Saturday, October 24, 2009

Kajen, Kompor dan Komputer

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Nostalgia 10 tahun. “Saya harus juara dan merenggut hadiah I, sebuah komputer !” Itulah impian saya (Bambang Haryanto) sebagai finalis Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi & Informasi (LKT3I) III/1999 yang diselenggarakan PT Indosat. Untuk tampil ke Jakarta saya diberi tiket pesawat pulang-pergi.

Impian kandas. Saya tetap Juara 1, tetapi harapan. Dapat cek senilai 1,6 juta rupiah. Saat itu tak bisa untuk membeli komputer. Saya pindah haluan. Tak dapat komputer, dapatnya kompor (foto). Seharga 100 ribu. Merek Butterfly. Untuk masak sehari-hari.

Tetapi di tahun 2009 ini, sepuluh tahun kemudian, my favourite kerosene stove is dying. Kompor saya itu nafasnya tinggal menghitung hari. Sekarat. Karena harga minyak melambung. Stoknya pun semakin dibatasi. Kalau beli, harus mau antri di mana-mana.

Keajaiban terjadi, ketika sekitar bulan Mei 2009, Bhakti “Nuning” Hendroyulianingsih, menjadikan rumah Kajen sebagai pangkalan minyak tanah. Putranya, Yudha (foto) dan dirinya, kadang ikut melayani. Sehingga kesulitan memperoleh mitan, bagi saya teratasi. Tetapi jatah dari atas, yang semula 4 drum, di bulan Oktober 2009 ini tinggal satu atau dua drum saja.

Akibatnya, halaman rumah Kajen setiap hari dihiasi berderet-deret jeriken minyak dan riuhnya para pembeli yang antri. Sebagian besar, para tetangga. Kalau pertemuan trah mampu membuat kita seolah linggo-lico, lali tonggo-lali konco, tetapi bisnis salah satu warga trah kita ini tidak melupakan mereka. Berusaha dibagi secara adil untuk kebaikan bersama.

Bagaimana kalau jatah itu benar-benar berhenti ? Kompor saya akan menjadi benda kenangan. Mungkin saya akan mempelajari bagaimana biji avocado, yang tumbuh lebat setiap Oktober di Kajen ini, bisa diolah menjadi bahan bakar nabati. Tetapi itu cerita lain kali.

Saturday, September 12, 2009

5 Tahun Kepergian Munir : Catatan dari Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Kehilangan besar. “Human Rights Watch hari ini berduka atas meninggalnya Munir, salah satu tokoh penegakan hak-hak asasi manusia Indonesia. Pengacara berusia 38 tahun itu meninggal secara tak terduga ketika dalam perjalanan dari Indonesia menuju Belanda untuk melanjutkan kuliah pasca sarjananya.”

Itulah awal berita yang dilansir oleh organisasi Human Right Watch (HRC) yang berpusat di New York, 8 September 2004. “Ini merupakan kehilangan besar bagi saya pribadi, karena Munir adalah sahabat dan rekan seperjuangan,” kata Joe Saunders, wakil direktur program HRC.

“Juga kehilangan besar bagi gerakan penegakan hak-hak asasi manusia sebab Munir tak pernah lelah berjuang dan merupakan sosok yang unik sebagai periset, ahli strategi dan juru bicara yang efektif. Rasa duka cita saya teruntuk keluarga dan kawan-kawannya.”

“Munir memiliki klas tersendiri. Ia memiliki kecerdasan listrik dan ingatan ensiklopedis. Dalam rapat ia mampu menggelar data yang mendetil secara kaleidoskop, wawasan serta analisis tajam untuk menjelaskan gambaran aktual guna menentukan tindak lanjut kemudian,” papar lanjut Joe Saunders.

Menagih janji SBY. Lima tahun kemudian, ingatan ensiklopedis tentang kasus terbunuhnya Munir rupanya tidak dimiliki oleh petinggi negeri ini. Kasus hitam ini cenderung menjadi terkatung-katung. Setelah SBY terpilih untuk kedua kalinya, kalangan aktivis penegakan HAM kini menunggu aksi SBY untuk menuntaskan kasus besar yang mencoreng nama Indonesia di mata dunia ini.

Lima tahun lalu, kepergian mendadak Munir itu memantik saya sebagai seorang epistoholik untuk menulis surat pembaca. Pada tanggal 8 September 2004, sehari setelah meninggalnya Munir, saya menulis surat pembaca dengan judul “Selamat Jalan Pejuang HAM Sejati” ke harian Bali Pos, Pikiran Rakyat, Republika, Solopos, Suara Merdeka, dan Wawasan. Saya tidak tahu apakah surat pembaca saya itu dimuat atau tidak.

Dengan judul “Perginya Layang-Layang,” surat pembaca dengan isi serupa juga saya kirimkan ke harian Kompas Jawa Tengah. Surat yang saya emailkan 8 September 2004 itu baru muncul, dengan penyuntingan, tanggal 30 September 2004. Saya tidak tahu mengapa harus begitu lama menunggu untuk pemuatannya.

Surat pembaca saya yang asli berikut di bawah ini. Juga terdapat dua surat pembaca lainnya, menyangkut sosok Munir sebagai sumber inspirasi.

Perginya Layang-Layang
Dimuat di kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Jawa Tengah, 30 September 2004


Tanggal 8 September 2004 di warung soto Terminal Angkuta Wonogiri, kau menjadi bahan pembicaraan. Seorang berkata, Munir telah meninggal. Lainnya menyahut, ya, Munir yang banyak omong itu telah meninggal. Saya mencatat dialog jujur rakyat itu.

Bagi awam, omongan atau isu tentang orang hilang, hak-hak asasi manusia (HAM), kebebasan pers, penegakan hukum, sampai superioritas sipil atas militer dan sejenisnya yang kau ungkapkan bertahun-tahun terakhir, memang mengesankan dirimu sebagai sosok yang banyak bicara.

Tetapi banyak omong senyatanya adalah kelebihanmu, senjata utamamu. Terutama di saat terlalu banyak orang bungkam, takut bicara hal-hal yang benar. Menurutku, semua omonganmu itu tidaklah sia-sia. Sebab selain omongan, di tengah angin perubahan dan banyak orang suka tiarap, kau juga menjadi teladan banyak anak muda.

Seperti kata Hamilton Mabie, jangan takut terhadap deraan angin hambatan dan kesengsaraaan. Ingatlah layang-layang, yang membubung naik bila diterpa angin daripada bila terbang bersama angin. Itulah sosokmu. Selama ini, semakin angin keras menerpamu, terbang mu pun semakin meninggi.

Saya dan kita semua, sungguh tidak tahu rencana Tuhan. Tetapi kau telah dijemput kembali ke haribaan-Nya saat kau mengapung di atas mega-mega dalam penerbangan dari Jakarta menuju Belanda, mudah-mudahan itu pertanda baik.

Bahwa Tuhan menyayangimu. Seperti halnya mereka-mereka yang selama ini telah tersentuh oleh mulianya niatmu, omonganmu, juga tindakanmu.

Saya secara pribadi tidak mengenalmu, tetapi ijinkan saya ikut berdoa semoga Tuhan memberimu tempat yang layak di sisiNya. Selamat jalan, Munir. Terbanglah sang layang-layang, dalam damai, menuju keabadian.


Bambang Haryanto
Epistoholik Indonesia
Wonogiri


Bangsa Yang Dihukum
Dimuat di kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Jawa Tengah, 28 September 2007


Penegakan hukum di Indonesia ibarat gerakan tari poco-poco. Kita senang melihat adanya kemajuan, tapi ternyata disusul gerakan memutar dan bahkan mundur sama sekali. Sepertinya bergerak tetapi nyatanya hanya berjalan di tempat.

Contoh yang mencolok adalah kasus terbunuhnya aktivis HAM, Munir, yang tetap misterius sejak kejadian tiga tahun lalu. Demikian pula kasus korupsi mantan Presiden Soeharto.

Mungkin bangsa lain di dunia saat ini merasa gemas melihat ulah kita. Entah kebetulan atau tidak, tapi dengan memakai ilmu otak-atik gathuk, mencocok-cocokkan fakta yang terjadi, kita boleh merasa bahwa dunia sedang menghukum kita. Misalnya, gara-gara kasus Munir dan bertepatan dengan rentetan kecelakaan yang terjadi, membuat maskapai penerbangan kita dilarang terbang ke Eropa.

Demikian pula ketika MA justru menghukum majalah TIME untuk membayar uang trilyunan karena membeberkan data korupsi Soeharto, kita pun segera dapat “balasan” yang setimpal. Yaitu ketika PBB dan Bank Dunia meluncurkan program global untuk mengembalikan aset rakyat yang dicuri mantan penguasanya. Bahkan secara tegas dinyatakan bahwa mantan presiden Soeharto merupakan penguasa nomor wahid sejagat dalam melakukan korupsi besar-besaran ketika memerintah.

Terakhir : siapa tahu, bencana alam yang beruntun menimpa kita akhir-akhir juga merupakan isyarat, sebagaimana ditamsilkan oleh Ebiet G. Ade, “mungkinkah Tuhan sudah bosan melihat tingkah kita, yang banyak salah dan dosa-dosa ?”


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Gelar Tong Kosong
Dikirimkan ke kolom Surat Pembaca
Harian Kompas Yogyakarta, 22 Oktober 2004


Di tengah hiruk-pikuk Pilpres Putaran Kedua, capres Susilo Bambang Yudhoyono menempuh ujian doktornya di Institut Pertanian Bogor. Sementara itu Munir, tokoh pembela hak asasi manusia dipanggil kembali oleh Sang Chalik ketika sedang dalam penerbangan dengan Garuda dari Jakarta menuju Belanda. Munir menuju Belanda guna meneruskan studinya. Kabar terakhir mengenai Amien Rais, mantan ketua MPR, adalah pulang kandang ke Universitas Gajah Mada untuk menjadi dosen kembali.

Kisah ketiga tokoh tadi pantas menjadi tauladan. Mereka tidak berhenti belajar. Kembali menjadi dosen, seperti yang dipilih Amien Rais, juga merupakan pilihan untuk kembali belajar. Di sekitar kita tidak sedikit birokrat sampai guru yang kembali ke kampus untuk menempuh program lanjutan S2 dan S3.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tak punya biaya atau waktu untuk menempuh program lanjutan ? Belajar untuk meningkatkan diri yang tidak berpamrih disemati gelar akademis ketika usai, masih banyak jalan yang dapat ditempuh.

Cara terbaik adalah dengan membaca. dan menulis. Membaca dapat mengandalkan sumber-sumber ilmu yang terhimpun di perpustakaan, toko buku atau Internet. Berorganisasi, menjadi relawan atau aktivis, adalah juga wahana untuk belajar. Sedang menulis itu penting, karena mempribadikan segala asupan informasi untuk menjadi milik kita sendiri.

Dengan menulis, baik di media massa cetak atau pun Internet, dirinya berbagi ilmu dengan orang lain sekaligus mampu memperkaya khasanah ilmu dirinya pribadi. Tanpa menulis, gelar-gelar akademis itu ibarat tong kosong karena ilmu yang ia peroleh segera terlupakan dan khasanah ilmu pengetahuan tidak mendapatkan tambahan dari pemilik gelar-gelar akademis bersangkutan.

Di sini kita dapat meneladani perjuangan seorang yang pernah bekerja di perusahaan sound system sebagai juru servis, lalu jualan antene TV kelilingan, jualan sepatu dan antena parabola, tetapi semangatnya untuk belajar tanpa henti sampai terpilih menjadi satu di antara 20 Pemimpin Politik Asia Pada Millenium Baru oleh majalah AsiaWeek 1999. Orang tersebut adalah : Munir.


Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia


Wonogiri, 13/9/2009

tmw

Tuesday, August 25, 2009

Berjalan 56 tahun, Epistoholik Indonesia dan Masa Depan

Komunikasi SMS Dengan Keluarga dan Sahabat, Senin, 24 Agustus 2009

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Kompas, 24 Agustus 2009

Patriot Games. Tanggal 24 Agustus adalah hari televisi : TVRI, SCTV dan juga RCTI. Pada tanggal yang sama tahun 1929, pejuang pembebasan Palestina legendaris Yasser Arafat dilahirkan. Juga Ken Hensley di tahun 1945. Ia musikus dari kelompok musik Uriah Heep, yang aku sukai lagunya Time to Live dan July Morning di era 70an. Saat itu saya bersekolah di STM Negeri 2 Yogyakarta.

Pengarang Brazil Paulo Coelho lahir pada tanggal yang sama tahun 1947, persis sama dengan bintang film setengah umur yang tetap cantik Anne Archer. Ia tampil menawan saat main sebagai istri Harrison Ford dalam film Patriot Games. Musikus Jean-Michael Jarre (1948) yang salah satu nomor musiknya bernuansa Cina, saya dengar tahun 70-an akhir, masih terasa mengebor kepala saya ini. Musikus lain, Ron Holloway, saksofonis tenor Amerika Serikat, lahir tanggal 24 Agustus 1953. Persis sama dengan tanggal kelahiran saya.


Pasir hidup digital. Pada tanggal yang sama, lima puluh enam tahun kemudian, harian Kompas memajang tajuk berita tentang negara kita yang terjebak dalam impor pangan. Garam saja impor. Sebagai tradisi, setiap ulang tahun aku membeli koran yang terbit pada tanggal 24 Agustus. Sebagai tonggak peringatan apa saja “isi dunia” pada masa itu.

Di bagian dalam edisi 24 Agutus 2009 ini (foto) terdapat artikel tulisan peneliti LIPI, Jaleswari Pramodhawardani, “RUU Rahasia Negara dan Keamanan Nasional.”

Salah satu alinea menarik : “Banyak kalangan mengkhawatirkan kehadiran RUU Rahasia Negara. Pertanyaan yang muncul, bagaimana rahasis negara didefinisikan ? Apa saja yang masuk klasifikasi “rahasia negara“ ? Siapa yang memiliki otoritas untuk menggolongkan informasi ke dalam rahasia negara ? Bagaimana membedakan kepentingan negara dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa ? Siapa pengontrolnya ? Pers ? Pers dapat dijerat pasal membocorkan rahasia negara.”

Para penulis surat pembaca, tegakkan antena kewaspadaan Anda. RUU ini kelak, kita cemaskan, berpotensi menjerat kita semua untuk masuk penjara. Apakah menuliskan penyimpangan suatu layanan publik atau indikasi terjadinya korupsi dalam kolom surat pembaca atau blog, nantinya termasuk sebagai usaha membocorkan rahasia negara ?

Bagi saya, kebijakan ini sebuah ironi di era Internet ini. Upaya yang tidak mungkin. Carl David Woolston & Stephen Palmer dalam makalah tentang revolusi dalam dunia bisnis, berjudul The Hub Mentality (2009) menegaskan untuk para pelaku bisnis bahwa mereka tidak dapat menyembunyikan kesalahan. In the digital age, there is nowhere to hide. Mereka tidak bisa mengumpetkan ketidakbecusan di balik pupur tebal iklan. Para pengusaha itu tidak akan mampu lari dari publisitas yang negatif:


You can’t hide your mistakes when they spread like a virus through word-of-mouth, email, and blogging networks. You can’t cover up incompetence under thick layers of advertising make-up. You can’t run from negative publicity.

Tetapi ironi dunia digital ini sedang terjadi di negeri kita. Lihatlah, ketika Prita Mulyasari karena mengirimkan email keluhan dan juga Khoe Seng Seng dan kawan-kawan menuliskan surat pembaca, keduanya diseret ke meja hijau. Mungkin Indonesia masih sebagai negeri [yang pemimpinnya banyak] gaptek, sehingga tidak melek terhadap realitas nyata yang dipaparkan Woolston dan Palmer : The Information Age has stripped you naked and left you exposed, flaws and all. Era informasi pasti membuat Anda, juga korporasi itu, diblejeti pakaiannya untuk tampil telanjang bulat di muka dunia.

”You can’t bury customer feedback—all you can do is manage how you respond to it,” tegas Carl David Woolston & Stephen Palmer. Tetapi kedua korporasi yang menyeret Prita dan Khoe itu tidak tahu kalau respon mereka keliru. Akibatnya, kini hari demi hari ulahnya justru membuat diri mereka menjadi semakin berkubang dalam jebakan spiral pasir hidup era digital yang semakin menyeret mereka kedalamnya.

Jadi korporasi yang menyeret Prita dan Khoe Seng Seng mungkin menang atau dimenangkan di meja hijau, tetapi citranya dalam benak publik yang tergurat abadi di dunia maya dan mesin-mesin pencari, merupakan noktah yang bakal tidak terhapuskan sepanjang jaman.

Kenangan tak terhapuskan. Pindah ke topik pribadi. Tentang rasa syukur yang saya rasakan. Tentang momen-momen yang saya alami, tanggal 24 Agustus 2009 ini. Ketika saya memperoleh limpahan atensi dan percakapan seperti terekam dalam rantai pesan-pesan pendek di bawah ini.


Barry Hendriatmo/Jember : Slmat ultah, smg pjang umur, mrh rjki & ttap shat wl afiat. Amin. Salamku Bhd ! OKEY [Minggu, 23/8/2009 : 22.08 : 58]. Balasan BH : Terima kasih. Selamat berpuasa. [Senin, 24/8/2009 : 04.23:03].

Mustikaningsih/Solo1 : Metpagi met nyiapin mknsahur masBos, moest berdoa+berhrp diHut ke 56 ini mas hepi sehat sll + sukses n senantiasa dlm lindunganNya ya ? Amien. [Senin, 24/8/2009 : 02.33:03]. Balasan BH : Tks, Tika. Lain kali angkanya ga usah disebut2 :-(. Kalau semua angka itu jd lilin klenteng semua, ntar pemadam kebakaran musti siap2, kan ? Sukses selalu. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 18.39:54].

Broto Happy W/Bogor : Ass.wr.wb. lagi sahur Mas ? selamat ulang tahun, semoga panjang umur, sehat, dan sukses selalu. Selamat beribadah puasa. Salam, Happy. [Senin, 24/8/2009 : 03.05:54]. Balasan BH : Terima kasih. Selamat menunaikan ibadah puasa. [Senin, 24/8/2009 : 04.25:08].

Muhidin M Dahlan/Yogya : pak bambang, keluarga besar indonesia buku dan gelaran buku mengucapkan selamat ulang tahun. [Senin, 24/8/2009 : 04.22:48]. Balasan BH : Terima kasih, Gus Muh. Pesta 24 Agustusnya outsourcing saja, biar dirayakan oleh TVRI, RCTI dan SCTV :-). Salam untuk Ibuku & Gelaran Buku. Sukses selalu. [Senin, 24/8/2009 : 04.32:31].

FX Triyas Hadi Prihantoro/Solo : Sugeng tanggap warso Mas Bambang. Sukses ya ? [Senin, 24/8/2009 : 12.19:13]. Balasan BH (1) : Tks, Mas Triyas. Pestanya kita rayakan di LSM Commitment yll ya ? Atau di RCTI dll. Mg rs capeknya dr Bali sdh pulih. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 12.27:35]. Balasan BH (2) : Info tambahan : bl ada waktu, silakan tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB dgn saya ttg EI, menulis, membaca dan buku, sbg kado utk EI kita + saya. [Senin, 24/8/2009 : 14.35:55].

Thomas Sutasman/Cilacap : Selamat ulang tahun, semoga hidup semakin bahagia dan mencerahkan orang lain lewat srt pembaca. [Senin, 24/8/2009 : 12.54:21]. Balasan BH (1) Terima kasih, mas Thomas utk limpahan asah asih asuh dr Anda dlm kiprah kita bersama utk berguna bg sesama melalui surat2 pembaca. Terus kita lanjutkan ya ? Salam. [Senin, 24/8/2009 : 14.06:44]. Balasan BH (2) : Info tambahan : bl ada waktu, silakan tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB dgn saya ttg EI, menulis, membaca dan buku, sbg kado utk EI kita & sy.[Senin, 24/8/2009 : 14.34:32].

Mayor Haristanto/Solo : Happy b’day. Semoga panjang umur dan terus nulis. Salam Myr se klg. [Senin, 24/8/2009 : 13.06:58]. Balasan BH : Terima kasih. Sukses selalu pula. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 14.10:24].

Diana AV Sasa/Surabaya : Pak Bambang, selamat ulang tahun. Panjang usia surat pembaca. Hadiah ulang tahun dari Indonesia Buku ada di situs. Salam. [Senin, 24/8/2009 : 14.09:54]. Balasan BH (1) : Tks, mBak Diana. Td pg sy sd GR, cari2 lilin dan kuenya di situs IB. Kok blm ada ? Pdhal sy pengin bkoar2 ttg hadiah khusus dr IB. Kali krn puasa, sy tdk blh sombong ya ? [Senin, 24/8/2009 : 14.19:04].

Diana AV Sasa/Surabaya : Saya KO, badan agak kurang fit, baru tadi bisa menulis. Maaf. Biar telat asal dapat. Hehehee…Happy birthday… Wish you all the best.[Senin, 24/8/2009 : 14.21:47].

Joko Suprayogo/Kendal : Nuwun sewu pak, slamat berulang usia, semoga makin jaya dan tambah bijaksana. Tambah umur pasti tambah makmur, selalu senantiasa begitu. [Senin, 24/8/2009 : 14.34:14]. Balasan BH : bl ada waktu, silakan tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB dgn saya ttg EI, menulis, membaca dan buku, sbg kado utk EI kita & saya.Moga berguna. [Senin, 24/8/2009 : 14.39:40].

Joko Suprayogo/Kendal : Bagus pak. Membaca dan menulis seperti donor darah.Ups, sedikit info pak, kemarin sempat ngomong2 sm orang (nama koran di Jateng) soal pencekalan pak BH, katanya sih tdk ada pencekalan, hahaha. Makanya pak, kritik terus (nama koran di Jateng) ! [Senin, 24/8/2009 : 14.56:40].

Basnendar Hps/Solo : Met ultah mas, smoga sukses smua. Ttg cd softwr aq ttp ke mb beti. [Senin, 24/8/2009 : 15.19:06]. Balasan BH : Tks, Bas. Bl ada waktu, bisa tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB yll ttg EI, menulis, membaca + buku jd kado istimewa utk 24/8 ini. Mg brguna. [Senin, 24/8/2009 : 14.44:56].

Bakhuri Jamaluddin/Tangerang. Info BH : Tks, Bakh. Bl ada waktu, bs tengok situs IB, www.indonesiabuku.com. Wawancara IB ttg EI, menulis, membaca + buku, jd kado istimewa utk 24/8 ini. Maaf, aku poso Facebook :-). [Senin, 24 Agustus 2009 : 16.49 : 02]. Balasan Bakhuri : Ya, sekalian ngabuburit.tks. [Senin, 24 Agustus 2009 : 16.52 : 55].

Arista Budyono/Jakarta. Info BH : Siap2 buka ? Bl ada waktu, bisa tengok situs IB : www.indonesiabuku.com. Wawancara IB ttg EI, menulis, membaca + buku jd kado unik utk 24/8 ini. Maaf, Arista, aku poso Facebook :-). [Senin, 24 Agustus 2009 : 17.06 : 07]. Balasan Arista : Makasih infonya pak, nti saya cerita kalau dah dimuat di web itu. [Senin, 24 Agustus 2009 : 16.39 : 59].

Jokowu/Solo. Info BH : Info contoh personal branding : tengok situs IB, www.indonesiabuku.com. Ada cerita2 tt EI, menulis, baca + buku, mg jd info menarik bg blog LSM Commitment yad. Salam. [Senin, 24 Agustus 2009 : 17.16:25].

Bonny Hastuti YA/Tasikmalaya : “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur & bahagia selalu, serta diberi kelancaran & kesuksesan dalam pekerjaan & keluarga. Ditambah rezeki yang barokah. Amien.” dari adik bonny dan keluarga di tazikmalaya. [Senin, 24 Agustus 2009 : 19.46:20]. Balasan BH : Tks untuk ucapan dan doamu. Semoga Allah memberi pahala melimpah untuk kebaikanmu. Selamat berpuasa [Selasa, 25 Agustus 2009 : 03.59:12].


Bakhuri Jamaluddin/Tangerang : Aku sdh baca2 Indonesiabuku dan belajar beri komentar, bgmn ? Knp lagi puasa FB ? [Senin, 24 Agustus 2009 : 23.03:36]. Balasan BH : Tks ut komentarmu. Maaf, aku br baca nanti siang. Puasa FB krn godaan utk pamer, ingin mengungguli org lain + godaan nafsu mberi komentar2 tak bergizi kuat sekali :-( [Selasa, 25 Agustus 2009 : 04.06:54].

Putri Sarinande : Selamat bertambah usia Mas, maap telat br tau. Sy pernah jln2 ke blog mas n akhirnya bc artikel seorang relasi. Tokoh ttg mas. Sampai jumpa di email. Putri Sarinande. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 00.21:24]. Balasan BH : Tks, Putri Sarinande/PS utk surprosemu ini. awas lo, lagu PS ini jg mau dibajak Malaysia. BTW, sy punya “kue” HUT di www.indonesiabuku.com. Tks utk kebaikan hatimu. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 04.16 :18].

Purnomo Iman Santoso/Semarang : Selamat ulang tahun pak Bambang, 24-8-2009. Sehat selalu dan terus berkarya. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 06.18 :25]. Balasan BH : Tks, Mas Pur. Sukses selalu juga utk Anda. BTW, sy punya “kue” HUT di www.indonesiabuku.com. Kl ada waktu silakan ditengok ya. Tks utk kebaikan hati Mas Pur. Salam. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 07.56 :16].

Purnomo Iman Santoso/Semarang : Ok Pak BH, sy sore ini ke warnet (maklum blm psg speedy). Seharian kemarin saya KO, penyakit turunan saya kumat-flu berat. Saya punya mimpi2, satu diantaranya tentang EI. Bantu doa Pak BH, mimpi2 sy terwujud/come true SEGERA, krn ini saling berkaitan.[Selasa, 25 Agustus 2009 : 08.17:30]. Balasan BH : Tks, Mas pur. Mg sgr sehat+bugar kembali. Ttg impian, apa sy+teman2 EI tak bs dibocori sjk dini ? Atau ini RHS agar jd surprise ? Sy sll dukung Mas Pur. Sukses selalu. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 08.41:02].

Purnomo Iman Santoso/Semarang : Impian sy tentang EI, mudah2an Pak BH berkenan, EI Go Nasional. Max 2010. Setuju pak ? Ini ada proses2 kreatif yg melibatkan warga EI (nantinya) dan saya yakin bisa. Amin. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 08.45:35]. Balasan BH : Info : Th 1993 ada org Medan membajak mentah2 ide EI, lalu kirim proposal minta dana ke Mensesneg Moerdiono. Untung ia gagal. Berkat TI, EI bs makin menasional. Ayo ! [Selasa, 25 Agustus 2009 : 09.47.19].

Purnomo Iman Santoso/Semarang : Saya selalu harus ada persetujuan Pak Bambang Haryanto selaku pendiri EI. Dan sy tdk akan menggunakan jalur-jalur berbau KKN, koneksi pejabat dan sejenisnya. Mimpi saya bersifat melengkapi dan melibatkan pendiri dan Warga EI sebagai komunitas adalah utama. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 04.16:18]. Balasan BH : Itu contoh sj. Saya percaya pribadi sd visi-misi Mas Pur demi kebaikan EI kita. Sy bersyukur atas ide hebat Mas Pur. Sy slalu siap ut melangkah bsm, mewujudkannya. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 10.10:53].

Purnomo Iman Santoso/Semarang : Tks Pak BH atas kepercayaannya. Saya sangat menghargai dan berpihak pada ide inovatif, pionir, genuine. Dan tdk respek pd imitasi mau pun second product. Bantu doanya Pak BH agar Tuhan dengan kuasanya yg tak terbatas berkenan menggenapi dan menyempurnakan langkah dan karya saya, keluarga, Pak BH dan warga EI yg kreatif-inovatif-genuine. Selamat berpuasa. [Selasa, 25 Agustus 2009 : 10.20:19].

Terima kasih, Mas Purnomo.

Gurat di tembok. Terima kasih pula kepada Anda semua yang berbaik hati mengirimkan pesan atau menorehkannya di “tembok” akun Facebook saya. Pesan-pesan di bawah ini saya baca dari email saya. Berhubung saya ingin berpuasa Facebook sebulan ini, maka mohon maaf, saya menjawab ucapan Anda tersebut melalui blog ini pula. Ada nilai plusnya : Di Facebook data Anda tidak tercatat oleh laba-laba mesin pencari Google, sementara di blog ini akan mereka catat sehingga mudah ditemukan.


Hartati Syukur/HerbaLife-Jakarta : "## S'lamet ulang ta'on, mas hari ## S'moga tambah sehat + sejahtera + HAPPY lahir & bathin :-) ##" [Monday, August 24, 2009 5:16 AM].

Balasan BH :”Terima kasih, Hartati. Dulu melalui Blue Book, kini melalui Facebook. Kado bluebookmu di tahun 1987 masih utuh lho. Kamus Inggris-Indonesia-nya John M. Echols dan Hassan Shadily, dimana pada halaman 285, abjad “H” telah kau ubah dengan ditambahi tiga huruf lagi dengan tinta merah. Mungkin kini, huruf tambahan itu sebaiknya berubah menjadi “HerbaLife” ya ? Selamat berteman dengan klub Inter Milan, David Beckham, isu-isu menarik seputar kesehatan dan kesejahteraan. Sukses selalu untukmu !”

Diana Av Sasa-Indonesia Buku/Surabaya : "Selamat Ulang tahun pak Bambang.... panjang usia...terus menulis... hadiahnya ada di situs indonesia buku ya..." [Sunday, August 23, 2009 11:56 PM].


Balasan BH :”Terima kasih, mBak Diana AV Sasa. Kado istimewa dari Indonesiabuku itu sungguh, weleh-weleh, bisa-bisa membuat topi saya tak lagi muat. Bengkak luarnya. Mabuk di dalamnya. Habis, engga sangka, tiba-tiba muncul reaksi berantai, macam-macam, dan susul-menyusul, setelah saya Anda beri kehormatan untuk mendongeng tentang manfaat plus kesaktian surat dan surat pembaca bagi anak-anak Pakis Baru, 14 Agustus 2009 yang lalu.

Yang istimewa, seperti saya tulis untuk teman kuliah saya dulu, betapa interaksi saya dengan mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan, membuat “monster buku” yang lama meringkuk dalam hibernasi [istilah ini aku dengar pertama kali dari Anez] kini sepertinya sedang bangun dan mencari mangsa. Terima kasih untuk inspirasinya !”


Hio Is Ariyanto/OI Bento House Solo : "Atas nama Warga Oi Bento House Solo mengucapkan Selamat ulang tahun Pak Bambang smoga sehat selalu dan selalu eksis dengan semua kegiatanya :)." [Sunday, August 23, 2009 11:27 PM].

Balasan BH :”Makasih, Is, untuk ucapan dan doaku. Walau kita tak sering ketemu, tetapi melalui media dan hati, kita senantiasa saling mendukung dan mengompori. Banyak visi-misi kita berdua yang sama, sementara aplikasinya menjadi lebih kaya ketika kita memiliki beragam cara untuk menyampaikannya. Salaut dan salam untuk Warga Oi Bento House, Solo ! “

Thomas Sutasman/Cilacap : "Selamat ulang tahun pak. semoga semakin berbahagia dan yang lebih penting semakin mencerahkan orang lain dengan surat pembacanya" [Sunday, August 23, 2009 10:59 PM].

Balasan BH :”Terima kasih, Mas Thomas. Maaf, saya belum bisa mengunjungi lagi Segara Anakan sampai Benteng Pendem-nya Jepang di Cilacap. Tetapi terkait dengan aktivitas kita sebagai Warga EI, saya memendam salut dan kekaguman ketika Anda mampu menularkan virus agar anak-anak didik SMP Anda berani menulis surat pembaca.

Mari hal positif ini kita terus tularkan kepada sejawat guru lainnya, bahwa menulis surat pembaca itu merupakan revolusi yang membawa perubahan bagi anak didik kita dalam memandang sekitar dan memandang dirinya sebagai kontributor perubahan untuk menuju kebaikan bersama. Saya bangga bisa mengenal Anda !”

Sadrah Deep/Pasarsolo.com – Solo : "Happy Birthday Pak Bambang... :))" [Sunday, August 23, 2009 6:09 PM].

Balasan BH :”Terima kasih, Sadrah, untuk ucapan, atensi, obrolan dan pertemanan kita selama ini. Tak sangka pertemuan kita saat Solo mencanangkan 30 Juli (2008) sebagai Solo Cyberholic Day, ke depan ini masih bisa kita isi dengan aktivitas yang berguna. Memang secara fisik kita tidak selalu bersama, tetapi saya tahu, kita selalu mengompori demi kemaslahatan bersama. OK ?”

Panji Kartiko/Jakarta : "Met ulang taun yah mas Bambang... semoga ide-ide dan pemikiran semakin briliantnya ..!!" [Sunday, August 23, 2009 6:02 PM].

Balasan BH : “Terima kasih, Mas Panji. Waktu terus berjalan, hiruk pikuk kita sebagai suporter Pasoepati, entah di Manahan, di studio Indosiar, di Senayan, sampai saat kita sama-sama mencetuskan 12 Juli (2000) sebagai Hari Suporter Nasional di Palmerah, mungkin terlihat surut.

Tetapi panggilan untuk berbuat sesuatu, dengan media dan strategi baru, demi kemajuan sepakbola Indonesia, syukurlah, idealisme kita itu masih membara. Mari kita tuangkan bensin kedalamnya dalam perjuangan ke depan secara bersama-sama !”

Yohanes Yantono/ISI Solo : "Selamat ulang tahun yo, semoga berkat Tuhan selalu melimpah, tambah bahagia dan sejahtera, merdeka..." [Sunday, August 23, 2009 5:31 PM].

Balasan BH : “Terima kasih, Empu Yantono. Kalau kita reuni, kau bisa membawa keris buatanmu yang berpamor batu bintang, aku membawa pensil dan Martinus Driyarkoro dari Dian Desa Yogyakarta (?) bisa membawa contoh-contoh aplikasi teknologi tepat guna. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberi bimbingan bagi kita, agar menjadi insan yang berguna.”

Muhidin M Dahlan/Yogyakarta : "Keluarga Besar Indonesia Buku dan Gelaran Buku mengucapkan selamat ulang tahun. Panjang usia surat pembaca. (Pimpinan Sekretariat Pusat)." [Sunday, August 23, 2009 2:26 PM].

Balasan BH : “Terima kasih, Gus Muh. Mungkin terilhami oleh kegotongroyongan pasukan pengawal Jenderal Sudirman, yang markasnya saat bergerilya di tahun 1947 kita kunjungi 14/8/2009 yang lalu di Sobo, Pakis Baru, Pacitan, maka ucapan Anda pun mengatasnamakan pasukan Indonesia Buku. Bagi saya, ini berkah besar. Terima kasih untuk interaksinya dalam dinginnya udara Pacitan, tetapi panas bergelora dalam seia mengobarkan semangat dan budaya literasi untuk anak-anak bangsa.”

Bakhuri Jamaluddin/Tangerang : "Dik BH, selamat ultah, semoga sukses selalu, he he klasik ya ? Kapan semua karyanya diterbitkan dlm Otobiografi, tapi jangan dijadikan satu edisi, nanti terlampau tebal melebihi Al-Qur'an.

Ada edisi humor, edisi epistoholik, edisi suporter, edisi buku masuk desa, edisi komedi, edisi dunia maya, edisi museum rekor, edisi buka buka buku, edisi Persis dan PSSI, etc, etc. Wah bisa jadi Mini Public Library karya "Wong UI bali ndeso Wonogiri". Kamu Pasti Bisa, Doaku Menyertaimu, Insya' Allah !" [Sunday, August 23, 2009 9:22 AM].

Balasan BH : “Terima kasih, Mas Bakhuri. Cita-cita untuk membuat buku senantiasa naik-turun bagiku. Terkait masalah interaksi dengan penerbit, pernah naskahku “dipendam” oleh penerbit dengan status tidak diterbitkan dan sekaligus juga tidak mau mereka kembalikan. Bahkan berkelit naskah hilang. Setelah surat pembaca aku tulis, mereka lalu memohon-mohon agar kasus ini tidak dibawa ke meja hijau saat mengembalikan naskah yang hilang itu. Hal itu membuatku trauma.

Problem lain, pergeseran teknologi. Budaya buku, budaya cetak itu, kini menuju kematian. Sampai ada blog yang membahas topik itu : http://printisdeadblog.com/. Berhubung hal itu di luar apa yang bisa saya jangkau, saya mengerjakan saja apa yang bisa saya kerjakan. Kalau ada gagasan pengin menulis, ya menulis saja. Lalu dipajang di blog, media yang karena keajaiban digital menjadi sarana berekspresi yang egaliter.

Perkara ada yang membaca atau tidak, perkara ada yang mengomentari, baik sedikit, banyak atau tidak ada sama sekali, biarkanlah semua itu terjadi. Proses atau petualangan yang bergolak dalam benda karunia Allah yang paling demokratis dan terletak antara kedua kuping kita itu yang senantiasa memberikan sensasi yang mencandu. “Menulislah sampai jari-jemarimu sakit,” kata komedian Jerry Seinfeld. Saya belum mencapai tahap itu.

Terima kasih, Bakh. Idemu itu kini sedang bergolak, karena perkembangan teknologi pula yang mampu membuatku, juga kita semua, tak usah lagi bersinggungan dengan para penerbit komersial ketika kita hendak menerbitkan buku. Interaksiku dengan mBak Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan, membuat “monster buku” yang lama meringkuk dalam hibernasi [istilah ini aku dengar pertama kali dari Anez] itu kini sepertinya sedang bangun dan mencari mangsa. Kita bisa bikin sesuatu yang berguna, Bakh, seperti kita saat menuntut ilmu di kampus UI Rawamangun dulu-dulu itu.”


Estafet gagasan “Ideas won't keep. Something must be done about them,” tegas Alfred North Whitehead (1861–1947), filsuf dan matematikus Inggris. Gagasan mengenai masa depan komunitas penulis surat pembaca, Epistoholik Indonesia, memang tak hanya disimpan saja. Bila disimpan, ia hanya akan menjadi mumi belaka. Gagasan itu harus terus disebarluaskan. Harus pula memiliki wajah baru dalam pelakunya dan kreasi-kreasi baru dari mereka.

Saya harus bersyukur, taman kiprah penulisan surat-surat pembaca itu yang berisikan beragam kembang-kembang gagasan, bisa mekar. Siraman air, belaian sinar matahari dan angin, serta tanah subuh yang menjanjikan untuk diolah, menjadi panorama pada hari ini. Hari hidupku, ketika Yang Maha Kuasa masih memberi patok waktu 56 tahun. Sebagai batu pijak baru, untuk berangkat berjalan lagi.

Penyair kesayangan mendiang Presiden AS ke 35, John F. Kennedy (1917–1963), yaitu Robert Frost (1874–1963) memiliki puisi indah yang pernah aku tulis dalam skripsiku di tahun 1984 : Stopping by Woods on a Snowy Evening (1923). Dua puluh lima tahun kemudian, kuplet terakhir puisinya itu serasa menyapaku lagi :

The woods are lovely, dark and deep.
But I have promises to keep,
And miles to go before I sleep,
And miles to go before I sleep.



Wonogiri, 24-25 Agustus 2009

tmw

Tuesday, August 11, 2009

Monster Hydra, Budaya Jawa dan Terorisme

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinew (at) yahoo.co.id


bambang haryanto,artikel,terorisme,budaya jawa,noordin m top,solopos 10/8/2009


Harmoni orang Jawa. Noordin M Top diduga telah tamat riwayatnya. Yang mengagetkan, gembong aksi terorisme nomor wahid di Asia Tenggara itu tewas dalam serangan Densus 88 di Beji, Temanggung. Sebelumnya, aparat memburunya sampai Cilacap, tempat ia diduga memiliki istri ketiga.

Mengapa teroris asal Malaysia itu nampak nyaman bersembunyi dan sekaligus terus giat merancang aksi-aksi terornya dari Jawa Tengah ?

Sebagai teroris yang licin, tampaknya Noordin tahu benar kelemahan budaya Jawa. Kita tahu, budaya Jawa itu memiliki pandangan ketat mengenai pentingnya harmoni, keselarasan. Perasaan yang terinternalisasi secara mendalam dalam jiwa orang Jawa adalah kepekaan untuk tidak dipermalukan di muka umum.

Perasaan demikian memupuk konformitas, pengendalian tingkah laku dan menjaga ketat harmoni sosial. Konflik yang terjadi diredam sekuat tenaga. Reaksi normal setiap orang Jawa dalam menanggapi konflik adalah penghindaran, wegah rame dan mediasi oleh pihak ketiga.

Sikap wegah rame tersebut, misalnya, mencuat pada kasus ketidakacuhan warga perumahan Jatiasih, Bekasi, terhadap pengontrak baru yang tak pernah bergaul dan berlaku tidak wajar. Ketika penggerebekan terjadi, mereka baru terkaget-kaget karena lingkungannya jadi sarang teroris. Sikap wegah rame itu pula disiratkan Kapolda Jawa Tengah Alex Bambang Riatmodjo (saat) menyatakan teroris telah menjadikan Jateng sebagai persembunyian dan wilayah perekrutan teroris-teroris baru.

Payung perlindungan. Kasus di Cilacap di mana keluarga Bahrudin Latif menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang dicurigai sebagai Noordin M Top, semoga membuka mata kita betapa taktik penyusupan kaum teroris telah merambah ke ranah yang tidak kita duga sebelumnya.

Ahli intelijen yang khusus mengkaji gerakan Jemaah Islamiyah (JI) Noor Huda Ismail seperti dikutip situs Jakarta Globe (31/7) mengatakan bahwa taktik licin itu dilakukan Noordin M Top di tempat lain sebagai sarana untuk melindungi dirinya. Apalagi taktik serupa diyakini tidak hanya dilakukan oleh Noordin semata.

Sebelum di Cilacap, Noordin menikahi Munfiatun di Surabaya tahun 2004. Munfiatun ditangkap tahun 2005, dihukum tiga tahun, dibebaskan tahun 2007. Sebelumnya, Noordin dipercayai memiliki istri pertama asal Rokan Hilir, Riau. Pada 2003, rumah ini digeberebeg, tetapi dia lolos.

Noordin memang teroris yang julig. Menurut Noor Huda Ismail, ia tahu bagaimana melakukan pendekatan terhadap komunitas yang dapat memberikan perlindungan padanya, utamanya dari komunitas yang mencita-citakan berdirinya negara Islam di Indonesia. Payung budaya perlindungan dalam jaringan Islam radikal itu ia perkokoh melalui jalinan kekerabatan yang diikat tali perkawinan.

Kesetiaan yang tinggi antarmereka akhirnya memudahkan gembongnya melakukan cuci otak dalam mengindoktrinasi anak-anak muda yang terisolasi tersebut untuk menjadi martir bersenjatakan bom bunuh diri.

Penetrasi jaringan teroris kini memasuki ranah yang oleh sebagian besar kebanyakan kita sebagai warga suku Jawa merasa tidak berhak ikut campur karena berada di ranah pribadi, ranah keluarga. Tetapi karena aksi terorisme itu berdampak luas, kini setiap warga negara harus menjadi bagian paling depan untuk ikut aktif memeranginya. Apalagi terorisme sering digambarkan seperti monster Hydra dalam mitologi Yunani. Monster itu memiliki sembilan kepala, bila satu kepala ditebas, akan muncul dua kepala baru menggantikannya.

Jika ternyata tewas, dikhawatirkan Noordin segera digantikan oleh wajah-wajah baru. Monster Hydra itu baru dapat dikalahkan oleh Hercules dengan mencabut akarnya. Perumpamaan itu menunjukkan bahwa aksi penumpasan teroris yang mengandalkan aksi-aksi pihak yang berwajib, tidak akan seratus persen efektif. Solusi idealnya adalah masyarakat harus bekerja sama membuat teroris menjadi “impoten”.


Sindrom jendela pecah. Yang ditakuti teroris bukan kematian, tetapi ketika mereka tidak mampu menyerang. Aksi pencegahan untuk melumpuhkan dan mempersempit ruang gerak teroris itu dapat terjadi bila ada kedekatan, terbinanya rasa percaya, antara warga dengan pihak berwajib, khususnya polisi. Kredo Kapolda Alex Bambang Riatmodjo ketika awal memangku jabatan bertajuk the policing with love, pemolisian dengan pendekatan cinta, kini semakin dinanti realisasinya.

Tanpa realisasi hal itu, apalagi bila pihak berwajib di mata masyarakat malah dicitrakan sebagai korup, berlaku tidak adil, apalagi suka menyakiti rasa keadilan masyarakat, maka rakyat pasti enggan berhubungan dengannya. Rakyat akan menjauh.

Akibatnya, semua gejala dini tindak kejahatan sampai hal-hal yang mencurigakan akan mereka diamkan, tidak dilaporkan kepada polisi. Sehingga, teroris dan penjahat pun akan leluasa meneruskan aksinya.

Gejala dini itu oleh kriminolog James Q Wilson dan George Kelling disebut sebagai sindrom broken windows (jendela pecah), untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Mereka berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tak terelakkan dari ketidakteraturan.

Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan saja, siapa pun yang lewat cenderung menyimpulkan pastilah di lingkungan itu tidak ada yang peduli atau bahwa rumah itu tidak berpenghuni. Dalam waktu singkat, akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu.

Menurutnya, di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi.

Awal yang remeh itu juga bisa terjadi dalam atmosfir budaya Jawa, justru ketika kita berusaha menjaga harmoni bertetangga. Harmoni itu pula yang mampu membuat kita terlena, menumpulkan sikap waspada, sehingga tidak tergelitik dalam mengendus ketidakwajaran. Mengambil contoh di Cilacap, jangan sampai kita tidak menyadari bahwa anak gadis tetangga adalah istri seorang teroris berbahaya.


[Artikel ini dimuat di Harian Solopos, Senin, 10 Agustus 2009 : Hal.4].




Wonogiri, 12/8/2009

tmw

Friday, July 10, 2009

Beethoven, Internet, Bupati Wonogiri 2010

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Ikon dua singa. Radio Voice of America mengudara jam 5 pagi di Wonogiri. Saat itu ritus jalan kaki pagi saya dari Kajen baru mencapai perempatan ponten. Saya menyebut perjalanan pagi itu dengan rute utara.

Salah satu bagian dari jalan raya Kota Gaplek ini dulu merupakan pertigaan. Di tengah terdapat kolam berbentuk bundar dengan air mancur, fountain, ditengahnya. Untuk lidah Jawa, lokasi itu kemudian disebut sebagai ponten. Sampai saat ini. Walau bangunan kolam dan air mancur itu kini sudah lama tiada lagi di sana.

Di bagian barat jalan, agak ke selatan, terdapat toko tukang gigi. Di tempat ini terdapat ikon yang bagi saya amat melekat bagi warga Wonogiri : dua patung singa. Di belakang toko ini terdapat kampung Jagalan, di mana waktu saya kecil pernah tinggal di sana.

Rumah kontrak orangtua saya, Kastanto Hendrowiharso, kini menjadi Hotel Cendrawasih. Persis di depan rumah mBah Sari, jagal dan pebisnis daging sapi terkenal. Dua patung singa itu saya kenal, kiranya sejak saat itu, tahun 1959. Jadi sudah setengah abad lebih keduanya setia berjaga di sana.

Dari patung singa arah ke utara, terdapat rumah tempat tinggal juragan bis, Pak Kamto. Walau tidak kenal akrab, saya mengenal putri dan putranya. Antara lain Mas Tantyo, Endang (Kempong), Bambang dan Eddy (Gembrot).

Nama terakhir ini sempat saya potret secara mencuri-curi saat kita sama-sama menghadiri pemakaman ulama terkenal KH Abdullah Sadjad, di pemakaman Kajen, 16 Desember 2008. Di bulan akhir Juni 2009, Eddy yang sama-sama bersekolah (adik kelas) di SD Wonogiri 3 dan SMP Negeri 1 Wonogiri itu, telah dipanggil Yang Maha Pencipta di Serang. Dimakamkan di Solo.


Candu Wonogiri. Saya meliwati jalan di sebelah utara rumah almarhum Eddy yang kini disewa untuk toko kacamata Pranoto Optik. Ke arah barat, naik, menyeberangi rel, lalu mendaki kampung Gerdu. Jalan terjal menanjak sepanjang 100-an meter itu membuat terengah. Tetapi selepasnya, badan ini menjadi agak berkeringat. Kemudian disusul hembusan lembut udara pagi Wonogiri yang ramah membelai sekujur badan. Kesegaran semacam ini memang candu.

Sayang, candu semacam ini tak punya banyak pengikutnya yang fanatik di Wonogiri. Di antara yang sedikit sebagai the morning walker itu adalah Pak Mufid Martohadmojo (foto, kiri), mantan guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri. Beliau dan kawan-kawan sebaya saya temui bila dalam perjalanan rute selatan. Pak Mufid masih sehat dan bugar, tetapi tidak mau mengatakan ketika saya tanya usianya. Kini kami memang rada sering bertemu di Perpustakaan Wonogiri.

Dulu saya juga sering berpapasan dengan rombongan para lady, terdiri ibu, kenalan dan putrinya, yang juga berolahraga jalan kaki pagi. Tempat awal berangkat mereka adalah toko keramik dan bahan bangunan Metro Jaya, di ujung jalan arah dari Gununggiri. Selain kadang bertukar senyum, juga berucap selamat pagi, ketika kita berpapasan. Kini encounter semacam itu sangat jarang terjadi.

Pedang keadilan. Rute saya akhirnya sampai ke jalan raya di kawasan Wonokarto. Saya belok ke kiri ketika sampai di perempatan pos polisi.Kalau terus ke utara, arah menuju Solo, saya akan melewati di Gedung Pengadilan Negeri Wonogiri.

Di gedung tersebut akhir-akhir ini mencuat kasus persidangan mirip yang terjadi dengan Prita Mulyasari vs RS Omni di Tangerang dan Khoe Seng Seng dkk di Jakarta. Nama terakhir ini, sekitar setahun ini, menggalang kontak SMS dan email dengan saya terkait kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan raksasa properti Jakarta terhadapnya. Tanggal 5/7/2009, Khoe Seng Seng sempat tampil di acara Democrazy, di MetroTV.

Kasus di Wonogiri itu adalah tentang 6 warga yang dipidanakan oleh bidan desa Wahyu Kristiani. Keenam terdakwa itu penduduk Dusun Parangjoho, Desa/Kecamatan Eromoko, yakni Komari, Sukijo, Mardi, Sukardi, Sugeng Riyanto dan Supadi. Keenamnya disidang karena membuat laporan bersama, berisi keluhan yang dikirimkan ke Kepala Puskesmas Kecamatan Eromoko dengan tujuan agar pelayanan kesehatan makin baik.

Warga mengeluh, karena bidan Wahyu tidak senantiasa siap di Poliklinik Desa Eromoko, membuat warga kesulitan saat membutuhkan jasa pelayanannya, terutama ibu hamil tua yang akan melahirkan. Bidan itu juga dilaporkan sebagai ingkar janji dalam mengurus akta kelahiran enam anak. Dia juga diduga tidak menyalurkan bantuan stimulan untuk posyandu.

Menurut laporan wartawan Bambang Purnomo Untung Sabdodadi (“beliau teman saya satu kelas II-A di SMP Negeri 1 Wonogiri”) dari Suara Merdeka (30/6/2009), para terdakwa membuat surat secara kolektif itu sampai dua kali.

Surat kedua itu dibuat atas saran pimpinan Puskesmas Eromoko, dokter Supriyadi, dengan dukungan warga dari 10 RT di empat dusun, yakni Parangjoho, Bon Agung, Geritan, dan Gedong. Keenam warga yang kritis itu justru dituntut hukuman masing-masing enam bulan penjara dengan masa percobaan selama 12 bulan.

Kisah belum berakhir. Pada pembelaan (6/7/2009), mereka ingin dibebaskan. Semoga pedang hukum yang memihak akal sehat, demi menopang sendi-sendi kehidupan berdemokrasi dan rasa keadilan bagi rakyat, sebagaimana yang dialami oleh Prita Mulyasari, nantinya juga bisa berhembus di Wonogiri. Bebaskan Komari dan teman-teman !

Photobucket

Photobucket


Viva forever ! Angan-angan tentang bebasnya Pak Komari dkk. membuat saya menengadah ke awan biru. Di sana, sebelum belok kiri menyusuri Jl. Tentara Pelajar, pandangan saya terantuk kepada papan iklan raksasa yang kosong di dekat pos polisi kota itu.

Papan tersebut sebelumnya diisi informasi dan promosi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Baliho itu mereka eksekusi seperti sajian brosur. Orang perlu berhenti berlama-lama untuk membacanya. Padahal, menurut ilmu komunikasi pemasaran, isi baliho dirancang agar mampu memiliki daya pikat magis dalam dua-tiga detik bagi warga yang melintas jalan raya itu. At highway speeds, you only have about two seconds to deliver your message and make it stick.

Daya pikat magis itu memang menyergap saya pagi itu. Saya nikmati. Sambil senyum-senyum. Agak kecut. Karena di halaman kosong dari baliho tersebut tertulis kalimat : “Spice Iklan Disewakan.” Pada kesempatan lain, pada spanduk yang memromosikan acara jalan santai memeringati HUT Wonogiri ke-268, saya baca kalimat berikut : “Rebut Grand Prize Utama 1 Unit Sepeda Motor. Door Price : Kulkas, VCD, TV 14, Dll.”

Kata di baliho itu mengingatkan saya akan kelompok penyanyi cewek asal Inggris, Spice Girls. Salah satu personilnya, Posh Spice, adalah istri David Beckham. Yang lainnya, Emma “Baby Spice” Bunton, memiliki senyum memesona mirip Miduk, salah wanita terindah saya. Kelompok ini saya kenal ketika bergabung Luciano Pavarotti dalam konser penggalangan dana untuk anak-anak korban perang di Liberia,1999.

Penampilannya bersama Pavarotti dalam lagu “Viva Forever” menyertai keheningan yang menawan. Saat itu saya tenggelam di sofa empuk ketika menjelajahi isi buku inspiratifnya John Howkins, The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001). Lokasinya : toko buku QB, Jalan Sunda Jakarta, 29 Juli tujuh tahun lalu.

Photobucket

Simfoni nomor sembilan. Penggunaan kata bahasa Inggris dalam media luar ruang yang menggelitik itu, akan semakin diperkaya nuansanya bila Anda sedikit jeli membaca-baca bagian luar bis mini yang wira-wiri di Wonogiri.

Misalnya, saya pernah menaiki bis mini yang terdapat tulisan, “Linkin’ Park.” Bis itu saya naiki ketika ikut rombongan mengantar om saya, Sriawan, untuk dimakamkan ke Pokoh. Mungkin karena suasana duka, dalam sepanjang perjalanan di bis itu tidak terdengar, misalnya lagu “In The End” yang berisi rapnya Mike Shinoda dan teriakan melodius dari Chester Bannington yang vokalis utama grup asal California itu.

Bagaimana bila kita menaiki bis mini di Wonogiri (foto) yang bergambar wajah komponis Jerman, Ludwig van Beethoven (1770–1827) ? Keren juga, pikir saya, ketika bisa memotret dua bis bergambar komponis yang kemudian jadi tuli di usia 30 tahun kelahiran Bonn itu di kota Wonogiri ini.

Betapa mengagumkan karena di Wonogiri ada penggemar lagu-lagu klasik yang fanatik, yang bahkan dikesankan merakyat karena wajahnya dipajang di kendaraan umum untuk rakyat.

Tetapi saya pesimis. Bila menaikinya kita tidak akan mendengar sajian simfoni nomor sembilannya yang terkenal itu. Lagu ini dalam versi pop saya kenal tahun 1972, saat saya bersekolah di Yogya. Dibawakan penyanyi Miguel Rios, berjudul “Song of Joy.” Lagu kesayangan Gus Dur itu pada tahun 2000, atas usul saya, juga agak sering dikumandangkan di Stadion Manahan Solo oleh kelompok suporter Pasoepati.


Sewu kutho. Di dalam bis mini Wonogiri, baik yang memajang label Linkin’ Park atau wajah Beethoven itu, mungkin yang justru sering terdengar adalah lagu-lagu campursari. Ketika saya nunut dari Kedungringin ke GOR Donoharjo, di bis mini rute Wonogiri-Manyaran yang disopiri Wiyono (foto), anak om Mulyono dari Cengkal Wuryantoro, yang menggeber di dalamnya adalah juga lagu-lagu campur sari.

Tidak hanya di bis-bis mini atau perhelatan pengantin, bahkan dalam acara peresmian Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 (EBSK 2007), 9 Juni 2007, di Obyek Wisata Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, juga menggema lagu-lagu campursari. Yang ikut menyanyi adalah Mardiyanto, Gubernur Jawa Tengah saat itu dan Begug Purnomosidhi, Bupati Wonogiri.

Pak Bupati satu ini punya lagu favorit, Sewu Kutho-nya Didi Kempot. Lagu bertema lelaku pria yang menjelajah seribu kota untuk menemukan cinta itu selalu ia nyanyikan dimana-mana. Isi lagu ini lalu ia wujudkan dengan seringnya main wayang kulit dan membawa misi kesenian Wonogiri ke pelbagai kota. Bahkan sampai Belgia dan Singapura.

Aksi ngelencer-nya ini sering jadi bahan gunjingan tak sedap, dengan dipertanyakan oleh anggota DPRD, baik tujuan sampai siapa yang membiayai. Selalu saja memunculkan kontroversi demi kontroversi. Tapi selalu pula tidak tuntas sampai warga Wonogiri menjadi lupa sendiri.

Dengan demikian apa Pak Begug itu selama ini telah memberi nama jelek bagi misi kesenian Wonogiri, bagi Wonogiri, sekaligus bagi campursari ? Atau sebaliknya ? Kita tunggu sesudah ia lengser pada tahun 2010 nanti.


Hanya pemoles bibir. Yang pasti, campursari, di masa depan bagi warga Wonogiri, nampaknya akan tetap lestari. Karena nampaknya calon-calon bupati Wonogiri masa depan seleranya juga tidak akan jauh-jauh dari campursari.

Dalam Pilbup 2005 lalu, misalnya, ada kandidat yang berkampanye dengan mengedarkan CD campursari. Ia sendiri yang mengarang lagu-lagunya, menyanyikannya, menjadi aktor dalam videonya, sekaligus menjadi produsernya. Tetapi saya tidak tahu apakah ia juga mampu menyanyikan lagu-lagu itu secara live di depan audiens.

Campursari juga jadi senjata dalam Pilbup 2010 mendatang ini. Baru-baru ini, seorang teman yang mengelola kafe, menyodorkan kepada saya CD lagu-lagu campursari. CD tersebut ternyata dirancang oleh sang produser sebagai sarana sosialisasi dirinya guna memperebutkan kursi bupati Wonogiri 2010 mendatang.

Gambar dirinya dalam sampul, dapat diduga sebelumnya, mengenakan beskap Jawa. Memegang keris. Dalam salah satu lagunya, tentu saja ada lirik yang memuja-muji Wonogiri, termasuk Gunung Gandul (saya potret ketika muncul pelangi), aset wisata yang puluhan tahun terbengkalai itu. Hanya jadi buah bibir semata. Dinyanyikan tetapi tidak dipikirkan, tidak diperhatikan.

Tetapi, anehnya, di nomor selanjutnya, entah kenapa, muncul lagu yang memomrosikan Rowo Jombor Klaten sebagai tujuan wisata. Lagu ini, membuat saya sebagai wong Wonogiri, merasa mentah-mentah ia khianati. Sebagai calon bupati Wonogiri, mengapa ia perlu cengkre, ikut-ikut mengurusi Jombor pula ?

Mencerdaskan rakyat. Saya bukan anti lagu-lagu campursari. Saya juga tidak tahu efektivitas media satu ini dalam memengaruhi konstituen ketika berlangsung sebuah pilihan bupati. Yang saya tahu, media ini bersifat searah. Karakternya persis seperti baliho atau spanduk yang riuh dipajang di jalanan saat kampanye Pileg atau Pilpres 2009 yang lalu.

Sarana kampanye satu ini semua seragam berisikan kata-kata sebagai berikut : “Hai rakyat, dengarkanlah dan ikuti kata-kataku. Percayai janji-janjiku, dan pilihlah aku !”

Para politisi itu seolah berada di atas, rakyat berada di bawah mereka, rakyat jadi subordinat mereka, sekaligus mengira rakyat itu bodoh dan mudah mengikuti apa saja kata mereka. Persepsi itu salah besar. Mereka harusnya mau belajar dari ujaran Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo.

Rebecca MccKinnon bilang, seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka akan memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.

Merujuk tesis itu, hemat saya, baik untuk untuk mensosialisasikan pemilu, aturan-aturan baru, juga individu calon legislatif atau calon eksekutif, sudah seharusnya rakyat diajak untuk berdiskusi. Ujung puncaknya mereka diajari untuk menulis di beragam media. Baik berupa surat-surat pembaca, sampai artikel di media massa, atau pun di blog-blog mereka di Internet.

Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para calon legislatif atau calon eksekutif bersangkutan. Mereka yang kritis jangan sekali-kali dihantam dengan palu hukum seperti yang dialami Pak Komari dan kawan-kawan dari Eromoko dalam cerita di awal tulisan ini.

Dengan demikian, maka papan peraga kampanye di jalanan, juga CD berisi lagu-lagu campursari itu, bukan sebagai media indoktrinasi. Bukan pula media searah, yang merendahkan sekaligus membodohi rakyat. Tetapi lebih merupakan undangan awal bahwa calon legislatif atau calon eksekutif bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat. Kemudian terjadilah percakapan, rembugan, diskusi dan interaksi.

Bangkit, blogger Wonogiri ! Media komunikasi yang interaktif tersebut, kini telah tersedia. Internet. Tersaji di sana beragam media sosial sebagai sarana corong warga berbicara. Ada blog, juga Facebook. Terkait media-media sosial ini saya pernah menjual gagasan untuk mengadakan pelatihan ngeblog di Wonogiri.

Saya ajukan gagasan ini kepada dua pengelola warnet di Wonogiri. Tidak berhasil. Ketika itu bulan Puasa, idenya adalah mengadakan acara Ngabuburit with Ngeblog. Saya ajukan ke kepala perpustakaan Wonogiri. Kemudian coba saya hubungi fihak Telkom Wonogiri. Rupanya hari baik untuk gagasan itu belum tiba.

Termasuk ketika saya mencoba mengetahui apa kira-kira pendapat tokoh Wonogiri tentang Internet sebagai sarana mendemokratisasikan dan memakmurkan Wonogiri di masa depan, saya mencoba kontak dengan salah seorang dari calon bupati Wonogiri 2010 mendatang. Kepada salah satu dari mereka yang menjagokan ingin maju, yang memiliki tiga gelar akademis itu, saya mengirimkan SMS kepadanya.

Inti isi SMS saya : untuk menggalang silaturahmi ke depan sebagai sesama warga Wonogiri, saya ingin memperoleh informasi alamat email dan situs tokoh yang bersangkutan. Saya cantumkan juga alamat email saya : wonogirinews (at) yahoo.co.id. Biaya SMS yang habis saya keluarkan memang hanya Rp. 150,00. Biaya untuk membalas SMS standar juga sama, bukan ?

SMS itu saya kirimkan 9 Juni 2009.
Sampai kini sama sekali tidak memperoleh balasan.


Wonogiri, 10-11 Juli 2009


tmw

Thursday, April 23, 2009

Wonogiri, Glasgow, Sepakbola, Cinta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Tsunami sepakbola. Mie mentah dan dingin campur saus plus sambal. Itu salah satu menu sarapan saya pagi itu. Ini kesalahan pemula. Kesalahan wong ndeso di kota metropolis Singapura. Karena saya tidak sadar bahwa di dekat nampan mie itu ada kompor gas kecil yang diatasnya terdapat kuali tembikar berisi kuah panas untuk menjerang mie tadi. Maklum saja, saya bukan ahli gastronomi.

Sambil sarapan, saya membuka-buka majalah Newsweek edisi terbaru. Salah satu kolomnya ditulis editornya yang cemerlang, Fareed Zakaria. Hari itu, 17 Januari 2005, hanya berselang tiga minggu setelah tsunami dahsyat menghantam Aceh dan negara-negara di tepian Samudera Hindia.

Fareed Zakaria menulis, dalam setiap kejadian bencana, fihak yang diuntungkan adalah justru kaum papa. Kaum miskin. Mereka terbiasa tidak memiliki apa-apa dan sesudah bencana, mereka kembali juga tidak memiliki apa-apa. Tetapi, lanjutnya, bencana tsunami 2004 itu lain. Kaum miskin kali ini juga sangat merasakan akibat fatalnya.

Beberapa hari sebelumnya, saya memimpikan adanya sesisir penghiburan bagi para korban tsunami, juga bagi psyche bangsa Indonesia saat itu. Melalui sepakbola. Di final Piala Tiger 2004. Di semifinal tim kita bisa menghancurkan Malaysia 1-4 di kandang mereka, sungguh menggelorakan.

Tetapi dalam pertandingan final leg pertama di Senayan, 8/1/2005, kita kalah ditekuk Phill Bennet dan kawan-kawan dari Singapura dengan 1-3. Gol tembakan bebas Mahyadi Panggabean tidak menyelamatkan saya, yang duduk di pinggir lapangan, karena nyaris dihantam bom botol air mineral berisi air kecing kekuningan yang dilemparkan oleh penonton kita yang frustrasi dari tribun stadion.

Heal the nation.” Itulah bunyi spanduk besar, rancangan saya dan Mayor Haristanto, yang pada tanggal 16/1/2005, terpampang di sudut timur laut Stadion Kallang, Singapura. Tergurat di sana harapan, melalui sepakbola sembuhkan luka bangsa Indonesia akibat bencana tsunami, dan bangkitlah Indonesia untuk meraih kemenangan dan kejayaan. Kita kalah lagi, 1-2. Agregat : 2-5 untuk kejayaaan Aedi Iskandar dan kawan-kawan dari Negeri Singa itu. Tsunami sepakbola Indonesia kali ini membawa dampak lebih jauh. Mengalir kepedihan sampai kini.

Sepakbola fantasi. Esoknya, ada sedikit penghiburan. Koran utama Singapura, harian The Straits Times (17/1/2005) memuat ucapan saya. Bahwa saya masih punya optimisme terhadap masa depan sepakbola Indonesia. Saya masih mempercayai bahwa Peter Withe, pelatih timnas saat itu, akan mampu membuat timnas kita kembali berjaya.

Optimisme saya itu mungkin optimisme buta. Saya hanya menganalogikan sukses yang dicapai oleh Peter Withe (sampai saya membuat kaos dengan slogan : I Believe The Withe Magic !) ketika melatih tim Thailand, akan juga berbuah sukses ketika melatih Ponaryo Astaman dan kawan-kawan.

Ketika Peter Withe pergi, ketika Nurdin Halid masuk penjara karena tindak pidana korupsi dan ketika Nurdin Halid keluar dari penjara tetapi ia bersama kroninya tetap bersikukuh ingin memegang kendali PSSI, saya kali ini sudah putus harapan. Melalui stasiun televisi antv, beberapa hari lalu, tiba-tiba saya melihat siaran berisi acara peringatan HUT ke-79 PSSI.Dengan tajuk “PSSI Fantasy.” Maka saya pun segera semakin tahu kini : sepakbola Indonesia adalah sepakbola fantasi.

Fantasi-fantasi itu, khayalan demi khayalan itu, memang yang hidup di kepala para pengelola persepakbolaan Indonesia. Berkhayal dengan mengirimkan tim berlatih ke luar negeri akan mampu mendongkrak prestasi. Rumus lama yang selalu didaur ulang walau hasilnya semata kegagalan selama ini. Lalu berkhayal sebagai penyelenggara Piala Dunia 2018 atau 2022. Termasuk mungkin berkhayal, bahwa saat itu ketua PSSI tetap digenggam oleh Nurdin Halid beserta kroni-kroninya.

Mana aksi suporter kita ?. Tulisan Fareed Zakaria, juga cerita yang sering saya ulang mengenai final Piala Tiger 2004 di atas, muncul di benak lagi ketika ngobrol dengan Stuart Bruce. Ia suporter fanatik klub papan atas Skotlandia, Glasgow Rangers. Tempat ngobrolnya : Wonogiri, Kamis, 23 April 2009.

“Sebagai seorang Scotland, Stu itu Rangers sejati, sampai ke tulang dan darahnya :),” demikian bunyi sms dari Ade Soediro, eksekutif Radio Istara FM, Surabaya. Ade adalah tunangan dari Stuart Bruce (foto). Bagaimana ceritanya seorang suporter Glasgow Rangers bisa main ke Wonogiri ? Keajaiban itu bisa terjadi berkat blog di Internet, karena Google, terutama karena keagungan cinta. Hal ini bisa menjadi cerita tersendiri, termasuk menyangkut naskah buku saya Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati.

Stu kini tinggal di Manchester, Inggris. Sebagai seorang billy boys, sebutan bagi suporter Glasgow Rangers, ia pernah melanglang daratan Eropa. Juga sebagai seorang tartan army, sebutan bagi pendukung timnas Skotlandia. Suporter dari bangsa yang kaum prianya suka mengenakan rok kilt dan berbaris meniup alat musik bagpipe ini, tersohor tergolong sebagai kelompok suporter paling suportif dan sopan di Eropa.

The Tartan Army,” kata saya, “ dan juga Roligans dari Denmark, adalah kelompok suporter sepakbola yang perilakunya ingin menjadi suri tauladan kelompok suporter Indonesia.” Karena mereka bersahabat. Saat itu di pojok ruang tamu rumah saya, komputer sedang memutar CD saat kedatangan Pasoepati disambut meriah, gairah dan persahabatan, di tengah gemuruh Aremania di Stadion Gajayana, Malang, 21 Mei 2000. Saat itu tepat satu tahun reformasi di Indonesia !

Stuart Bruce, yang pernah menjadi dosen Sastra Inggris di Unika Sugiyopranoto Semarang, kini mendukung tim divisi 3 Stockport City di Manchester. “Kalau tur keluar kota, saya yang menjadi supir truk untuk membawa rekan-rekan suporter itu,” katanya bangga dan bahagia. Pengalaman hidupnya mendukung tim Skotlandia dan juga Glasgow Rangers yang diakuinya kurang bersinar di kancah Eropa, memberinya kebijakan dan kearifan. “Sebagai suporter tim lemah itu nothing to lose, kita terbiasa mengalami kekalahan, maka kita berusaha menikmati saja proses dan bukan hasilnya,” katanya sambil tertawa.

bambang dan stuart bruce
Suporter sepakbola itu bersaudara. Keajaiban blog, Google, Internet dan keagungan cinta, membawa seorang suporter Glasgow Rangers, Skotlandia, berkunjung ke Wonogiri. Saya dan Stuart bersama kaos tim Glasgow Rangers.

Terima kasih, Stuart. Dalam kunjungan ini Stuart Bruce “membaptis” saya sebagai salah satu bluenoses, sebutan sesama suporter Rangers, asal Wonogiri. Hadiahnya, kaos biru berplisir merah dari yang pernah dikenakan Giovanni van Bronckhorst, keturunan Maluku Selatan dan timnas Belanda sampai Andrei Kanchelskis, pemain sayap Rusia dan mantan MU itu, kini bisa yasa kenakan. Kepada Stuart Bruce, saya berikan buku kliping sejarah Pasoepati dan dokumentasi tur-tur Pasoepati dalam bentuk CD.

“Congrats ! Selamat menjadi fans baru Rangers !,” lagi-lagi sms dari Ade Soediro dan Stuart Bruce dalam perjalanan kereta api Solo-Surabaya. Mungkin Ade dan Stu lupa, rumah saya pun sudah lama menandakan sebagai fans Rangers. Pagar, daun jendela dan daun pintu, semuanya berwarna : biru Rangers. Kedatangan tak terduga dari Stuart dari Glasgow akhirnya itu ibarat sebuah siklus yang sempurna. Karena pada tahun 2007, Broto Happy W., redaktur sepakbola nasional dari Tabloid BOLA, yang adik saya, pernah mengunjungi Ibrox Stadium, markas besar klub Glasgow Rangers.


Teladan Gandhi. Teman-teman baru saya itu kini memang sudah meninggalkan Wonogiri. Tetapi ucapan Stuart Bruce masih membekas. Bahwa proses itu penting, walau hasil juga penting. Perjalanan itu penting, tujuan juga penting.

Menurut hemat saya, insan-insan pemangku kepentingan sepakbola Indonesia harus mau banyak belajar dari pengalaman hidup Stuart Bruce tadi. Menurut hemat saya, kita selama ini semata terobsesi untuk merengkuh hasil tetapi melupakan proses. Bahkan demi merengkuh hasil itu kita tega berbuat menghalakan segala cara, bahkan sampai melakukan tindakan kriminal.

Contoh aktual : aksi mengutak-atik bunyi peraturan FIFA oleh para petinggi PSSI kita, apakah juga perbuatan yang menghalalkan cara, sekaligus sebagai tindak kriminal ? Mungkin ikhtiar semacam ini bisa lolos. Tetapi hasil akhirnya akan dicatat oleh semesta, dan hanya kegagalan yang menyapa pada ujung-ujungnya.

Di tengah carut-marut tindak rekaculika itu, lalu di mana suara para suporter sepakbola Indonesia ? Kalau upaya meluruskan apa yang terjadi dalam tubuh PSSI saat ini dilakukan dengan cara seperti melakukan demo, justru cara seperti ini yang “ditunggu” oleh mereka. Apalagi kalau ada tindak kekerasan. Kita para suporter akan terjebak dalam alunan gendang aksi mereka.

Rekan-rekan suporter, beraksilah dengan metode di luar kotak. Tirulah cara Mahatma Gandhi (1869-1948) dalam menanggapi tindak kekejaman kolonial Inggris saat itu ketika India menjelang kemerdekaannya. Gandhi menyerukan pendukungnya untuk melakukan aksi anti kekerasan. Salah satu aksinya yang terkenal adalah satyagraha, aksi non-koperasi dengan penguasa sipil. Kalau seluruh suporter Indonesia kompak, melupakan dulu konflik semu antarkota, meminggirkan primodialisme, demi masa depan sepakbola Indonesia di tataran terhormat sepakbola dunia, kita mungkin mampu merubah keadaan.

Ketika memperingati sewindu Hari Suporter Nasional, 12 Juli 2008, bersama rekan-rekan suporter Solo, saya merancang melakukan aksi demo berdiam diri di Gladag, Solo. Pesannya adalah, untuk memprotes pengelolaan sepakbola Indonesia saat ini, menurut saya cara yang paling efektif adalah dengan : tidak menonton pertandingan sepakbola Indonesia.


Wonogiri, 24 April 2009

Friday, April 3, 2009

Facebook, Beautiful Girl, Pulomas 1997

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Gadis Pulomas minggu pagi. Awas : berhenti merokok mampu menimbulkan penyakit baru. Penyakit getol membual. Membual karena telah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman kecanduan nikotin, yang bagi saya pribadi sudah berlangsung selama hampir 17 tahun.

Saya mampu berhenti merokok tahun 1989. Pada tahun yang sama, saya mulai melakukan olah raga jalan kaki pagi. Sampai kini. Beberapa orang melakukan jalan kaki pagi sebagai waktu untuk berdoa, bermeditasi atau berpikir. Secara sendirian melakukan jalan kaki akan membantu Anda memperoleh perspektif dan keseimbangan.

Jalan kaki bermanfaat untuk mengurangi stres, menjernihkan pikiran, menggali sisi kreatif Anda, menemukan gagasan-gagasan baru dan memecahkan masalah. Demikian kesimpulan situs AARP (American Association of Retired Persons), organisasi kaum pensiunan Amerika Serikat.

Saat itu, saya tinggal di Jalan Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Komplek yang dulu bernama Gedung Pola itu, di seberang Apotik Rini, kini sudah menjadi ruko.

Arena favorit jalan kaki pagi saya di hari Minggu adalah lapangan Pulomas. Di bangku tribun lapangan pacuan kuda Pulomas itu pula saya mampu merampungkan buku Being Digital (1995)-nya nabi media dari Media Lab MIT, Nicholas Negroponte. Buku teknologi informasi yang mampu membuat saya menangis karena optimisme yang ia semaikan di dada ini mengenai masa depan dunia digital yang gemilang.

Di sekitar area lapangan pacuan kuda itu terdapat dua lapangan yang diisi dua kelompok senam yang berbeda. Ada senam kesegaran jasmani yang dipandu dengan lagu-lagu pop/disko, yang bergairah, sementara kelompok lain melakukan senam pernafasan dengan iringan musik bernuansa Mandarin yang lebih lamban.

Saya tidak ikut keduanya. Saya memilih memutari lapangan, 3-5 kali, berlawanan arah jarum jam. Dengan cara demikian saya bisa “mengabsen” sosok-sosok asing tetapi terasa akrab di area tersebut, familiar strangers, karena kita senantiasa bertemu di minggu pagi.

Ada sekelompok bapak-bapak yang berbahasa Batak. Ada pasangan setengah baya, 2sementara anak gadisnya dibiarkan berjalan sendirian. Ada keluarga muda, berdua berkeliling dengan mendorong kereta bayi. Kelompok pria bersepeda nampak duduk-duduk di pinggir jalan yang memisahkan kedua lapangan. Mereka mengobrol sambil istirahat dan cuci mata. Ada mobil bak terbuka, di dekat mereka, yang jualan susu kedele. Di sisi utara terdapat warung dengan kursi dan meja yang selalu penuh pembeli.

Beautiful girl. Salah satu di antara familiar strangers yang rasanya ingin selalu saya temui di tiap minggu pagi, antara 1996-1997 itu, adalah si grasshopper. Ah, ini hanya nama kode, nama rekaan, untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam. Tentu saja bukan pada kelompok senam pernafasan, yang didominasi kaum sepuh, para manula.

Ia ideal untuk sosok pemain bola volley. Atau model. Tingginya sekitar 168-170 cm. Menjulang dan menonjol. Selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, ada feeling, walau tanpa tahu nama masing-masing.

Beautiful girl, mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama : mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti “gita di waktu malam.” Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997.

Mungkin ia kecewa. Gestur yang ia munculkan, yang menandakan keinginannya untuk bisa saling mengenal di saat itu, tidak saya tanggapi secara agresif. Minggu-minggu berikutnya ia tak muncul lagi. Craig Newmark melabeli momen seperti ini sebagai missed connections dan menjadi salah satu layanan dalam situsnya yang terkenal.

Sejak Januari 1998 saya pun meninggalkan Jakarta, sampai kini. Sehingga sang belalang menawan itu tinggal berenang-renang dalam samudera kenangan. “Swimming forever in my head / tangled in my dreams / swimming forever,” meminjam lirik dari “Radio”-nya The Corrs.


Omongan tolol. Keriuhan setiap minggu pagi di lapangan Pulomas itu boleh jadi mirip yang Anda alami dan rasakan bila Anda terjun sebagai warga situs jaringan sosial seperti Facebook. Sebagian dari mereka yang memang Anda kenal sebagai pribadi, baik mantan kekasih sampai teman kuliah dua puluh tahun lalu, tetapi sebagian besar boleh jadi merupakan orang-orang asing yang akrab atau hanya berlaku sok akrab bagi Anda.

“I want to hate Facebook, but it's getting so hard,” tulis Paul J Rose dari Merchandise Mania di blognya, Januari 2009 yang lalu. Ia bertanya : dapatkah Anda membayangkan dalam suatu pesta di mana semua orang mengenalkan dirinya sebagaimana mereka mengenalkan diri di Facebook ? “Hai, saya Paul dan saya akan mengenalkan diri dengan seseorang yang asing sekarang : maukah Anda menjadi teman saya ?” Menurutnya, cara semacam itu bukan networking. It’s drivel, cetusnya.

Terima kasih, Paul. Menarik juga penilaian Anda. Yang saya tahu, setelah omongan tolol itu memperoleh klik konfirmasi sehingga perkawanan baru terjadi, semua warga keriuhan dalam Facebook itu ingin memperebutkan atensi Anda. Bukankah Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of The Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996) telah menyimpulkan, the hard currency of cyberspace is attention ?

Bila kita memperoleh atensi, kita merasa baik. Semakin banyak atensi yang kita peroleh, semakin kita merasa berharga di depan teman-teman Facebook lainnya. Hal itu mencandu (baca : 10 Tanda Kecanduan Facebook), juga diam-diam bisa menjengkangkan kita terjun bebas menghuni lonely planet, istilah dari Elizabeth M. Johnson, karena hubungan yang terjadi bukanlah hubungan yang autentik. Mudah-mudahan saya bisa menuliskan topik ini secara rinci di lain kali.

Mana untuk saya ? Facebook juga membuat kita menjadi insan-insan pengintip dan penguping. Walau sejatinya, menurut saya, apa yang kita kuping atau yang kita intip dari foto-foto sampai video mereka tersebut sebagian besar seringkali hanya bermakna bagi mereka yang memajangnya.

Dengan demikian, bila setiap kali kita membuka akun Facebook dengan berbekal WIIFM, What’s In It For Me, mungkin kebanyakan kita akan kecewa. Mungkin rentetan kekecewaan semacam itulah yang membuat seseorang teman memposting di wall-nya bahwa ia ada niatan ingin mundur dari jaringan Facebook. Tak ada nilai tambah yang ia peroleh, begitu alasannya. Alasan yang sah. Juga patut dihargai. Walau mungkin ia kurang bersabar. Atau memang terlalu menuntut dalam memperoleh kue-kue pergaulan dunia maya, yaitu atensi tadi.

Dalam kerumunan familiar strangers semacam Facebook memang telah dibuka peluang bagi kita untuk berhimpun dalam kelompok, group, yang memiliki minat tertentu. Layanan yang bagus. Sayang, pengalaman pahit saya, yang terasa menjengkelkan, adalah ketika mendapatkan rentetan message dari pemilik kelompok itu yang isinya tidak sesuai dengan visi-misi sampai jati diri kelompok bersangkutan.

Saya, tentu saja melayangkan protes. Bila protes ini tidak digubris, maka meninggalkan kelompok bersangkutan merupakan pilihan yang mungkin segera saya lakukan. Seperti halnya suasana kerumunan di lapangan Pulomas di minggu pagi, semua orang memang boleh datang dan juga boleh pula pergi.

Facebook adalah media jaringan sosial yang baru bagi saya. Saya bergabung berkat diajak Rdanz Kusuma dari Malang. Tanggal 19 Juli 2008. Teman pertama yang mengkonfirm drivel saya adalah : Petty Tunjung Sari.

Masih banyak hal yang harus saya pelajari dari Facebook. Untuk itu saya telah membuat folder tersendiri dalam file, di mana info yang terbaru antara lain Facebook can ruin your life sampai berita bahwa Birmingham City University di Inggris telah menawarkan gelar master di bidang media sosial. Di sini, para mahasiswa bakal diajar intensif dengan materi kuliah mengenai situs jejaring seperti Facebook, Twitter dan Bebo.

Facebook, dahsyat.

Tetapi kali ini saya tidak ingin muluk-muluk berharap mengenai kedigdayaan Facebook tersebut. Mengutip lirik lagunya Jose Mari Chan, ”Beautiful girl, wherever you are /I knew when I saw you, you had opened the door /I knew that I'd love again after a long, long while/I'd love again,” siapa tahu pesan ini mampu melambung ke kosmis, menyeruak di antara jutaan pengguna Facebook di dunia, sehingga sampai kepada yang berhak menerimanya.

Mungkin ini sebuah kekonyolan. OK. Tetapi itulah satu sisi kehidupan, di mana Carpenters dalam “Those Good Old Dreams” telah bersenandung indah tentangnya :


As a child I was known for make-believing
All alone I created fantasies
As I grew people called it self-deceiving
But my heart helped me hold the memories.


Wonogiri, 3-4/4/2009

Sunday, February 22, 2009

Lelucon Dari Jalanan

Majemuk. Pakar psikologi dari Universitas Harvard, Howard Gardner, memiliki tesis mengenai kecerdasan majemuk pada setiap orang. Kalau selama ini kita mengenal IQ, indeks kecerdasan yang diperoleh dari pengukuran kemampuan orang dalam bidang matematika dan bahasa, Gardner menjajar ada delapan jenis kecerdasan

Selain matematika dan bahasa, juga terdapat kecerdasan personal (memahami diri sendiri), interpersonal (memahami orang lain), kinestesia (olah tubuh), visual-spatial (pemahaman terhadap ruang dan bentuk), musikal, dan natural (memahami alam). Semua kecerdasan itu terdapat dalam diri seseorang, yang berbeda hanyalah kadar masing-masing.

Kaidah dari Howard Gardner itu berkelebat di benak, ketika mengamati pelbagai papan iklan yang bertebaran di pinggir jalan. Saya telah memotretnya, dan siap mendiskusikannya dengan Anda. Saya tunggu komentar Anda.



Promosi cewek. Di sebuah toserba di Wonogiri terdapat salon kecantikan yang nampaknya juga merangkap sebagai agen model disamping kegiatan lain sejenisnya. Silakan simak papan namanya di atas. Yang saya herankan, apa kira-kira yang mereka maksud dengan kegiatan female promotion itu ? Untuk apa mereka dipromosikan ?



Bedil dingin. Foto ini saya ambil di Karanganyar. Mungkinkah pembeli sesudah makan soto kwali atau kare, mereka boleh meminum bedil campur es ? Atau es kelapa muda ?



It’s a long way to go. Pijat kini menjadi kebutuhan banyak orang. Karena tuntutan kerja keras, mengakibatkan kecapekan (kesel dalam bahasa Jawa), membuat orang ingin relaks dan menyegarkan tubuh dengan pijat. Panti pijat pun marak, termasuk yang diiklankan di Sukorejo, Wonogiri di atas. Saya usulkan papan penunjuk arah itu bisa dibuat lebih kreatif : “Pijat untuk menyembuhkan rasa capek. Anda harus berjalan kaki 25 km lagi.”



Kecerdasan visual-spatial. Mungkin pemilik warung ini sedang menjajakan jenis sop kreasi baru. Sop buntet ? Sop buntit ? Sop buntat ? Sop buntot ? Karena belum terlatih dalam hal kecerdasan visual spatial, jadilah muncul kreasi masakan baru ini ?



Lebih bergengsi Warung di depan GOR Wonogiri ini tampilannya sederhana. Tetapi ketika mempromosikan barang dagangannya, tidaklah sederhana. Mereka menjajakan es dengan bahan jeruk, dari Inggris kah ?

Anda punya komentar ? Saya tunggu.

(BH)