Saturday, December 18, 2010

Danar, Jamasan Keris dan Perang Budaya Di Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Bupati Danar Rahmanto kini sibuk.
Melunasi hutang-hutang dan janjinya.
Kegegeran pun terjadi.

Surat kabar berbahasa Inggris The Jakarta Globe (25/11/2010), telah menulis berita terkait keputusan mas bupati baru kita itu.

Bahkan berita ini berhari-hari menjadi topik favorit pembacanya.

"Tunduk kepada tekanan organisasi berbasis Islam konservatif lokal, bupati baru Wonogiri di Jawa Tengah telah mencabut dukungan pemerintahannya sebagai penyedia dana dan hal lainnya bagi penyelenggaraan peristiwa budaya tradisional setempat."

Alasan Danar, ia melakukan hal itu sebagai wujud pelunasan hutang secara moral dan memenuhi kontrak politik yang ia sepakati dengan pelbagai organisasi Islam dan tiga partai politik, yaitu Partai Gerindra, PAN dan juga PPP.

"Saya hanya akan menghapus tiga penyelenggaraan peristiwa budaya dari anggaran pemerintah, tetapi tidak akan melarang warga Wonogiri yang akan menyelenggakannya dengan dana mereka sendiri," tegas Danar Rahmanto.

Tiga peristiwa budaya itu adalah Tradisi Jamasan Pusaka yang rutin diadakan setiap bulan Sura/Muharam di Waduk Gajah Mungkur (WGM). Demikian pula acara tradisi seperti Larung Ageng di Pantai Sembukan dan Sedekah Bumi di Kahyangan, Tirtomoyo.

Jawa lagi bunuh diri. Seorang pembaca bernama "John Kramer" menulis pendapat yang sinis atas keputusan itu.

"Danar dan orang-orang dibelakangnya adalah mereka yang kacau dalam memahami mana yang bagian dari agama dan mana yang bagian dari adat istiadat suatu tradisi. Kami semua mampu melihatnya secara jernih. Mereka itu seharusnya juga mempromosikan Pancasila tetapi tanpa slogan 'Bhinneka Tunggal Ika' sejak sekarang, karena ini akan membingungkan orang dalam melaksanakan perintah 'satu agama sejati' mereka."

Pembaca lainnya "jeprince977" nimbrung berkomentar. Lebih galak. "Inilah tanda-tanda bahwa Indonesia mengalami pelemahan dan pembusukan dari dalam. Dan penyebab utamanya, sebagaimana orang melihat pelbagai bukti yang tersaji, adalah Islam radikal.

Siapa lagi yang mempromosikan kekerasan, pengrusakan, kebencian, dan terutama upaya mereka untuk menghancurkan keindahan khasanah budaya yang ada."

Muncul pendapat menarik, yang berupa kritikan tajam dan pedas kepada orang Jawa sendiri. Adalah "MoGei" yang menulis : "Sungguh menyedihkan melihat banyak dan banyak lagi orang Jawa yang nyingkur, membelakangi akar budaya mereka sendiri.

Secara pribadi saya tidak menyalahkan Islam dalam hal ini. Masalahnya adalah semakin banyak orang Jawa menelantarkan dan menolak identitas budaya mereka sendiri. Tentu saja selalu ada pengaruh dari luar, tetapi sisi internal, mentalitas (kebanggaan diri) akan selalu menentukan ketangguhan bangsa bersangkutan.

Apakah atas nama agama atau globalisasi, melalui cara kekerasan atau cara damai, orang-orang Jawa sekarang ini sedang membunuh warisan budaya mereka sendiri. Dalam pendapat saya, sebagian besar orang Jawa memang tidak memiliki kebanggaan sama sekali terhadap budaya mereka sendiri."

Wonogiri bergolak. Keputusan Danar Rahmanto itu memicu gejolak. Mantan Kepala Dinas Pariwisata (Diparta) Wonogiri, H Mulyadi menilai prosesi jamasan pusaka sudah telanjur dikenal di luar negeri. Karenanya dia menyayangkan penghapusan tradisi budaya jamasan dan ruwatan tiap bulan Muharram atau Sura di Wonogiri.

Seperti dilaporkan oleh koran lokal Solopos, Mulyadi yang juga mantan Sekretaris Daerah itu mengaku kegiatan jamasan dan ruwatan di Waduk Gajah Mungkur (WGM) telah dipromosikan ke lima negara, yakni Australia, Malaysia, Singapura, Thailand dan AS.

"Turis mancanegara tertarik soal budaya dan kegiatan jamasan atau ruwatan pusaka Mangkunegoro I di WGM telah kami usulkan sebagai event internasional," ujarnya.

Diskusi yang sempat membuat "hawa panas" di Wonogiri itu akhirnya memperoleh solusi. Acara itu akhirnya tetap akan dilangsungkan, hari ini. Minggu, 19 Desember 2010.

Tetapi sebagaimana diwartakan oleh situs Radio Komunitas Gunung Gandul, berbeda dengan saat Begug Poernomosidi masih menjabat dengan terjun sendiri untuk memimpin kirab, kini bupati dan jajarannya hanya sebagai penonton di panggung kehormatan. Acara itu diselenggarakan oleh Himpunan Keluarga Mangkunegaran (HKMN).

Citra Wonogiri. Sebagaimana kata presiden AS ke-15 James Buchanan (1791-1868), "I like the noise of democracy" , saya menyukai gaduhnya demokrasi, saya juga tertarik mengikuti kegaduhan dan "perang budaya" di Wonogiri ini.

Berbeda dibanding era Begug yang kemratu-ratu, yang dirinya suka memposisikan diri sebagai raja kecil, antara lain yang oleh para pegawai pemkab sering didaulat dengan sebutan feodal seperti Gusti Kanjeng, nampaknya Danar ingin menghapus citra-citra feodal itu. Seperti dalam spanduk-spanduk kampanyenya, ia ingin mencitrakan diri sebagai bupati yang merakyat.

Danar Rahmanto, sebagaimana tindakan biasa penguasa baru, memang senantiasa berusaha menghapus bayang-bayang pemerintahan sebelumnya. Aksi "de-begug-isasi" itu sedang ia gencarkan mulai saat ini. Termasuk yang segera nampak : mengubah tampilan bangunan di depan halaman kabupaten Wonogiri.

Bagi saya, penghapusan dukungan Pemkab Wonogiri bagi penyelenggaraan peristiwa budaya, dalam satu sisi, merupakan kabar baik. Inilah saatnya, walau mungkin harus tertatih terlebih dahulu, kekuatan sipil yang harus tampil ke depan sebagai motor untuk gerakan yang mereka antepi sendiri.

Lupakan pemerintah. Jangan tergantung melulu kepada pemerintah. Sebab seperti kata David Cameron, PM Inggris saat ini, "pemerintah itu makin lemah dan makin lemah, dan rakyat dengan dukungan teknologi komunikasi dan informasi, akan semakin menguat dan menguat posisinya."

Kirab 1000 Komputer. Teknologi komunikasi dan informasi. Itulah salah satu obsesi yang selalu mengusik saya, ketika bupati lama setiap kali menyelenggarakan acara-acara budaya yang menjadi klangenan dirinya.

Sebagai warga Wonogiri yang ingin ikut urun rembug, saya telah menulis surat pembaca ("itu yang bisa saya lakukan"), terkait bobot kecenderungan dirinya yang berorientasi ke masa lalu dan tabrakan dengan pemikiran pentingnya orientasi warga Wonogiri dalam melangkah menuju masa depan.


Kirab 1000 Komputer
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah,
Kamis, 13 April 2006

Setelah wayang, tahun ini UNESCO menetapkan keris Indonesia sebagai maha karya dunia. Saya tidak tahu apa dengan alasan itu Pemkab Wonogiri (12/2) menyelenggakan ritus jamasan pusaka dan diikuti kirab 1.000 keris. Pelaku kirab adalah siswa SLTP/SLTA Wonogiri yang hanya berbaris pasif, tanpa seni happening, dengan masing-masing membawa sebilah keris.

Kirab itu berkesan hanya sebagai acara tempelan. Jauh dari praksis memberikan penyadaran atau edukasi. Karena sama sekali tidak ditunjang dengan kegiatan ceramah, diskusi, pemutaran film, lomba karya tulis sampai workshop pembuatan keris sebagai karya seni dan warisan budaya.

Intinya, merupakan kegiatan edukatif menjauhkan generasi muda Wonogiri dari pemikiran gugon tuhon seputar keris yang kental berselimutkan aura mistis, misterius, yang disebarluaskan dari mulut ke mulut atau sinetron. Ingat kasus penipuan menyangkut jual-beli keris yang dianggap sakti dan bertuah yang menimpa seorang cerdik pandai asal Semarang.

Alangkah idealnya bila selain kirab 1.000 keris juga disertai kirab 1.000 buku favorit pelajar, sampai kirab 1000 komputer di Wonogiri. Generasi muda Wonogiri harus pula diajak untuk berorientasi ke masa depan.

Kalau kirab keris hanya sebagai tempelan acara ritus jamasan pusaka yang disukai generasi-generasi tua, apalagi kental bernuansa aura mistis, generasi muda Wonogiri tidak memperoleh manfaat apa-apa.

Terutama lagi bila dikaitkan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di Wonogiri. Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tanggal 7 Desember 2004 telah menyajikan data pahit : dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ternyata Wonogiri termasuk sebagai daerah tertinggal.

Ngelus-elus dan menjamas keris saja jelas tidak menyumbang perubahan apa-apa !

Bambang Haryanto
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri 57612


Anda sebagai Warga Wonogiri, bagaimana pendapat Anda ?
Setelah gebrakan seperti ini, apa saja harapan Anda terhadap Mas Bupati kita itu terkait program untuk meningkatkan SDM Warga Wonogiri, yang selalu ia katakan ingin meningkatkan martabat warga Wonogiri ?


Wonogiri, 19 Desember 2010

Wonogiri, BBC London dan Buku Lelucon

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Selamat hari Rabu.
Semoga Anda sehat-sehat selalu.
Apa aktivitas khas Anda di hari Rabu ?

Kalau saya, hari Rabu adalah hari wajib untuk mengikuti kursus komedi. Mentornya, John Cantu. Dan itu berlangsung di Perpustakaan Umum Wonogiri.

Jadi, setiap hari Rabu saya mewajibkan diri untuk mengunjungi gedung yang terletak di Donoarjo, kompleks GOR tersebut. Pergi dan pulang, cukup dengan jalan kaki.

Pelajaran John Cantu itu saya akses lewat Internet, satu dari lima komputer yang tersedia di perpustakaan yang dipimpin Pak Marmo, dengan pustakawati mBak Dewi Werdiningsih itu.

Pengunjung lain yang rada tetap, adalah Pak Budi Prasetyo, pensiunan guru. Juga Mas Muhammad Yulianto, aktivis LSM hukum Wonogiri dan pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Kartasura.

Dulu Pak Mufid, guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri, juga sering ketemu. Dengan alasan penglihatan yang beliau sebut menurun, ia mengurangi aktivitas kunjungan.

Aktivitas ikut kursus lelucon via Internet ini sudah saya lakukan sejak tahun 2008. Tetapi tetap saja, aktivitas mengkreasi humor, lelucon, lawakan, merupakan petualangan yang selalu saja tidak mudah. Hard fun.

Walau pun demikian, syukurlah ada juga encouragement. Dorongan moral. Seorang Effendi Gazali, telah berbaik hati menulis :

"Bambang Haryanto, selain sama, ternyata ia juga berbeda dengan saya.Dia ini orangnya serius di panggung belakang maupun di panggung depan. Ketika ia belum juga dikenal relatif luas sebagai komedian cerdas, hingga hari ini, pastilah karena dia relatif too serious untuk front stage.

Tapi kalau untuk "humor kuliner", dia jago analisis serta jago masaknya! Indonesia perlu puluhan orang seperti Bambang Haryanto, baru kemudian ada kemajuan di negeri ini. Di sanalah nantinya dunia humor kita akan lebih kaya, pluralis, dan makin cerdas!"

Thanks boss EG. Dorongan dia itu ikut mewarnai buku saya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania, 2010). Oh ya, kursus komedi saya itu lewat Internet. Tertarik ? Silakan klik : disini.

Mawar London. Kabar lain dari Wonogiri, semalam (14/12/2010) saya mendapat telepon kejutan. Dari London.

"Oh, London," desis saya.

Saya pernah memperoleh hadiah dua buku, berupa peta kota penyelenggara Olimpiade 2012 ini. Dari warga London. Di bagian tenggara kota ini, di kawasan Bromley, di tahun 2006,dirinya pernah berbaik hati menanam tujuh pohon mawar.

Empat di halaman depan rumah.
Tiga di halaman belakang.

Penanamnya bilang, bila saatnya tiba, saya diminta untuk memberikan nama bagi empat tanaman mawar itu, yang suatu saat akan ikut menyambut saya di halamannya.

Telepon itu bukan dari si penanam pohon mawar tersebut.
Ia dan pohon mawar itu telah menjadi sejarah.

Telepon kejutan itu dari Endang Nurdin, penyiar Radio BBC Siaran Indonesia. Kalau dalam tradisi kaum epistoholik, kaum pemabuk penulis surat-surat pembaca, telepon mBak Endang Nurdin itu identik dengan pemberitahuan, kabar baik : "Surat pembaca Anda (akan) dimuat, besok hari Kamis."

Sekadar cerita : di Radio BBC itu ada acara Forum/Ungkapan Pendapat. Seperti kolom surat pembaca di koran, tetapi setiap minggunya ada tema-tema tertentu. Minggu ini tentang naik daunnya timnas Indonesia di Piala AFF 2010, yang hari Kamis (16/12) nanti akan menghadapi Filipina di semi final leg pertama.

Untuk ikut meng-kuncoro-kan nama Wonogiri, saya ikut mengisi, hari Minggu lalu. Rupanya isu yang saya tuliskan, lolos, dan semalam itu mBak Endang meminta saya untuk menyuarakannya. Hari Kamis 16 Desember 2010, 18.15, akan ia siarkan.

Pernahkah Anda mengalami momen seperti itu, mendapat kontak dari pengelola media massa, ketika menulis surat-surat pembaca ? Saya tidak pernah.

Isu tersebut kebetulan ikut pula muncul ketika cerita tentang komunitas Epistoholik Indonesia terpajang ceritanya di harian Solopos Minggu, 5 Desember 2010, yang lalu. Satu halaman. Silakan klik :

  • Gairah Epistoholik Indonesia
  • Bermula dari hal sederhana
  • Bermimpi jadi anak emas kembali
  • Ingin kopi darat


  • Memang tidak eksplisit, yaitu ketika saya mengatakan bahwa kaum epistoholik merupakan anak tiri dari media massa.

    Sudahlah.

    Saya sekarang tidak begitu menjadikan masalah akan status seperti itu. Toh lanskap media kini tidak sama seperti dulu. Tetapi menurut saya, orang-orang atau awak media massa utama itu ["kecuali Mas Bambang Tri Subeno, warga Donoarjo, yang kini wartawan Suara Merdeka"], rupanya banyak yang belum ngeh bila konstelasi galaksi media itu sudah berubah, bahkan posisinya sudah balik jungkir.

    Ringkasnya : karena sudah ada email atau SMS, mengapa tidak sehari atau dua hari sebelum surat pembaca atau artikel itu dimuat, sang penulisnya sudah diberi tahu tentang kabar gembira itu ?

    Kalau mereka bertanya : apa pentingnya ?
    Jawaban saya : untuk kebaikan dan masa depan medianya sendiri, silakan baca bukunya Seth Godin, Unleashing The IdeaVirus (2001).

    Kalau Anda dan mereka belum pernah membacanya, semoga Anda bisa merasakan dan menyimaki apa yang saya lakukan setelah saya memperoleh telepon dari Radio BBC Siaran Indonesia semalam itu.

    Semoga Anda ingat, BBC bukan media kelas teri.
    Bukan berstatus cekeremes. Ini media raksasa dan berpengaruh.

    Mungkin semua reputasi itu ia peroleh, antara lain, karena BBC sangat memperhatikan separo dari jiwanya sendiri, yaitu para audien-nya. Bahkan bersedia menelponnya secara langsung, seperti yang saya alami untuk ketiga kalinya ini.

    Selamat hari Rabu, sahabat.
    Semoga Anda meraih sukses sepanjang hari indah ini.
    Salam episto ergo sum !


    Bambang Haryanto

    PS : Untuk komunitas humor Indonesia, saya baru saja mengusulkan agar tanggal 30 Desember (2010) didaulat sebagai Hari Humor Nasional. Bila senggang, silakan ceritanya bisa Anda klik : disini.

    Diskusi para pemangku kepentingan dunia humor Indonesia terkait usulan Wong Wonogiiri ini, berlangsung riuh-rendah : disini.

    Kalau ada waktu, bacalah gossip baru, sekaligus berita palsu (fake news) bila pendukung fanatik Wikileaks setelah menyerang Paypal, MasterCard dan Amazon, kini segera menyerang humor Indonesia. Kasak-kusuknya ada : disini.

    Matur nuwun.


    Wonogiri, 19 Desember 2010

    Tuesday, November 16, 2010

    Barack Obama Aslinya Wong Wonogiri

    Oleh : Bambang Haryanto
    Email : wonogirinews (at) yahoo.com


    Barack Obama itu sebenarnya asli wong Wonogiri.
    Cek saja Wikipedia.

    Tetapi sebelum rumah saya di Kajen terancam dikrutuki batu oleh orang Kenya, orang Hawaii dan pendukung fanatik Obama dari Amerika Serikat, saya harus memberikan alasan dulu atas klaim saya di atas.

    Coba ingat, apa saja nama makanan Indonesia yang disebut khusus oleh Obama. Baik waktu di perjamuan makan malam di Istana Negara. Atau pun saat tampil di kampusnya Mas Mujtahid, di Balairung Kampus Universitas Indonesia, Depok.

    Nasi goreng.
    Sate.
    Bakso.
    Emping.
    Krupuk.

    Di Wikipedia, dari lima makanan tersebut ada dua yang disebut menonjol sebagai makanan khas Wonogiri. Bakso dan emping. Bahkan untuk bakso, lema itu berbunyi : "Makanan khas lain adalah bakso dan mie ayam Wonogiri yang memiliki citarasa khas. Makanya di Jakarta banyak sekali tukang bakso atau mie ayam dari Wonogiri, namun sayang kalau membeli di Jakarta rasanya jauh tidak enak."

    Jadi, pidato Obama itu sebenarnya menunjukkan perasaan kerinduan atau keinginan dirinya untuk bernostalgia tentang Wonogiri. Mungkin saja, itu menunjukkan betapa dirinya adalah benar-benar asli wong Wonogiri.

    Untuk klaim terakhir ini, kita bisa menyimak lelucon dari komedian politik AS terkenal, David Letterman. Agar saya tidak dikira sedang berbohong, merekayasa,inilah kutipan aslinya : "President Obama went to India, South Korea, then Japan. He's going to keep traveling until he finds his birth certificate."

    Kalau Anda sempat mengikuti perjalanan karir Obama, banyak warga AS yang meragukan Obama sebagai warga asli AS. Menurut mereka, akta kelahiran Obama itu meragukan. Malah muncul kelompok bernama birther yang secara terang-terangan menyuarakan hal itu. Bahkan seperti dalam foto di bawah ini, keraguan itu dipajang sebagai baliho di jalan-jalan raya.

    Ada yang menduga Obama itu asli kelahiran Kenya, tanah kelahiran bapaknya.

    Yang lain bersikeras bahwa Obama itu " a citizen of Indonesia, or that because he had dual citizenship at birth (British and American), he is not a natural born citizen of the United States, which is a requirement to be President of the United States under Article Two of the United States Constitution."

    Media sosial. Barangkali David Letterman sengaja tidak menyebutkan nama Indonesia. Karena ia tahu :-), sertifikat kelahiran Obama yang asli itu masih tersimpan di Wonogiri. Walau di kelurahan mana, masih rahasia.

    Kalau saja David Letterman menyebut Indonesia, tentu Obama akan mungkin memaksakan datang ke Wonogiri. Sambil makan bakso, sebagai seorang blogger yang serius, saya yakin dirinya akan mau membisiki bupati Wonogiri yang baru agar benar-benar serius, seperti dirinya, benar-benar memanfaatkan media-media sosial secara masif dan efektif dalam memutar roda pemerintahannya.

    Misalnya, contoh mudah, meniru Obama yang tiap minggu wajib berpidato dan mengunggah video pidatonya di Youtube. Sebelumnya, George W. Bush meluncurkan pidatonya dengan fasilitas podcast.

    Semoga saya keliru, Bupati Wonogiri yang baru, Danar Rahmanto, malah nampaknya belum pernah berpidato secara resmi untuk memaparkan visi dan misinya dalam memimpin Wonogiri di masa depan. Ketika dilantik, 1 November 2010, yang banyak berpidato justru gubernur Pak Bibit. Halo Mas Bupati, ayo segera beri kami rakyat Wonogiri informasi dan arahan, bagaimana Wonogiri yang Anda cita-citakan lima tahun mendatang ?

    Ayolah, tak ada jeleknya untuk kebaikan, meniru yang baik dari tradisi di AS itu. Begitu dilantik pada tanggal 20 Januari 2009, Obama langsung menceritakan visi-misinya di hadapan rakyat Amerika Serikat.

    Yang paling menonjol saat itu adalah dicanangkannya oleh Obama tentang era baru, era bertanggung jawab yang baru, di mana setiap warga Amerika Serikat memiliki tugas untuk diri mereka sendiri, untuk bangsanya, dan juga untuk dunia.

    Kangen bakso. Obama kini sudah kembali ke Gedung Putih. Kunjungan singkatnya di Indonesia itu semoga mampu menginspirasi para sedulur Wonogiri yang jualan bakso di Jakarta. Pertama, siapa tahu, mungkin bisa ditelusur secara gethok tular, tentang kemungkinan ada bakul bakso asal Wonogiri yang pernah melayani Obama kecil di Menteng Dalam saat dirinya bersekolah SD di Jakarta tahun 1967-1970-an itu.

    Kedua, siapa tahu pula, muncul inspirasi jenius lainnya : bakso Wonogiri segera membuka pasar baru di Washington. Juga kota-kota besar lainnya di dunia.

    Ini bukan ide asli saya. Tetapi menuruti advis ekonom Hendri Saparini, saat di televisi mengomentari isi pidato Obama di UI, kampus saya jua, yang memunculkan wacana mengekspansikan nama-nama makanan asli Indonesia yang disebut oleh Obama sebagai "enak ya" tadi ke seluruh dunia.

    Alangkah menariknya, bila nanti angkring bakso asli Wonogiri bisa sliwar-sliwer, wira-wiri, di Pennsylvania Avenue, jalan di depan Gedung Putih. Siapa tahu di balik pagar akan selalu muncul teriakan panggilan : "Bakso !" Itulah suara presiden AS Barack Obama yang kangen sama bakso asli Wonogiri, dari Indonesia.

    Seribu kali lebih hebat. Obama telah pergi. Tetapi gaya pidatonya dan isinya masih akan lama untuk bisa kita kenang. Saya kecipratan manfaatnya.

    Sekadar cerita, kebetulan saya diundang untuk menjadi nara sumber dalam pertemuan mahasiswa se-Indonesia yang diadakan oleh Stube-HEMAT, 6-7 November 2010 di Yogyakarta. Saya diminta membawakan lima makalah. Ada tentang revolusi media, media sosial dan epistoholik, kiat menulis surat lamaran/resume, merancang yel-yel a la suporter sepakbola dan juga kiat-kiat dalam merancang pidato yang hebat.

    Gara-gara Merapi meletus, acara itu ditunda. Ada berkah terselubung, ketika Obama datang dan berpidato hebat. Saking hebatnya, Lasma Siregar, teman Internet saya di Melbourne Australia kirim email menarik. Ia cerita tentang Greg Sheridan, editor luar negeri surat kabar "The Australia," yang telah menulis di edisi Kamis 11 November 2010 tentang pidato Obama di Jakarta :

    "This speech was a thousand times better than Obama's first big effort with the Muslim world, in Cairo in June last year. In Indonesia, he could credibly talk about democracy and human right, about pluralism and open civil society. These were not things Obama could say in Cairo or to the Arab world more generally".

    Teman saya menimpali : "(Pidato) Obama di Jakarta 1000 kali lebih hebat daripada di Cairo ! (Karena) Indonesia punya demokrasi, HAM, reformasi dan kebebasan bersuara, sementara dunia Arab masih sibuk membicarakannya!"

    Ethos, pathos dan logos. Kalau saja pertemuan dengan mahasiswa se-Indonesia di Yogyakarta tadi bisa benar terjadi, untuk menyampaikan makalah saya akan tinggal memutar video pidatonya Obama di UI tadi. Lalu bersama-sama membedahnya. Saya ingin meniliknya seperti isi surat pembaca yang saya kirim ke koran Kompas Jawa Tengah kemarin (15/11/2010) :


    Dibalik Pidato Obama

    Pidato Presiden Amerika Serikat Barack Obama (10/11/2010) memang memesona. Mungkin karena ia merasa nyaman ketika "pulang kampung," membuat pidatonya terasa menyambung dengan apa yang dipikirkan dan apa yang menjadi problema bangsa Indonesia saat ini.

    Dalam ilmu berpidato Obama mempraktekkan formula ampuh, yang dikenal dengan pendekatan ethos (kredibilitas), pathos (empati) dan logos (logika). Kredibilitasnya, tentu tak diragukan lagi. Lalu dengan menyebut "Indonesia bagian dari diri saya," "sate," "bakso," "Bhinneka Tunggal Ika" sampai "Pancasila," Obama berhasil menunjukkan empati, dalam merangkul audiennya.

    Setelah sukses dengan dua jurus itu, barulah ia memasukkan logika, antara lain membicarakan pelbagai isu tentang masa depan hubungan AS-Indonesia yang membutuhkan sumbangan dan peran masing-masing warganya.

    Berkaca pada gaya berpidato tokoh-tokoh kita, bahkan juga pidato rutin di tempat-tempat peribadatan, yang sering lebih menonjol menomorsatukan logos. Audien dianggap sebagai botol kosong yang hanya bisa menerima jejalan pemikiran dari sang orator.

    Pidato seperti itu jelas membosankan, membuat audien mengantuk, pesannya pun tidak pula masuk ke kalbu. Dampak sampingnya sering malah lucu, di mana sang orator menjadi tersinggung, lalu marah-marah.

    Gaya pidato semacam ini nampaknya mencerminkan gaya kepemimpinan kuno dari pemimpin-pemimpin kita selama ini, yang merasa dirinya paling penting, paling pintar dan paling berkuasa, sementara rakyat yang harus melayani kepentingan-kepentingan mereka pula !

    Bambang Haryanto
    Warga Epistoholik Indonesia
    Wonogiri 57612


    Moga-moga bisa dimuat.

    Lalu bisa menginspirasi bupati Wonogiri yang baru, untuk segera berpidato. Menyapa rakyatnya. Mengajaknya. Nguwongke warganya di mana pun berada.

    Alangkah hebatnya bila dirinya mampu mengikuti keteladanan luhur dari pemimpin demokrasi asal Birma, Aung San Suu Kyi. Lihatlah, begitu bebas dari penjara rumahnya selama belasan tahun, yang pertama dia sampaikan adalah adalah pernyataan : "Saya akan mendengar apa kata rakyat dahulu, sebelum memutuskan langkah kita ke masa depan."


    Wonogiri, 16 November 2010

    tmw

    Sunday, October 10, 2010

    Jalan Kaki : Gadis Cantik, Politik, Epistoholik

    Oleh : Bambang Haryanto
    Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


    Semua nabi adalah pengembara.
    Pejalan kaki.

    Boleh jadi itulah yang mengilhami penyair Inggris William Cowper (1731-1800) menulis puisinya yang berjudul "Walking with God" (1779). Tetapi orang masa kini dapat melucukan tabiat para nabi itu, dengan pendapat : "Wajar-wajar sajalah mereka itu. Saat itu kan belum ada mobil ?"

    Anda boleh tidak tertawa.

    Juga boleh tidak terbahak ketika mendengar seorang komediene Ellen DeGeneres (foto) yang pernah melucukan neneknya yang hobi jalan kaki. Inilah katanya : "My grandmother started walking five miles a day when she was 60. She's 97 now, and we don't know where the hell she is."

    Jalan kaki. Saya hampir melakukan semua perjalanan keluyuran di kota Wonogiri, kota saya ini, dengan jalan kaki. Termasuk, ya itulah, saat olah raga jalan kaki pagi. Juga saat ke perpustakaan, ke pasar, ke warnet, sampai main ke kafenya teman di Pokoh.

    Secara hitung-hitungan kasar, aktivitas jalan kaki (pagi) itu saya mulai tahun 1989. Saat itu saya tinggal di Rawamangun, Jakarta Timur. Dimulai ketika saya bisa berhenti dari kebiasaan merokok. Barangkali itu salah satu prestasi terbaik dalam hidup saya. Kemudian hampir tiap pagi, dari Jl. Balai Pustaka Timur saya bisa jalan, kadang berlari, mampu mencapai stadion Pacuan Kuda Pulomas, atau sampai ujung Jl. Jatinegara Kaum.

    Sedang bila di Bogor, mengelilingi Kebun Raya Bogor di pagi hari, dipayungi kanopi dedaunan pohon-pohon raksasa, merupakan pengalaman yang selalu menakjubkan. Di Wonogiri, kalau ke utara sampai Wonokarto. Ke timur, sampai SMP Negeri 2 Wonogiri. Bila ke arah selatan, sampai tepian Waduk Gajah Mungkur.

    Tak jarang membawa buku, menyempatkan membaca-baca di tepian waduk sekitar 20-30 menit dengan dibelai udara pagi. Adegan ini :-) pernah diabadikan dalam film The Power of Dreams Documentary 2002, ditayangkan di TransTV, 29 Juli 2002.

    Jalan kaki pagi bermanfaat untuk melemaskan sendi-sendi tubuh. Membentuk postur yang ideal. Menguatkan massa tulang sehingga terhindar dari ancaman pengeroposan. Membakar lemak sehingga tubuh tetap langsing. Menstabilkan tekanan darah.

    Majalah Reader's Digest pernah pula menulis bahwa jalan kaki pagi mampu membuat pelakunya berpikir secara lebih jernih, menetralisir stres, sehingga juga mampu membuat pelakunya awet muda.

    Di kota saya, Wonogiri, aktivitas jalan kaki hura-hura berhadiah selalu ramai dibanjiri ribuan peserta. Frekuensi acara semacam agak meningkat akhir-akhir ini ketika menjelang berlangsungnya Pemilukada 2010 di Wonogiri. Harap maklum, acara itu dijadikan sebagai wahana berkampanye sebagian kandidat yang bertarung merebut kursi bupati. Entah kenapa, walau dengan label gerakan "Aku Cinta Wonogiri," kandidat pasangan Sumaryoto-Begug Poernomosidi yang gencar mengadakan acara jalan kaki hura-hura berhadiah itu akhirnya yang justru kalah.

    Begitulah adanya, di luar acara hura-hura semacam itu, saya jarang menemui individu atau kelompok yang secara rutin melakukan olah raga jalan kaki pagi. Bahkan kemarin (10/10/2010) ketika di Jakarta sampai Yogya berlangsung pencanangan (?) sebagai Hari Jalan Kaki Sedunia (World Walking Day) di Wonogiri tak ada kegiatan serupa.

    Tak apalah. Syukurlah saya masih bisa memergoki kelompok ibu-ibu dan juga putrinya ("yang ramah, yang murah senyum") yang pemilik toko bangunan Metro Jaya, Kerdukepik, Wonogiri, saat jalan kaki pagi. Titik rendez-vous kami adalah di jalan samping RSUD dr. Soediran Mangunsumarso ("ini nama almarhum dokter keluarga, favorit ibu saya di tahun 1960-an").

    Mantan guru bahasa Inggris saya saat di SMPN 1 Wonogiri, Pak Mufid Martohadmodjo dan kawan-kawan, juga saya pergoki berolah raga jalan kaki pagi. Bapak A.K. Djaelani, pimpinan Permadani (kursus pembawa acara berbahasa Jawa), juga kadang saya temui ketika beliau hendak membeli koran pagi. Bah Jomo, juga demikian. Sementara itu kelompok bersepeda yang aktif adalah Pak Sarono (Kedungringin) dan kawan-kawan.

    Kampanye saya tentang manfaat jalan kaki ini pernah dimuat di kolom surat pembaca harian Suara Merdeka, Senin, 24 Desember 2007. Antara lain saya tuliskan, bahwa sebagai seorang epistoholik, alias pencandu penulisan surat-surat pembaca, olah raga jalan kaki pagi memberi manfaat besar bagi diri saya pribadi.

    Seperti dikatakan Raymond Inman, bila Anda mencari ide-ide kreatif, lakukan olahraga jalan kaki. Karena, menurutnya, para malaikat akan senang berbisik kepada seseorang yang berjalan kaki.

    Saya selalu membawa bloknot dan bolpoin kemana pun pergi. Sehingga ketika bisikan malaikat itu terdengar, segera saja saya tulis di bloknot ide-ide yang bermunculan itu. Embrio beberapa topik tulisan telah mulai saya semaikan.

    Saya selalu berjalan kaki pagi sendirian. Moga-moga seperti itulah gambaran ritus yang ideal untuk jalan kaki, seperti yang digurat oleh William Cowper dalam puisinya berjudul "Walking with God" tadi.

    Tetapi mungkinkah saya malah menyalahi apa yang seperti ditulis oleh penyair Inggris lainnya, Alexander Pope (1688-1744) : "And men must walk at least before they dance ?"



    Wonogiri, 11 Oktober 2010

    Saturday, September 18, 2010

    The Fallen Kings dan Era Baru Wonogiri ?

    Oleh : Bambang Haryanto
    Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


    Bulan puasa usai.
    Hari Lebaran pun baru saja lewat.

    Selasa, 14 September 2010.
    Saya kembali bisa jalan kaki pagi.

    Dengan rute istimewa : menuju rumah sakit Margo Husodo. Saya sih masih sehat-sehat. Pagi itu saya mau bezoek dik Ayu, istri adik saya Broto Happy W., yang sudah hari ketiga dirawat di rumah sakit di kawasan Wonokarto ini. Ia menderita dehidrasi, karena diare dan gangguan pencernaan. Mungkinkah ini tipikal gangguan kesehatan pasca-Ramadhan ?

    Pagi itu dik Ayu, syukurlah, sudah nampak sehat. Ia ditemani Gladys, putrinya. Saya lalu mengobrol dengan Happy di lobi, sambil membaca-baca Tabloid BOLA, surat kabar Solopos dan Jawapos. Sebelumnya saya mendapat SMS dari Mayor Haristanto, berisi kabar duka : Pemimpin Redaksi Solopos, YA Sunyoto, meninggal dunia di Solo dan hari itu akan dikebumikan di kampung halamannya, di Rembang.

    "Saya mengenal dia beberapa tahun lalu, saat Mas Nyoto menjadi wartawan harian Bisnis Indonesia di Jakarta dan meliput tim Arseto ke Solo," kata Happy. Saya mengenal almarhum yang suka humor dan perokok berat itu, ketika saya masih aktif di Pasoepati. Tahun 2000-2002. Baru-baru saja ini, ketika mengirim artikel ke Solopos juga terkadang saya tembuskan pengantarnya melalui message ke akun Facebooknya Mas Nyoto itu pula. Mungkin karena sibuk, ia belum pernah membalasnya.

    "Selamat jalan, Mas Nyoto."

    Pagi itu pula saya kirim SMS ikut berduka cita ke Mas Popon, wartawan Harian Jogja dan Mas Triyanto Hery Suryono, wartawan Solopos yang bertugas di Wonogiri. Keduanya, tentu mengenal Mas Nyoto sebagai bos dan kawan seprofesi.

    Money politics. Membuka harian Solopos terdapat berita tentang konvoi sepeda motor seribuan anggota Satgas Anti Money Politics (SAMP) di Wonogiri. Ini lembaga atau ormas bentukan baru, bermarkas di Ngadirojo, hadir untuk menyikapi penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Wonogiri, yang pencoblosannya jatuh pada hari Kamis, 16 September 2010.

    Di koran Solopos itu, pimpinan satgas tersebut, Rio Hana, juga mengaku mendapatkan laporan dugaan money politics di daerah Kajen, Giripurwo, Wonogiri. "Laporan hanya SMS dan tidak jelas siapa pengirimnya. Mestinya, laporan disertai bukti dan waktu kejadian," katanya pula.

    Happy tertawa membaca berita itu. Saya juga.
    Karena Kajen adalah kampung tempat kami tinggal.

    Penyakit egosentris. Berita lain tentang Wonogiri adalah acara Andum Ketupat di komplek wisata Waduk Gajah Mungkur (13/9). Ketupat-ketupat itu dibagikan oleh bupati Wonogiri dan jajaran Muspida Wonogiri kepada pengunjung. Secara khusus, dalam berita itu disebut pula nama lengkap dari bupati Wonogiri yang dalam Pemilukada 2010 itu maju lagi sebagai calon wakil bupati, mendampingi Sumaryoto.

    Nama lengkap dia yang terpajang adalah : Kanjeng Pangeran Ario Adipati Candrakusuma Sura Agul-Agul Begug Poernomosidi. Ia juga memiliki banyak nama lainnya, termasuk ketika mendalang, atau saat memimpin kelompok kesenian reog.

    Nama "Sura Agul-Agul" itu juga terpasang di pelbagai baliho besar yang melintang di tengah jalan kota Wonogiri. Di Wonokarto. Saya senyum-senyum membacanya. Menurut saya tagline itu terlalu egosentris, narsis, mementingkan diri sendiri. Karena apa sih yang dijanjikan oleh semboyan bersangkutan bagi warga Wonogiri ?

    Sikap narsis merupakan jebakan yang seringkali sulit dideteksi atau dirasakan oleh si penderitanya sendiri. Terlebih lagi bagi penguasa. Karena semakin berkuasa seseorang, apalagi tiadanya kontrol dan kritik, akan semakin membuat dirinya merasa sebagai pusat dunia. Wonogiri yang masih kental berbalut budaya Jawa, yang kental menjaga harmoni, menghindari konflik yang diametral, dan kuatnya sikap wegah rame itu, justru merupakan ladang subur bagi hadirnya penguasa-penguasa yang egosentris dan manipulatif.

    Apakah Begug Poernomosidi yang mampu terpilih selama dua periode itu juga mengidap narsistis pula ? Rakyat Wonogiri yang akan memberi jawaban di pemilukada nanti.

    Sayang, baliho dengan slogan "Sura Agul-Agul" di Wonokarto itu saya tidak sempat memotretnya. Saya kehilangan dokumen visual bersejarah, karena pada hari itu pula papan peraga kampanye mulai dibersihkan. Saya hanya tergerak memotret baliho kampanye Sumaryoto-Begug Poernomosidi di Kerdukepik (foto) yang lagi dalam proses diturunkan oleh petugas.

    pemilukada wonogiri 2010,sumaryoto,begug poernomisidi,danar rahmanto,bambang haryanto,wonogiriSepi di dunia maya. Nampak poster besar pasangan Sumaryoto-Begug Poernomosidi di Kerdukepik sedang diturunkan. Kampanye pemilukada di Wonogiri belum nampak menggarap media-media maya. Sumaryoto memiliki blog di Kompasiana dan Danar Rahmanto memiliki blog dan akun Facebook, tetapi digarap seadanya.Walau demikian, komunikasi warga Wonogiri secara gethok tular seputar kondite dan ulah kontroversi dari pasangan peserta pemilukada ternyata diam-diam masih ampuh berfungsi, sehingga hasil pemilukada Wonogiri ini bisa disebut mengejutkan.

    Sibuk jualan citra. Papan peraga kampanye milik pasangan nomor satu ini, yang didukung oleh Koalisi Merah Putih, yaitu PDIP-PKS, memang nampak paling dominan. Strategi pencitraan mereka juga jauh lebih masif.

    Misalnya Sumaryoto telah meluncurkan kampanye "Aku Cinta Wonogiri" dan berkali-kali mengadakan acara jalan kaki santai yang bertabur hadiah. Radio Gajahmungkur, miliknya, sepertinya nampak dikorbankan value-nya sebagai media. Karena terlalu bertabur dengan pesan-pesan kampanye dirinya yang kadang membuat pendengar mudah menjadi jenuh.

    Sumaryoto juga secara "tiba-tiba" menjadi khatib sholat Jumat di Masjid Agung At-Taqwa, yang memicu kontroversi. Tetapi hebatnya, oleh koran Jawapos kontroversi itu justru diekspos yang dapat ditafsirkan sebagai "memperlebar" dan "memperkuat" kampanye pencitraan oleh anggota DPR-RI kelahiran Nguntoronadi ini. Menjelang hari pencoblosan, koran yang sama nampak juga mem-blow-up gerakan "Aku Cinta Wonogiri" yang ia gagas itu.

    Beragam jurus kampanye pasangan Sumaryoto-Begug itu seolah membuat pemilukada Wonogiri sudah berakhir ketika mereka mencalonkan diri. Piece of cake. Atau, suwe mijet wohe ranti. Kemenangan akan mudah mereka raih.

    Tetapi teman ngobrol saya, Bambang Susilo, yang mantan chef hotel internasional di Hanoi, Vietnam, punya pendapat lain. "Begug adalah kartu mati untuk koalisi yang mencalonkannya," begitu prediksinya.

    Saya tidak begitu mempercayainya. Karena culture of fear, budaya ketakutan, yang (mungkin secara tidak sengaja ?) meruyak selama politisi kawakan itu berkuasa, menurut saya, akan hanya membuat warga Wonogiri seperti kerbau dicocok hidung. Untuk aman mereka cenderung untuk patuh, takjim, kemudian mengikuti apa saja yang dikatakan oleh sang penguasa itu.

    Saya keliru. Hari Kamis, 16 September 2010. Rombongan Happy, dik Ayu, Gladys, dengan mobil yang disopiri Mas Yudi asal Ngadirojo, malam itu mengabarkan dirinya sudah sampai di Tegal. Keluarga ini menuju rumah mereka, di Bogor.

    Ia menyatakan ikut bergembira mendengar berita bahwa pasangan nomor empat, Danar Rahmanto (foto) -Yuli Handoko, sudah jauh unggul dibanding tiga pasangan lainnya.

    Kamis sore itu, memakai laptop Compaq milik keponakan saya, Yudhistira Laksmana Satria, yang murid klas 7A, SMP Negeri 1 Wonogiri, kami segera mengakses Internet dengan fasilitas hotspot di rumah. Membuka Suara Merdeka CyberNews, tersaji berita yang berjudul Pasangan Nomor Empat Makin Jauh Memimpin.

    Berita itu lebih lanjut mengabarkan bahwa hasil sementara perolehan suara pukul sampai 16.30 WIB, masih unggul di posisi pertama pasangan nomor empat H Danar Rahmanto yang berpasangan dengan Yuli Handoko dengan perolehan suara sementara 92.798 atau 40,49%. Di posisi kedua pasangan nomor urut satu Sumaryoto dan Begug Poernomosidi dengan perolehan suara 65.547 atau 28,53%.

    Di posisi selanjutnya pasangan nomor urut dua, yakni Sutadi-Paryanti dengan mengumpulkan 39.943 suara atau 17,38%. Pada posisi akhir pasangan nomor urut tiga Mulyadi-Eddy Purwanto dengan mengumpulkan suara 31.446 suara. Total suara yang sudah dihitung berjumlah 229.734 suara atau sudah mencapai 38,99%.

    Kemudian terjadi komunikasi SMS bolak-balik saya dengan Nano Maryono, tangan kanan dan kerabat Danar Rahmanto di PO Timbul Jaya. Juga dengan istrinya, Nuning, yang adik saya. Inti kabarnya sama : "Mas Danar, menang !"

    Wah, guyonan Mas Danar dulu rupanya kesampaian. Pada tanggal 7 Juli 2010, ketika diadakan pengundian nomor urut peserta pemilukada di KPUD Kabupaten Wonogiri, saya ikut menonton. Sebagai blogger, saya juga memotret sana-sini.

    Saat itu alumnus SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta diberondong pertanyaan wartawan terkait nomor empat yang menjadi nomor urutnya. "Nomor itu nomor bagus," kata Danar Rahmanto. "Angka empat kalau dibalik kan menjadi kursi ? Saya yakin akan menang dan mendudukinya."

    Rakyat Wonogiri telah ikut berjasa membalik angka empat itu. "Kemenangan saya adalah kemenangan rakyat Wonogiri pula," katanya dalam menyikapi perolehan suara yang mengungguli tiga pasangan lainnya.

    Era baru Wonogiri. Sore itu saya kemudian mengirim SMS ke sobat saya, Bambang Susilo yang pemilik kafe Ngaso Angkringan di Pokoh, bahwa saya mengaku salah. Sementara dirinya yang benar. Prediksi saya bahwa Sumaryoto-Begug yang akan jadi pemenang, ternyata dimentahkan oleh ratusan ribu warga Wonogiri.

    Warga Kota Gaplek ini secara sadar dan menurut saya cerdas, ternyata lebih memilih untuk menolak peluang keduanya sebagai pemimpin dan penguasa di kabupaten tercintanya ini. Kegagalan keduanya, boleh jadi, dapat diibaratkan sebagai kejatuhan sang raja. Jatuh secara keras dan menyakitkan. Semoga keduanya, juga pasangan lain yang kalah, menerima suara rakyat itu dengan kearifan dan bersikap kenegarawanan.

    Saya segera mendapatkan buktinya. Saya sempat berkirim SMS ke calon bupati pasangan nomor dua, H. Sutadi. "Dengan hormat. Walau Pak Tadi belum menang & akan kembali bertugas di Banten, saya sebagai Warga Wonogiri masih berharap Bapak akan terus berkomitmen memajukan Wonogiri. Salam." Saya kemudian memperoleh balasan : "Iya saya akan selalu komit tumpah darahku." (Jumat, 17/9/2010 ; 18.04.26).

    Dengan terpilihnya pasangan Danar Rahmanto-Yuli Handoko sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Wonogiri 2010-2015, apakah otomatis menjanjikan kemajuan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan, bagi warga Wonogiri ?

    Melalui Facebook saya telah mengirimkan pesan ke akun Facebook Mas Danar sebagai berikut :

    "Dengan hormat. Saya dan keluarga di Kajen, mengucapkan selamat bekerja dan berprestasi untuk Mas Danar Rahmanto, juga pasangan wakil bupati terpilih Yuli Handoko.

    Semoga panjenengan berdua mampu membawa kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi Warga Wonogiri di masa-masa mendatang !"


    Wonogiri, 19 September 2010

    tmw

    Sunday, June 20, 2010

    Kabar dari Kajen : Ora Nonton Piala Dunia, Ora Pateken !

    Oleh : Bambang Haryanto
    Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


    Galilah sumur sebelum haus.
    Sukses masa lalu pegangan jelek sukses masa depan.
    Kedua nasehat mulia itu saya abaikan.

    Dampaknya, hari-hari ini saya terkena hukumannya : sebagai penggemar sepakbola tetapi tidak bisa menonton helat akbar Piala Dunia 2010 Afrika Selatan itu pula.

    Nasehat pertama itu merupakan pepatah Cina. Terkait Piala Dunia 2010, jauh-jauh hari saya tidak menggali sumur itu terlebih dahulu. Saya abai terhadap realitas bahwa akses siaran televisi dari kota saya, Wonogiri, memiliki kendala yang kronis. Masuk area blank spot. Karena topografi Wonogiri kota yang terkepung gunung, membuat akses siaran itu mengalami kendala berat.

    Selama ini, entah mengapa, pemerintah daerah tak hirau akan hal itu. Mereka nampak tidak ada prakarsa untuk misalnya, mendesak fihak televisi swasta agar membangun pemancar penguat di gunung-gunung sekitar pusat Kota Gaplek ini. Kemungkinan lain, karena rakyat sudah dianggap mampu menemukan solusinya sendiri : dengan memakai jasa operator televisi kabel lokal.

    Operator televisi kabel ini oleh bos media raksasa Rupert Murdoch disebut sebagai splendid entrepreneur. Lima tahun lalu saya telah menulis surat pembaca, tentang hal itu seperti di bawah ini :


    Murdoch vs SCTV dan TV7
    Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
    Jumat, 23 Desember 2005

    Berita majalah Gatra (8/10/2005) mengenai kiprah raja media Rupert Murdoch memiliki sebagian saham televisi swasta AnTV, mengingatkan kiat bisnisnya yang unik. Seperti diceritakan oleh majalah Business Week (6/3/1995) saat siaran televisi satelitnya Star TV dicuri oleh penduduk di India dan dijual kembali melalui jaringan kabel, Murdoch justru membiarkan hal itu.

    Para pencuri siarannya tersebut justru ia sebut sebagai wiraswastawan yang cerdas, splendid entrepreneur. Karena dengan semakin meluasnya jangkauan siaran bagi Star TV membuka peluang Murdoch untuk menaikkan biaya pemasangan iklan di stasiunnya tersebut.

    Kiat cerdas Murdoch itu di dalam negeri justru disingkiri oleh stasiun televisi SCTV dan TV 7 yang masing-masing memiliki hak eksklusif dalam menyiarkan Piala Dunia Sepakbola 2006 dan Liga Inggris. Seperti di daerah saya, yang topografinya terkepung pegunungan membuat sebagian besar siaran televisi nasional sulit masuk. Termasuk SCTV dan TV 7.

    Kami sedikit berlega hati ketika muncul wiraswastawan cerdas yang membisniskan siaran satelit seperti yang disebut Rupert Murdoch. Dengan biaya ringan, tiap rumah tangga kini dapat lebih jelas menonton televisi lewat jaringan kabel. Tetapi untuk acara sepakbola pada kedua stasiun tersebut telah dilakukan pengacakan, yang membuat kami tidak bisa menonton Liga Inggris dan terancam besar kemungkinan tidak bisa nonton Piala Dunia 2006 nanti.

    Bisakah kedua stasiun televisi tersebut segera membangun stasiun penguat sehingga membuka akses warga kota kami untuk bisa nonton siaran sepakbola yang mereka pancarkan ?


    Bambang Haryanto
    Warga Epistoholik Indonesia


    Syukurlah, siaran Piala Dunia 2006 Jerman di Wonogiri saat itu bisa terakses melalui jasa operator televisi kabel lokal. Dari awal sampai saat Italia berjaya sebagai juara. Tetapi sukses di masa lalu itu, ternyata kemungkinan tidak terulang pada Piala Dunia 2010 Afrika Selatan kali ini. Gelagatnya sudah tercium sejak hari pertama Piala Dunia 2010 digulirkan.

    Lanjutnya silakan klik : Gagal nonton Piala Dunia 2010

    Matur nuwun.

    Sunday, February 28, 2010

    Facebook, Trik Humas Kabupaten Wonogiri dan Anda

    Oleh : Bambang Haryanto
    Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


    Mobil dan megafon.

    Itulah peralatan yang menonjol dan terlihat dari kiprah bagian hubungan masyarakat (humas) Kabupaten Wonogiri. Setiap ada hal-hal tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat, mobil dengan petugas humas bersenjatakan megafon itu segera berkeliling kampung.

    Saya lupa nama petugasnya yang berhalo-halo itu, walau saya pernah ia boncengkan dengan motor model lamanya dari kantor humas sampai Perpustakaan Wonogiri. Setiap kali beliau berhalo-halo, mudah memancing komentar-komentar jahil. Terutama merujuk kepada laju mobilnya, sehingga pendengar pengumuman itu berpotensi hanya memperoleh informasi yang terpotong-potong.

    Misalnya, penjelasan tentang apa dan siapa, boleh jadi terdengar jelas di RT 1. Lalu hari dan tanggal penyelenggaraan, hanya jelas terdengar di RT 2. Sementara informasi mengenai tempat dan jam penyelenggaraan, tak lagi terdengar bagi penduduk RT 1 dan RT 2, dan hanya difahami oleh penduduk RT 3. Sementara penduduk RT 4 hanya memperoleh seruan untuk datang berbondong-bondong, tanpa tahu untuk apa perintah bersangkutan.

    Gangguan atau noise dalam berkomunikasi itu semakin diperparah karena modus seruan tersebut masih bercokol pada paradigma pegawai negeri sebagai pangreh praja. Sebagai penguasa. Maka halo-halo itu cenderung sebagai perintah kepada rakyat. Top-down.

    Sebagai contoh yang mutakhir, materi halo-halo itu adalah mengajak warga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Ajakan itu disampaikan karena sebentar lagi Wonogiri konon segera didatangi tim dari propinsi untuk menilai kelayakan Wonogiri dalam kontes memenangkan Piala Adipura. Rakyat hanya menjadi obyek peserta. Atau bahkan obyek penderita.

    Idealnya, ajakan itu disampaikan dalam semangat bottom-up, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Sehingga krida kebersihan dan ikhtiar mereka dalam menjaga lingkungan itu dimaknai sebagai kepentingan warga itu sendiri. Bila ide ini berhasil, maka masalah menguber anugerah itu otomatis terpadu di dalamnya.

    Gue, gue, gue ! Petugas humas kabupaten saya itu, dalam istilah dunia strategi berburu pekerjaan, condong menerapkan trik yang disebut WIFM, singkatan dari What's In It For Me. Trik ini jelas-jelas berorientasi kepada kepentingan dirinya sendiri sebagai sebuah sekrup mesin birokrasi.

    Ketika kampanye pemilihan umum apa pun, dan juga dalam pilkada, saat jalan kaki pagi di Wonogiri saya menemukan sebagian besar pesan dalam baliho kampanye mereka hampir semua kandidat mengambil posisi WIFM itu. Orang Jakarta akan bilang : gue, gue, gue. Pilih saya, coblos saya, menangkan saya !

    Padahal idealnya, seharusnya ia mengejawantahkan pendekatan WIFT, singkatan dari What's In It For Them. Intinya, semua kebijakan, seruan dan ajakan itu pertama kali harus dijelaskan sebagai bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat dimotivasi, agar tergugah. Lalu mereka dapat tergerak mengeluarkan prakarsa, energi dalam bentuk partisipasi sampai ditemukannya solusi-solusi yang inovatif. Bila mampu berjalan, segi positifnya toh juga bakal mengimbas kepada pemerintahan.

    Tendangan buat pembuat problem. Perbedaan tajam antara WIFM dan WIFT itu juga dapat disimak dari postingan status di Facebook kita-kita ini. Silakan Anda menghitung sendiri perbedaan persentasi dari kedua titik pandang tersebut. Boleh jadi Anda bisa mulai menghitung dari diri sendiri ?

    Dalam ranah strategi berburu pekerjaan dan juga dalam bisnis, mereka yang sadar atau tidak sadar menggunakan pendekatan WIFM itu akan terancam disingkirkan dalam babak awal memperebutkan peluang. Sebab perusahaan akan mempertimbangkan mereka yang mampu memberikan solusi. Sementara mereka yang datang hanya hendak menyodorkan problemnya sendiri, jelas berpeluang kena tendang sejak dini !


    Wonogiri, 28/2/2010

    tmw

    Tuesday, January 12, 2010

    Mengenang Gus Dur Dari Wonogiri

    Oleh : Bambang Haryanto
    Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


    Soeharto benar-benar gondok. Marah besar sama Gus Dur.

    Karena menurutnya Gus Dur telah berbicara kepada wartawan asing, Adam Schwarz, yang menyatakan bahwa anak petani kelahiran Kemusuk, Godean, dan pernah tinggal di kota kelahiran ayah saya, Wuryantoro, serta bersekolahnya di kota saya Wonogiri, lalu menjadi diktator paling lama memerintah itu, disebut sebagai goblog.

    Ungkitan cerita perseteruan dua mantan presiden kita itu saya baca dari artikel Siswono Yudo Husodo, berjudul “Gus Dur dan Pak Harto,” di Suara Merdeka, 4/1/2010 : 6. Saya membacanya di Perpustakaan Umum Wonogiri, 6/1/2010.

    Menurut cerita Pak Siswono, suatu peristiwa Gus Dur titip pesan kepada beliau agar diteruskan kepada Pak Harto. Isinya, bahwa kyai petinggi NU ini ingin menghadap. Tetapi Pak Harto tak berkenan saat itu. Alasannya ?

    Jenderal besar yang tinggal di jalan Cendana itu lalu merujuk kepada isi bukunya Adam Schwarz, A Nation In Waiting : Indonesia In The 1900s (1994).

    Menurut paparan Pak Siswono, dalam buku karya wartawan majalah Far Eastern Economic Review yang berbasis di Hongkong itu tertulis kalimat, “That is the stupidity of Soeharto that he did not follow my advice.” Itulah kebodohan Soeharto yang tidak mengikuti nasehat saya.

    Ketika kalimat ini dikonfirmasikan kepada Gus Dur, santri humoris ini berusaha menjelaskan bahwa sang pengarang bersangkutan salah kutip. Karena menurut Gus Dur, yang ia katakan selayaknya berbunyi : “That is my stupidity that I do not advice Soeharto.” Itulah kebodohan saya bahwa saya tidak memberi saran kepada Suharto.

    Pak Siswono lalu mengutip kata Gus Dur saat itu, bahwa “Tentu saya mengerti kalau Pak Harto tersinggung berat atas kesalahan penulisan itu.”

    Kedua mantan presiden kita itu telah berpulang.

    Militan vs moderat. Tergerak isi artikel Pak Siswono itu, yang menulis judul bukunya Adam Schwarz itu dengan Nation In Waiting (tanpa “A”), saya mencoba membolak-balik buku hadiah dari Mas Bambang Setiawan, wong Wonogiri yang tinggal di Jakarta, yang ia berikan kepada saya 8 Januari 2006 itu.

    Boleh jadi karena kegoblogan diri saya, saya hanya menemukan lema “stupid” yang relevan pada halaman 188. Lema itu termuat dalam konteks terjadinya perbenturan antara muslim militan yang disebut oleh Gus Dur diwakili oleh organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) versus muslim moderat termasuk dirinya.

    Menurut Gus Dur, proses demokratisasi harus dimulai dengan penguatan nilai-nilai demokrasi pada tingkat akar rumput, di mana nilai-nilai ini telah diperlemah selama tiga puluh tahun oleh hukum dari penguasa yang otoriter. Apa yang kita butuhkan, demikian keyakinan Gus Dur, adalah pendekatan demokratisasi bottom-up, bawah-atas, yang isinya diperdebatkan secara terbuka.

    Bila nilai-nilai demokrasi itu hadir, ia percaya, perubahan politik secara gradual pun akan terjadi seiring terserapnya pandangan terhadap demokrasi yang meluas dan difahami. Pendekatan top-down, atas-bawah, melalui sesuatu kelompok tertentu dengan melimpahinya legitimasi dan pengaruh, sebagaimana Gus Dur melihat apa yang dilakukan Soeharto dengan menganakemaskan keberadaan ICMI, menurutnya hal itu justru berlawanan dengan asas-asas demokrasi yang sejati.

    “Bagi Soeharto, ICMI merupakan bulan madu yang pendek. Ia berfikir bahwa dirinya mampu mengontrol (kaum modernis di ICMI) bila mereka bertindak terlalu jauh. Saya kuatir strategi ini akan gagal…Muslim moderat akan menang apabila sistemnya bebas tetapi problemnya Soeharto justru membantu muslim militan…Kita butuh waktu untuk mengembangkan toleransi beragama yang penuh berdasarkan kebebasan berkeyakinan. Sebaliknya Soeharto justru memberikan peluang kepada sekelompok muslim, terutama kelompok militan yang menganut faham bahwa Islam merupakan solusi untuk seluruh problem dalam modernisasi.”

    Demikian tutur Gus Dur dalam wawancara 29 April 1992 dan 9 Juli 1992.

    Adam Schwarz lalu meneruskan, bahwa dalam wawancaranya dengan Gus Dur di bulan Maret 1992 ia sempat menanyakan mengapa pandangannya itu tidak akan digubris oleh Soeharto.

    “Ada dua hal,” sahut Gus Dur.

    Lanjutannya akan saya kutip dalam bahasa aslinya buku ini seperti tertera di halaman 188 : “Stupidity, and because Soeharto doesn’t want to see anyone he doesn’t control grow strong.”

    Kini keduanya sedang ramai menjadi wacana yang ramai di masyarakat saat diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional.


    Wonogiri, 13 Januari 2010


    tmw