan Radio BBC Siaran Indonesia yang berkantor di Jakarta. Tepatnya di Jl. Diponegoro. Gedung bank Jerman, seberang Hotel Mandarin. Shelter bis di depannya adalah tempat saya menunggu bis 210 (Rawamangun-Grogol) atau 38 dan 39 (Blok M-Rawamangun) bila hendak pulang setelah mencari-cari buku di Times Book Store di Indonesia Plasa.

Ritus menunggu bis ini terjadi sejak tahun 1980 hingga tahun 1998, saat saya kemudian memutuskan pulang kampung ke Wonogiri. Mengambil slogan kampanye kandidat cagub-cawagub PDIP di Pilgup 2008 Jawa Tengah, Bibit Rustri, yang berbunyi “Bali Deso, Bangun Deso” (Kembali ke desa, membangun desa), maka saya mempraktekkan plesetannya : “Nganggur neng kuto, bali neng deso”. Menganggur di kota, lebih baik kembali ke desa. Slogan plesetan itu juga cocok untuk Bibit Waluyo juga. Ia yang gagal di Pilgub DKI Jakarta, lalu sukses di Jawa Tengah, propinsi asalnya.

Kembali SMS saya ke Elina. Isi SMS saya itu tentu mengeluhkan hilangnya sinyal Radio KaravanFM itu. “Apa mereka bangkrut?” sergah saya. Elina tak menjawab. Saya menemukan jawab ketika tanggal 25 Juni 2008 saya ke Solo. Saya menghidupkan radio di HP saya, ternyata Radio KaravanFM itu masih mengudara.

Yang bikin aneh, kalau saya tak salah, kualitas sinyalnya jauh lebih jelek. Rasanya tidak stereo lagi. Katakanlah, hanya 40 persen dibanding kualitasnya yang lalu. Begitu saya semakin menjauh dari Solo, ke arah selatan, sinyal itu makin memburuk. Sampai di Sukoharjo (16 km dari Solo), sinyal itu hanya berkualitas 25 persen. Sampai di Wonogiri, habis, tinggal desisan semata.

Baiklah. Di pagi hari kini saya harus menerima realitas bahwa tak lagi bisa menguping BBC. Bisa sih, bila mau menghidupkan pesawat radio yang memiliki gelombang pendek. Tetapi radio itu, dengan ukuran 70x20x20 cm dan berat 4 kilogram itu jelas tidak kompatibel bila didengarkan sambil menjalankan ritus jalan kaki pagi. Misalnya dipasang di tas punggung dan sampai rumah, setelah berjalan sepanjang 3-4 kilometer, bisa-bisa tulang belakang saya bisa-bisa malah cedera !

Masih untung, sekitar 1-2 bulan yang lalu, relai siaran BBC itu juga telah disiarkan di Radio SoloposFM, di petang (jam 18.00) dan malam hari (20.00). Walau kualitas suaranya tidak sejernih KaravanFM, tetapi radio yang dibosi Soewarmin (“kami berdua dan rombongan dari Solo pernah sama-sama dilempari batu oleh bonek saat menjadi suporter sepakbola ke Surabaya, 6 April 2000”), tetapi radio ini cukup bisa diandalkan.

Ketepatan waktunya untuk siaran, keajegan, disiplin, jauh lebih baik dibanding radio KaravanFM yang dibosi David Handoko itu ketika mengudarakan BBC Siaran Indonesia selama ini.

Selamat tinggal Radio Caravan FM Solo !


rg

Sunday, April 20, 2008

Pemanasan Global dan Kesadaran Umat Islam

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id


Bahaya Lingkungan dan Kita. “The warnings are rather chilling. Around 2,000 islands will disappear from Indonesia's map due to rising sea levels,” demikian pembuka artikel dari Kanis Dursin di harian The Jakarta Post, 1/5/2007. Peringatan itu terdengar menakutkan. Sekitar 2 ribu pulau akan lenyap dari peta Indonesia akibat kenaikan permukaan air laut.

Ia lanjutkan bahwa semua kota-kota pantai dan perumahan di tepi laut akan tenggelam. Satwa liar, terutama yang dilindungi, akan punah. Banjir, tanah longsor, badai dan angin ribut akan menjadi peristiwa rutin, sementara penyakit akan menghantui seluruh penghuni jagat ini. Walau pun demikian, sebagian besar penduduk Indonesia justru tidak menyadari konsekuensi dari angka-angka statistik yang menakutkan itu.

Bangsa Indonesia, lanjut artikel itu, juga jauh dari siap dalam melakukan aksi konkrit untuk mengantisipasi pemanasan global. Survei ACNielsen menunjukkan 28 persen warga dewasa di perkotaan menyadari ancaman pemanasan global, tetapi hanya separonya yang menganggapnya sebagai masalah yang serius.

Banyak kajian menunjukkan bahwa peran kegiatan manusia adalah sentral sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Sehingga agar bumi manusia ini bisa selamat dari bencana yang lebih besar, hanya manusia pula yang bisa melakukan tindakan penyelamatan. Dan semua itu harus dimulai dari kesadaran tiap-tiap individu. Anda juga. Dimulai dari saat ini pula !

Untuk ikut berperan serta dalam berbagi kesadaran itu, saya telah menulis surat pembaca di bawah ini :


Pemanasan Global
Dimuat di Harian Suara Merdeka,
Jumat,4 Januari 2007 : Hal. M


Beberapa minggu lalu saya terlambat berangkat ke sholat Jumat. Tetapi keterlambatan itu menguak hal yang sebelumnya tidak saya sadari. Saat itu halaman masjid Al-Taqwa Wonogiri penuh sesak dengan sepeda motor dan mobil. Saya bergumam, ternyata untuk berbakti kepada Allah para umat juga harus beramai-ramai menggunakan bahan bakar fosil, yaitu bensin, sementara dampak utama dari konsumsi itu adalah meningkatnya suhu global yang lebih cepat.

Photobucket

Penuh kendaraan bermotor. Mobil dan motor nampak memenuhi pelataran parkir Masjid At-Taqwa Wonogiri seusai Jumatan yang saya potret dari balik pagar pembatas lantai dua masjid bersangkutan.

Mungkin yang memiliki sepeda motor ada yang berdoa semoga segera bisa memiliki mobil, dan yang memiliki mobil berdoa dapat memiliki mobil yang lebih mewah. Peningkatan konsumsi bahan bakar fosil pun semakin menaik, suhu global juga naik semakin cepat.

Saya mengetuk : apakah umat Islam dapat sedikit meneruskan ketangguhan sikap menahan diri yang telah tergembleng selama bulan Puasa, dalam kehidupan sehari-hari kini ? Bagaimana kalau setiap melaksanakan sholat Jumat justru kita mengistirahatkan sepeda motor dan mobil kita masing-masing ? Kita pergi ke mesjid dengan jalan kaki. Bila kejauhan dengan mesjid utama, kita dapat melakukan ibadah yang sama di mushalla terdekat.

Kebetulan, tiap Jumat adalah hari berolahraga bagi karyawan lembaga pemerintahan dan swasta. Sehingga alangkah baiknya bila hari itu terjadi kesinambungan semangat dan praktek untuk hidup sehat, berperilaku menahan diri mengonsumsi bahan bakar fosil, peduli kepada masa depan bumi, yang berarti juga peduli bagi masa depan kita sendiri, anak cucu kita dan sesamanya.


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


Wonogiri, 21 april 2008


tmw

Friday, February 15, 2008

Ancaman Di Balik Wabah Grafiti di Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews(at)yahoo.co.id


Teori jendela pecah. Kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling menelorkan teori broken windows, jendela pecah, untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Paparannya yang menarik dap[at anda baca di bukunya Malcolm Gladwell, The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000).

Keduanya berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tidak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan, siapa pun yang lewat terdorong menyimpulkan pastilah di lingkungan tersebut tidak ada yang peduli. Atau rumah itu kosong.

Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan, dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi. Buku The Tipping Point tadi bahkan menyimpulkan, “bahwa orang yang setiap hari lewat di jalanan bersih atau naik kereta api yang serba rapi cenderung akan menjadi orang lebih baik ketimbang bila mereka setiap hari lewat di jalanan penuh sampah dan naik kereta atau bus kota penuh corat-coret.”

Itukah pula ancaman besar tindak kejahatan yang akan marak dan meruyak di Wonogiri ? Karena lanskap kota Wonogiri yang kurang elok itu kini terasa makin sesak dengan munculnya corat-coret grafiti. Mari kita telusuri panorama hasil corat-coret artis jalanan yang tidak berani memunculkan jati dirinya secara terus terang itu :

Photobucket

KEKACAUAN VISUAL. Grafiti di atas tergores pada tembok bangunan rumah di Jl. Kabupaten. Apa makna pesan di balik corat-coret itu ? Sulit difahami. Tetapi karya “seni lukis jalanan” itu berperan menambah kekacauan visual bagi warga kota kecil ini. Dan adakah pengaruh buruknya bagi psike mereka ?


Photobucket

TANGGA MERAIH PENGAKUAN ? Penjual tangga bambu sedang melintas di jalan sekitar komplek SMA Negeri 1 Wonogiri. Adakah para siswa sekolah ini pula yang membuat grafiti di dekat sekolah mereka tersebut ? Kalau benar, apakah aksi mereka itu sebagai akibat lingkungan sekolah mereka yang justru tidak kondusif untuk menyalurkan energi “bomber” mereka yang meluap-luap ? Mengapa mereka memilih “jalan gelap” untuk meniti tangga guna meraih pengakuan, bahkan kemashuran ?

Photobucket


Photobucket

PARADOKS MENCARI CINTA. Para “bomber” atau pelukis grafiti itu suka menyembunyikan jati dirinya. Dapat dimaklumi, mereka itu dapat dianggap telah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Tetapi lihatlah, mereka mempromosikan diri agar dijadikan pacar, seperti tertuang dalam karyanya (atas, di menara waduk Gajah Mungkur) dan di daerah Sanggrahan, pada tembok Jl. Dr Wahidin, timur SDN Wonogiri 1. Bagaimana seseorang dapat mengenal mereka, lalu bisa menjadi pacar mereka, kalau para bomber itu selalu menyembunyikan jati dirinya ?

Photobucket

OPERASI RAHASIA. Para “bomber” itu kiranya orang-orang malam. Mereka beraksi ketika malam tiba. Lihatlah, karya di atas itu tergores pada tembok jalan di Jl. Pelem 3, persis di utara markas Kodim 0728 Wonogiri. Operasi rahasia mereka sukses, bahkan di dekat markas tentara !


Photobucket

AKTORNYA ITU-ITU SAJA ? Dari pelbagai motif grafiti yang ada di Wonogiri segera nampak bahwa karya-karya tersebut dilakukan oleh “pe-bomber” yang sama. Karya di atas terletak di pintu garasi sebuah rumah di Jl. Kartini.

Photobucket

APA INTI PESAN MEREKA ? Grafiti ini terdapat di tembok rumah/toko Tukang Gigi Jaya Leo di dekat Ponten. Tepatnya di sebelah selatan Bank Jawa Tengah. Apakah Anda bisa meraba arah pesan dari grafiti satu ini ?


Photobucket

KARYA SENI YANG HILANG. Tembok di dekat garasi bis Giri Indah, Jl. Kartini, semula nampak meriah dengan grafiti. Kemudian cat hitam telah membuat karyanya yang dikerjakan sang “bomber” alias seniman jalanan dengan sepenuh hati dan mungkin dalam hitungan beberapa malam itu, akhirnya bernasib lenyap dari pemandangan.


Langka kanal berekspresi ? Mengapa tiba-tiba grafiti marak dan apa kira-kira akibat jangka panjangnya bagi Wonogiri ? Ada dugaan, generasi muda di Wonogiri selama ini merasakan kesulitan untuk berekspresi secara otentik dalam mengaktualisasikan potensi mereka.

Sekadar contoh : secara rutin berlangsung di Wonogiri pelbagai acara budaya kolosal gagasan Pemkab. Seperti Kirab 1000 Keris, Kirab Umbul-Umbul dan Kirab Benda-Benda Pusaka yang melibatkan ribuan pelajar. Tetapi sangat jelas, kita semua tahu, aktivitas semacam itu bukan acara “mau” otentik mereka. Aktivitas semacam itu bukan otentik “milik dunia” mereka. Tetapi mereka harus ikut karena perintah guru, guna membawa nama sekolahnya.

Mungkinkah kesumpekan semacam itu yang mendorong mereka bergerilya, berekspresi, mencoret-coret tembok kotanya ? Untuk mengkritisi beragam kegiatan seremonial yang disukai pembesar Pemkab Wonogiri dan potret aktivitas kalangan pelajar di Wonogiri, saya pernah berkomentar dengan menulis surat pembaca seperti tertuang di bawah ini :


Perpustakaan di Wonogiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Rabu, 8 November 2006

Sekolah masa kini bukan lagi ibarat Matahari dan para murid sebagai planet-planet yang mengelilinginya. Para guru dan orang tua juga bukan satu-satunya sumber bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan dan kearifan. Wawasan ini menyelinap ketika menyaksikan pelajar Wonogiri pada hari pertama masuk sekolah sesudah Liburan Lebaran. Hari itu, sesudah ritus halal bihalal, jam belajar ditiadakan, dan murid-murid pun diijinkan pulang.

Sebagian dari mereka berbondong-bondong menyerbu pasar swalayan. Ada juga yang nongkrong-nongkrong di pasar. Setahu saya untuk kota sebesar Jakarta pada setiap kompleks pertokoan telah dipasang pesan yang melarang pelajar berseragam untuk keluyuran di pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Saya tidak tahu mengapa larangan yang sama tidak diterapkan di Wonogiri.

Yang kiranya boleh saya menduga, mereka menyerbu pasar swalayan karena sebagai satu-satunya tempat yang menarik. Mereka bisa melihat barang-barang bagus, sekaligus bisa melambungkan impian untuk bisa memilikinya. Di tempat berpendingin itu impian-impian mereka memperoleh rumah yang nyaman.

Celakanya, hanya impian sebagai konsumen. Sementara impian sebagai kreator, produsen, mungkin tidak memiliki tempat untuk subur berkembang. Baik di kelas, di rumah, di ruang-ruang perpustakaan sekolah atau umum, juga tidak bergejolak di lapangan-lapangan olah raga. Mereka tidak betah di sana.

Apalagi fasilitas umum untuk mengembangkan intelektualitas, bakat seni dan bakat olahraga di kota kecil Wonogiri, nampak belum mendapat perhatian yang berwenang secara memadai. Tidak hanya menyangkut bangunan fisiknya, tetapi terutama muatan kegiatannya yang mampu menarik generasi muda. Perpustakaan umum Wonogiri hadir dengan ruangan seadanya, lebih banyak lengang karena lokasinya dipencilkan, berada di luar lalu lintas ramai para pelajar.

Wonogiri konon tinggal satu-satunya kabupaten di Jateng yang tidak memiliki mobil/perpustakaan keliling. Warung Internet satu-satu berguguran. Sementara aktivitas anak muda justru cenderung dikooptasi birokrat hanya sebagai barisan pion guna meraih prestasi-prestasi semu yang tidak ada nilai-nilai edukasinya yang tinggi.

Mungkin itulah penyebab mengapa Wonogiri masih termasuk daerah tertinggal dalam hal pembangunan sumber daya manusia. Apalagi, otak-otak terbaik asal daerah ini lebih suka berkiprah di kota lain. Bahkan tidak jarang, mereka pun malu untuk mengaku sebagai wong Wonogiri. Dari mana harus mulai untuk bisa meretas lingkaran setan seperti ini ?


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri
Warga Epistoholik Indonesia


tmw

Sunday, February 10, 2008

Iklan Rokok Mengepung Kota Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id



Duit rokok, birokrat cadok. Bilbor tak begitu besar itu pernah dipasang di Krisak, dari arah Solo di sisi kiri sesudah monumen. Isi pesannya luhur : mengampanyekan Wonogiri Menuju Sehat 2010. Bilbor di Krisak itu kini hilang, entah mengapa. Tetapi bila pun tetap terpasang, akhirnya hanya menjadi ikon ironi besar bagi Wonogiri. Sebab ketika Anda memasuki kota yang memiliki wakil bupati seorang dokter, pelbagai bilbor yang lebih besar dan berisi iklan-iklan produk yang mengancam kesehatan justru amat dominan di kota kecil ini.

Photobucket

PROMOSI NIKOTIN ! Lanskap Kota Gaplek ini senyatanya sudah sumpek oleh centang-perenangnya iklan-iklan rokok. Dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), para birokrat di Pemkab Wonogiri sepertinya tega menyiksa isi otak warganya untuk setiap harinya dijejali iklan-iklan rokok.

Penetrasi iklan-iklan rokok itu begitu merajalela dan nyaris tidak menyisakan pertimbangan estetika. Para birokrat itu jelas mengidap sakit myopia, cadok, sehingga tidak mampu memikirkan dampak ancaman terhadap kesehatan yang serius akibat rokok yang bakal harus dibayar lunas oleh generasi muda Wonogiri di masa depan.

Sebagai ilustrasi, silakan simak gambaran mengejutkan di balik iklan-iklan rokok itu sebagaimana berita di harian Jawa Pos Radar Yogya yang dikutip BBC (14/12/2007). Harian itu ketika melaporkan hasil seminar “Studi Kelayakan Penyusunan Perda Pembatasan Rokok” di Yogyakarta (13/12/07), mengajukan fakta bahwa dua pertiga dari 19 juta penduduk miskin Indonesia adalah perokok.

Bayangkan kemudian : untuk kebiasaan buruk yang mencandu itu pada sepanjang tahun 2006 saja mereka telah rela menghabiskan uangnya untuk membeli rokok sebesar 23 trilyun rupiah. Angka pemborosan uang itu bisa untuk membeli 5,8 juta ton beras. Dana yang sama juga lebih besar dibanding dana APBN untuk subsidi BBM yang diperuntukkan bagi mereka.


Perang Nikotin di Wonogiri. Indonesia dan termasuk pula Wonogiri, sekarang memang menjadi medan perang industri rokok. Baik yang berasal dari dalam negeri atau pun dari luar negeri. Hampir empat tahun lalu saya telah menulis surat pembaca berikut ini :


Bonus rokok di tiket olahraga
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 20 Agustus 2004


Pengumuman aneh tertera di loket penjualan tiket kejuaraan bola voli yunior se-Jawa Tengah yang berlangsung di GOR Wonogiri, 7/8/2004 yang lalu. Tertulis harga tiket Rp. 3.000 dan pembeli dapat bonus sebungkus rokok. Saya batal nonton dan berpikir, bukankah pabrik rokok itu curang, melakukan dumping harga untuk mempromosikan produknya ?

Bukankah ini rekayasa bisnis tak etis, untuk produk yang berpotensi besar mengakibatkan kecanduan dan sekaligus membahayakan kesehatan ? Apalagi sasarannya anak-anak muda, di pentas yang tujuannya mempromosikan pentingnya kesehatan, yaitu ajang olahraga ?

Rokok, produk yang membahayakan kesehatan, tampil sebagai sponsor pertandingan olahraga sudah lumrah di tanah air kita. Modus serupa juga gencar dalam pertunjukan musik dan acara lain yang diperkirakan menyedot kehadiran anak-anak muda. Memang, anak-anak muda seumuran SMP-SMA kini jadi target utama produsen rokok. Sebab sekali mereka kecanduan rokok di usia rawan itu, kebiasaan buruk tersebut akan sulit hilang sampai dewasa atau meninggal di usia muda.

Peristiwa di GOR Wonogiri itu, dalam skala besar, mencerminkan pribadi bangsa kita yang terbelah. Kita adakan ajang untuk mempromosikan kesehatan, tapi sponsornya produk yang membahayakan kesehatan. Semakin banyak dibangun tempat-tempat ibadah, tetapi seperti kasus ramai di DPRD-DPRD, mereka pun tak malu berkorupsi secara berjamaah.

Kita mengaku mendukung reformasi, tapi sosok-sosok Orde Baru tetap berjaya di panggung. Gembar-gembor tak tergiur kembali terjun ke politik, tapi tetap glibat-glibet dan ngotot mengajukan RUU yang bertabiat sebaliknya. Mengaku harus netral dalam pemilu, tapi bukti VCD yang bocor ke masyarakat berkata sebaliknya pula. Itulah anomali kepribadian kita sebagai bangsa.

Photobucket

NALAR TIDAK GATHUK. Pesan dalam bilbor iklan rokok ini dan pesan yang ada di bawahnya senyata-nyatanya sangat kontradiktif. Tidak masuk akal sehat. Bagaimana bisa produk rokok mampu mempromosikan sehat bagi warga Wonogiri ?


Anomali yang sama juga diperlihatkan oleh pucuk pimpinan bangsa kita, saat itu. Untuk mengedepankan potretnya, saya telah pula menulis surat pembaca berjudul “Nalar Yang Masih Tidak Gathuk,” dan dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 18 September 2004. Silakan menyimaknya di bawah ini :

Sivitas akademika Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pantas dipuji ketika menempuh kebijakan melarang segala bentuk iklan rokok di lingkungan kampusnya. Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto berdemo menuntut dicabutnya sarana reklame rokok dalam suatu kegiatan di kampus. Lebih hebat lagi, Universitas Petra Surabaya menetapkan larangan merokok di lingkungan kampusnya sejak pertengahan Agustus 2004.

Berapa banyak institusi pendidikan kita dan warganya berlaku cerdas seperti ketiga kampus tadi ? Tidak banyak. Banyak kepala sekolah atau rektor yang tidak merasa bersalah bila ring basket, bangku taman di lingkungannya, terpampang merek rokok. Tidak sedikit mahasiswa yang mengadakan kegiatan di kampus, turnamen olahraga misalnya, dengan alasan lebih mudah mencari duit sponsor maka dikirimi proposal utama adalah pabrik-pabrik rokok.

Realitas yang menyedihkan. Insan-insan cendekia kita itu begitu tertabrak upaya memperoleh uang, maka mudah saja terjadi apa yang disebut sebagai cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Demi uang, mereka seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Nalar rancu, tidak gathuk (Jawa) ini, dikuatirkan akan mudah berlanjut bila mereka telah terjun di masyarakat. Dengan berpendapat demi uang maka apa pun suara hati, suara kesadaran, boleh dipinggirkan. Ini benih korupsi, bukan ?

Nalar rancu itu tak hanya diidap oleh insan-insan kampus kita. Pada tanggal 19/8/2004, Presiden kita mengunjungi pasukan TNI-Polri yang bertugas di Aceh, di lembah Aloe Gintong, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Kepada para prajurit, seperti dilaporkan Kompas (20/8/04 :1), Presiden (Megawati-BH) berpesan : Jaga kesehatanmu dan berhati-hatilah dalam bertempur. Berita yang sama telah dimuat di Solopos (20/8/04 :2) bertajuk : Di Aceh, Presiden bagikan rokok kepada prajurit.


Anak-anak sebagai korban. Nalar yang rancu itu mampu mengakibatkan dampak yang serius. Mari kita ikuti cerita dari wartawan William Ecenbarger dalam artikelnya yang berjudul America’s New Merchants of Death, Saudagar-Saudagar Kematian Baru dari Amerika Serikat di majalah Reader’s Digest, 4/1993 : 17-24.

Ia menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru semakin agresif memindahkan pasarnya ke luar negeri. Karena sebagai negara maju dengan penduduknya berpendidikan, berkesadaran tinggi menjaga kesehatan, membuat konsumsi rokok semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas.

Sasaran perpindahannya justru negara miskin dan berkembang. Indonesia dengan penduduk ratusan juta, dengan sbagian besar penduduknya berusia muda, jelas merupakan pasar sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran bidik utama mereka.

Mengapa anak-anak ?

Ketika perokok tua berhenti merokok atau meninggal, masa depan industri rokok bergantung kepada keberhasilan perekrutan konsumen baru mereka, yaitu anak-anak dan kaum muda. Terlebih lagi dari hasil kajian didapat data bahwa seseorang mulai merokok rata-rata pada umur 12 – 16 tahun. Mereka yang tidak merokok ketika berumur 18 tahun akan tidak kecanduan merokok.

Ketika serbuan rokok Amerika mengganas di Indonesia, reaksi apa yang dilakukan oleh industri rokok Indonesia ? Melawan dengan sengit. Terjadilah perang iklan secara sengit antarsaudagar kematian, baik melalui acara musik, olahraga, kegiatan tradisional, pemberian beasiswa, bahkan lomba karya tulis untuk wartawan. Ujung dari itu semua adalah : anak-anak muda kita yang jadi korban. Apalagi bom-bom nikotin itu mereka poles sebagai citra gaya hidup muda, gaul, gaya, funky, masa kini.

Sampai-sampai mahasiswa dan dosen dua perguruan tinggi negeri, UNS di Solo dan Undip di Semarang Jawa Tengah (Kompas Jawa Tengah, 17/9/2004), mau termehek-mehek dan terbius sihir promosi rokok berselubung seminar pendidikan akibat julignya kreator iklan mengemas produk yang berbahaya untuk dikonsumsi anak-anak muda kita.


Orang miskin korban utama. Perang antarsaudagar kematian di atas mirip fenomena perang melawan teroris di negeri kita, pasca 11 September 2001. Saat itu Amerika Serikat bangkit, bergegas menata diri memerangi terorisme. Peraturan imigrasi yang ketat sampai kewaspadaan tinggi, mampu mempersempit ancaman teroris. Akibatnya, teroris memindahkan teaternya melawan AS dan sekutunya di negara-negara luar AS. Termasuk ke Indonesia, di mana teror bom di Bali, Hotel Mariott Jakarta dan di depan Kedubes Australia adalah contoh aktualnya.

Sebagaimana contoh terorisme di atas, perang perebutan pasar rokok merembet ke negara kita. Indonesia karena perangkat hukum relatif lemah dalam regulasi rokok, bahkan presiden kita enggan menandatangani FCTC (WHO Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau, menjadikan negeri ini ideal dijadikan arena perang antarpara penjaja bom-bom nikotin itu.

Korbannya ?

Menteri Kesehatan AS Richard Carmona mengutip isi Laporan Pemerintah AS No. 28 (Deutsche Presse-Agentur, 27/5/2004) menyatakan bahwa merokok mengakibatkan penyakit untuk semua organ tubuh, pada semua tingkatan usia, di seluruh dunia. Tercatat 440.000 warga AS meninggal tiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan merokok dan menghamburkan biaya 157 milyar dollar per tahun, di mana 75 milyar untuk pengobatan dan 82 milyar dollar untuk produktivitas kerja yang hilang.

Itu di Amerika Serikat, sebuah negeri kaya yang penduduknya kebanyakan berpendidikan dan memiliki kesadaran kesehatan yang tinggi. Bagaimana jumlah korban dan kerugian akibat bom-bom nikotin di Indonesia ? Siapa saja mereka ?

Memanglah, konsumen rokok justru sebagian besar adalah orang-orang miskin. Juga anak-anaknya. Termasuk mereka adalah pula warga miskin yang terdaftar sebagai warga Wonogiri, di mana menurut laporan koran Seputar Indonesia (19/1/2008 : hal. 13) disebutkan bahwa Wonogiri termasuk sebagai tiga besar daerah tertinggal di Jawa Tengah.

Photobucket

MENGANCAM SEJAK DINI. Sebuah persewaan playstation di Wonokarto, Wonogiri. Arena permainan yang disukai anak-anak ini ikut diincar sebagai ajang untuk mengajak anak-anak berkenalan dengan rokok.

Sebagai ilustrasi, saya memiliki tetangga yang berusaha warung makan dan juga ada yang mengelola persewaan play station. Antara lain konsumennya adalah sebagian siswa sekolah kejuruan swasta yang lokasinya ada di kampung saya. Mereka itu sering nampak jajan, juga main games, sambil menikmati merokok.

Sementara itu saya pernah meliwati warung-warung yang berada di sekitar sekolah kejuruan swasta, di sekitar Kaloran, Wonogiri Kota. Saat itu jam istirahat, dan saya saksikan sekitar 30-50 persen siswa yang memenuhi warung-warung itu sedang merokok.


Photobucket

GURU KITA TUTUP MATA ? Iklan-iklan rokok juga hadir secara demonstratif di depan hidung komplek sekolah. Nampak dalam foto warung-warung yang berada di sekitar gedung SMP Negeri I Wonogiri terdapat 5 dari 7 warung yang ada memakai kain tabir penutup warungnya yang berisi iklan-iklan rokok.

Sepertinya para guru bekas sekolah saya ini, sudah tak peka akan hal semacam itu ? Apakah fenomena pelajar merokok di sekitar lingkungan sekolah sekarang ini tidak lagi menjadi perhatian para guru-guru mereka ?

Kalau para birokrat, bahkan juga kalangan guru atau orang tua siswa di Wonogiri seolah menutup mata rapat-rapat, juga membutakan nuraninya terhadap fenomena makin gencarnya iklan-iklan rokok dan budaya merokok di kalangan anak didik mereka, lalu siapa lagi yang hirau terhadap masa depan generasi muda kita di Wonogiri ini ?

Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.


Wonogiri, 9/2/2008

tmw

Monday, February 4, 2008

Setelah Amuk Bengawan Solo

Rasanya belum terhapus dari ingatan pelbagai rekomendasi penting hasil Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 terhadap penyelamatan masa depan sungai legendaris itu. Isu-isu tersebut beberapa hari ini telah diungkap kembali oleh wartawan Kompas, pelaku ekspedisi sekaligus saksi hidup yang mencatat pelbagai kerusakan sungai kita itu dari hulu sampai hilir.

Photobucket

Sebelum cahaya. Beberapa siluet pengunjung nampak sedang melintas di tepian waduk Gajah Mungkur sebelum matahari muncul di ufuk. Tepian waduk ini menjadi salah satu rekreasi dan berolah raga ringan bagi warga Wonogiri di hari Minggu pagi.

Photobucket

Benteng penahan air. Tanggul waduk Gajah Mungkur di lihat dari sisi utara bangunan. Garis yang melintang di bawah adalah pipa yang digunakan untuk menyalurkan lumpur waduk ke penampungan. Objek yang nampak kecil adalah pengunjung waduk di pagi hari.

Saya sebagai warga Wonogiri dan kebetulan jadi saksi peresmian ekspedisi itu pada tanggal 9 Juni 2007, di kolom ini telah mengusulkan agar tanggal itu dijadikan sebagai hari peduli dan cinta Bengawan Solo. Rasanya usulan saya itu harus dicabut, atau direvisi. Karena setelah Bengawan Solo mengamuk dan mengakibatkan banjir yang konon lebih besar dibanding tahun 1966 melanda Solo hingga Bojonegoro, kepedulian dan aksi terhadap upaya penyelamatan bengawan itu harus dilakukan setiap hari.

Mulai saat ini.

Semua fihak harus terus saling mengingatkan, terlebih karena kita adalah bangsa yang sangat pelupa dan sangat mudah alpa mengerjakan pekerjaan rumahnya.



Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia

Catatan : Surat pembaca ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di Kompas Jawa Tengah, Senin, 12 Januari 2008.

Pintu Air Waduk Gajah Mungkur

Selepas musibah banjir yang melanda Solo (26/12/2007), tiba-tiba pintu air Waduk Gajah Mungkur Wonogiri menjadi fokus liputan beberapa radio swasta di Solo. Ada yang menerjunkan reporter, tetapi ada juga yang hanya mengandalkan nara sumber penduduk lokal yang nampak tidak menguasai masalah. Isi liputan mereka nampak bias, sangat menyederhanakan masalah, di mana seolah dibuka atau ditutupnya pintu air waduk itu sebagai penyebab utama terjadinya (atau tidak terjadinya) banjir di Solo.

Photobucket

Pintu Sedang Dibuka. Dua dari empat pintu air waduk Gajah Mungkur sedang dibuka. Foto diambil Minggu, 30/12/2007.

Photobucket

Waduk di pagi hari. Dengan latar depan deretan alat-alat berat, yaitu back hoe yang digunakan untuk mengeruk lumpur yang mempercepat pendangkalan, panorama waduk Gajah Mungkur nampak cukup asri di pagi hari.

Reportase radio itu sama sekali tidak menyinggung adanya belasan anak-anak sungai Bengawan Solo antara Wonogiri-Solo yang jauh lebih banyak menyumbang luapan air ketika hujan deras terjadi. Ingat, akibat perubahan iklim telah membuat curah hujan berlangsung lebih pendek waktunya tetapi dengan curahan yang berlipat-lipat kuantitas dibanding sebelumnya. Sementara itu kuantitas aliran air ketika pintu waduk Gajah Mungkur dibuka diperkirakan hanya sebesar 16 persen saja. Terlebih lagi proses buka dan tutup pintu air itu tentu dilakukan secara terukur dan bertanggung jawab.

Saya berharap pemberitaan yang dangkal dan bertendensi menciptakan horor dari radio-radio swasta itu harus diakhiri dan diganti dengan pemberitaan yang lebih komprehensif, bersifat edukatif dan bertanggung jawab.


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia


Catatan : Surat pembaca ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di Kompas Jawa Tengah, Senin, 31 Desember 2007.