Friday, May 25, 2007

Desperately Seeking “TV Bal-Balan” In Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id




Sea of tranquility. Andrew Weil, M.D. ibarat sosok seorang “nabi” dalam kancah pengobatan alternatif. Ia lulusan fakultas kedokteran Universitas Harvard. Dalam wawancara dengan majalah Housekeeping beberapa waktu lalu, di mana saya lupa mencatat nomor edisinya, tetapi saya fotokopi dari Perpustakaan LIA Jakarta Timur, 14 Januari 1998, ia mengajukan hal yang menarik dan kontroversial.

Sambil merujuk isi buku Weil terbaru yang laris, berjudul 8 Weeks to Optimum Health, Bonnie Rubin, si pewawancara, mengutarakan bahwa Andrew Weil menganjurkan agar orang “puasa berita,” yaitu absen dari membaca media cetak, tidak mendengarkan radio dan absen nonton televisi, sebagai cara memperoleh ketenangan yang lebih optimal. Tetapi bukankah terlibat secara aktif dengan keadaan yang terjadi di dunia merupakan nilai plus ?

“Saya tidak menuntut agar orang menjadi buta informasi, tetapi kita harus melakukan pilihan terhadap asupan berita-berita itu,” jawabnya. “Mendengarkan berita dapat menjadi sumber agitasi atau gejolak mental yang tidak kita sadari. Terutama dengan membanjirnya cerita-cerita duka nestapa yang memicu perasaan marah, tidak berdaya dan keberingasan, di mana semua itu menjadi latar belakang kegaduhan bagi hidup kita, baik ketika kita sedang makan atau menyopir, sementara kita tidak memperhatikan dampak semua itu bagi kondisi mental kita.”

Bayangkan, bila tiap hari mental kita “dihajar” dengan asupan-asupan informasi semacam itu. Merasa rada ngeri membayangkan hajaran-hajaran itu, kiranya dalam sebulan-dua bulan ini saya harus bersyukur karena telah secara tidak sengaja menjadi pengikut ajaran dokter karismatis yang berewokan ini.

Saya absen dari aktivitas menonton televisi.

Bukan untuk sok kontemplatif atau sedang melakukan ritus nenepi, tetapi ketenangan itu kiranya datang karena saya tidak dapat akses menonton televisi. Gara-gara Basnendar HPS, adik saya, menempati rumahnya di Mojosongo, Solo (atau Boyolali ?), pesawat televisi miliknya ikut ia bawa. Pesawat TV ini hadiah ketika karya logonya ikut dalam final lomba logo yang diadakan oleh pabrikan alat-alat elektronik Samsung. Ketika salah satu produk raksasa elektronik asal Korea Selatan ini pindah dari Kajen ke Mojosongo, jadilah saya puasa dalam mengonsumsi tayangan televisi.

Terpaan dari luar itu bersifat netral. Hal tersebut jadi menyakitkan atau tidak, semuanya tergantung kepada kita dalam memberikan reaksi. Itu ajaran Covey. Untunglah, saya tidak mengalami sindrom penarikan, seperti halnya yang diderita oleh perokok berat ketika dirinya harus berhenti merokok. Sepertinya tidak menonton televisi, ternyata juga tidak apa-apa. Bahkan sebelumnya, ketika tidak membaca-baca koran secara rutin, tiap hari, juga sepertinya tidak apa-apa pula bagi saya.

Saya memutuskan untuk “puasa baca koran” terjadi sekitar tahun 2004. Kebetulan di komputer saya terpasang peranti lunak dari PDA Casio (“PDAnya hilang di Singapura, 16-17 Januari 2005”) yang merincikan neraca keuangan sederhana. Dari data itu segera muncul gambaran betapa “semakin lama saya semakin sedikit membelajakan uang untuk beli koran, tetapi biaya akses Internet semakin naik saja kuantitasnya.” Mudah-mudahan kabar dan kondisi saya ini ini tidak terdengar oleh para penerbit koran ya ?


Buta sepakbola. Puasa nonton televisi juga membuahkan konsekuensi. Hal terberat bagi saya adalah hilangnya tontonan pertandingan langsung sepakbola. Apalagi, seperti kata nabi media digital dari MIT, Nicholas Negroponte, hal itulah kelebihan utama televisi. Menurutnya, televisi paling cocok sebagai saluran untuk menyiarkan informasi secara synchronous, seperti pertandingan olahraga atau berita secara langsung dan momen penghitungan suara.

Informasi jenis lainnya dapat dikemas secara asynchronous, seperti halnya karakter email atau sms, yang dapat diakses oleh pengguna dengan menentukan sendiri waktunya. Jadi tayangan seperti Seputar Indonesia atau Liputan 6 tidak harus kita tonton bareng-bareng pada jam tertentu.

Pendekatan model di atas telah diterapkan oleh Gannet, kelompok media terbesar di AS. Kini informasi mereka sampaikan, “menuruti apa yang dimaui oleh konsumennya.” Jadi tidak semua berita berbentuk cetak (yang lamban) dan tidak semua harus dalam bentuk teks yang membosankan. Bisa berbentuk grafis, suara, multimedia, atau hanya pesan singkat. Informasinya mengalir terus selama 24 jam tiap harinya.

Kembali ke masalah “puasa” nonton tayangan sepakbola. Sepakbola dalam negeri, Liga Inggris, Liga Italia sampai Liga Spanyol, sudahlah, saya bisa melupakannya. Tetapi tidak untuk Liga Champions. Ketika tim favorit saya, FC Hollywood alias Bayern Muenchen bertanding melawan AC Milan, dini hari saya memutuskan untuk keluar rumah.

Tetapi mau menonton di mana ? Dulu di terminal angkot Wonogiri ada televisi umum. Demikian juga di pos keamanan pabrik jamu Air Mancur yang hanya 100 m dari rumah. Menonton televisi di luar rumah seperti itu mengingatkan hal yang sama di tahun 1970, ketika saya bersekolah di Yogya. Saya yang tinggal di Dagen harus jalan sekitar 1 km menuju Alun-Alun Utara. Ke markas mahasiswa Arief Rahman Hakim. Iklan yang saya ingat saat itu adalah kacamata night and day IOM. Terkait komunitas mahasiswa, pada Piala Dunia 1990 saya juga nonton bersama mahasiswa. Saat itu RCTI masih menggunakan dekoder. Nontonnya di Asrama Mahasiswa Universitas Indonesia, Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur.

Dini hari itu saya memutuskan untuk lewat di depan pabrik jamu Air Mancur. Ternyata pesawat tv di pos satpam itu mati. Saya tanyakan kepada satpam Air Mancur mengapa tidak menonton sepakbola. “Hanya bisa untuk nyetel MetroTV, mas,” jawabnya.

Lupakan Roy McKaay.
Lupakan Bayern Muenchen.
Lupakan AC Milan.
Lupakanlah sepakbola.

Saya pulang. Dan di tengah jalan kepergok dengan Pak Haji Sukijo. Rupanya beliau yang tinggalnya di dekat SMA Muhammadiyah 1 Kajen sudah berangkat ke masjid pada dini hari itu. Beliau memang menjadi pengurus Masjid Taqwa, Wonogiri.

“Assalamualaikum, Pak Haji,” sapaku. Beliau menyahut, tetapi kita terus saja berjalan menuju arah berlawanan. Sokurlah. Terus terang, selama ini saya agak “jeri” untuk ketemu dan ngobrol sama beliau. Karena pada sekitar bulan Maret 1998, di masjid Taqwa Wonogiri, beliau pernah menginterogasi saya. Topiknya : kapan kawin ?

“Sesudah Pak Harto lengser nanti,” begitulah jawaban saya secara sembarangan. Begitulah, beberapa minggu atau bulan sesudah Pak Harto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, saya bertemu Haji Sukijo lagi. Tentu saja beliau masih ingat “kredo” saya dan kini beliau menagihnya. Saya hanya bisa menjadi salah tingkah.

Terakhir, ketika ikut mengantar Basnendar dan calon istrinya Evy melakukan upacara ijab qobul di Masjid Taqwa, Jumat, 8 Oktober 2004, “penagihan” yang sama kembali berulang. Enam tahun “janji palsuku” telah berlalu, ternyata beliau masih tetap mengingatnya. Bahkan beliau berniat hendak menjodohkan saya dengan putri seseorang guru yang terhormat, yang rumahnya besar di Sanggrahan, sekitar lingkungan SMA Negeri 1 Wonogiri.


Dikira Sepakbola, Ternyata Film KB. Final Liga Champions 2007 tibalah juga, Kamis, 24 Mei 2007, dini hari. Hari Rabu sore saya mendengar ada mobil keliling dengan pengeras suara, mewartakan sesuatu. Yang saya tangkap hanyalah, “nanti malam saksikanlah di lapangan depan rumah dinas Bupati Wonogiri.”

Malam hari, sekitar jam 19.15, saya menuju lapangan tersebut. Waktu kecil, inilah lapangan tempat saya bermain sepakbola. Atau menunggang kerbau dari Jagalan (“mirip logo penerbit buku Kompas”) yang digembala Mulyadi, temanku sekelas saat SD. Fans penunggang kerbau di sore hari itu antara lain saya, Sukatno (teman sekampung) dan Joko Waluyono yang saat itu tinggal di rumah dinas Bupati Wonogiri.

Joko ini, yang kini tinggal (“kalau belum pindah”) di daerah Kebalen, Jl. Suryo, Kebayoran Baru Jakarta, masih famili dengan Eyang Laksmintorukmi, selir PB XI, yang menjadi istri Bupati Brotopranoto. Eyang Laks adalah guru tarinya Guruh Soekarnoputra. Tahun 1973-1977 saya ikut kost di rumah Eyang Laks ini di Tamtaman, Baluwarti. Saya kadang menjadi “apoteker” bagi beliau : menerjemahkan cara pemakaian obat atau vitamin milik Eyang Laks yang dikirimkan kerabat, yang berbahasa Inggris.

Pernah kami bertiga bersamaan menunggang kerbau. Saya, Sukatno dan Joko Waluyono. Tiba-tiba kerbau itu melangkah ke dataran yang lebih tinggi. Semua penumpangnya segera melorot ke belakang dan akhirnya kami berjatuhan, berdebum ke tanah.

Malam itu, di tanah lapang depan rumah dinas Bupati Wonogiri itu sudah berdiri layar dan ada mobil unit pemutaran film. Saya sudah menicil gembira : nanti malam saya bisa menonton final Liga Champions. Tetapi ketika bertanya dengan salah satu awak mobil unit, harapan saya menguap. Mereka ternyata hanya memutar film saja. Pertunjukan layar tancap itu disajikan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Bhayangkara.


Ketemu chef Melia Hotel Hanoi. Saya lalu harus menonton sepakbola di mana ? Saya memutuskan pergi ke Pokoh. Di sana sejak November 2006 telah berdiri kafe unik, bangunannya terbuat dari bambu, dengan beragam sajian makanan unik pula. Ada makanan bergaya hik, makanan Wonogiri tempo dulu seperti sego tiwul sampai sego abang, juga makanan a la Barat seperti steak atau pun makanan Jepang seperti tempura dan terayaki.

Kafe itu, letaknya di sebelah barat lampu bangjo Pasar Pokoh, di bawah rerimbunan pepohonan, bernama Ngaso Angkringan. Ketika menanyakan apakah dini hari nanti televisinya akan menayangkan sepakbola, saya lalu diajak ngobrol oleh pemiliknya. Namanya : Susilo (50) tahun. Warga asli Pokoh, Wonoboyo. Ia alumnus SMA Negeri 1 Wonogiri.

Mas Susilo lalu bercerita mengenai konsep kafenya tersebut. Ia bercita-cita mengangkat kembali makanan-makanan unik khas Wonogiri masa lalu. Lengkap dengan asesori masa lalu pula. Saat itu saya disuguhi teh, tidak dalam gelas, tetapi dengan cangkir kaleng model jimbeng. Mengingatkan suguhan warung adiknya nenek saya, mBah Marto Bangin (ayah Lik Bawarto, kini Camat Giriwoyo), yang juga jualan teh dengan cangkir kaleng model yang sama, di Pasar Wonogiri.

Di warung wedang inilah ibu saya, ketika itu membantu mBah Marto Bangin ini, akhirnya bisa berkenalan dengan ayah saya. Kakak pertama ibu saya, Suripti, kemudian menjadi istri teman ayah saya pula. Sebagai bahan guyon keluarga, warung wedang ini akhirnya sering kami sebut sebagai MBA’s (Mbah BAngin’s) Café. Atau Army’s Café, karena ayah dan pakde saya berprofesi sebagai tentara.

Kembali ke kafe Ngaso Angkringan. Mendengar obrolan Mas Susilo saat itu, saya segera mengetahui bahwa dia banyak mereguk pengalaman bekerja di hotel. “Sebagai chef ?,” sergah saya. Ternyata saya tidak salah. Ia pernah melanglang sampai Amerika Serikat hingga Brunei. Salah satu cerita yang menarik adalah ketika ia bekerja di Hotel Melia Hanoi, Vietnam, saat melayani rombongan presiden Megawati menginap tahun 2003 di ibukota negaranya Paman Ho itu. “Ah, Hanoi,” pikiran saya ikut menerawang. “Nama ini mengingatkan saya fotonya Anez almarhumah saat kecil, saat ia mengikuti ayahnya bertugas sebagai diplomat di kota itu, di tahun 1965.”


Foto Mas Susilo bersama Ibu Mega tersebut kini menjadi dekorasi utama dinding kafenya sekaligus sebagai credential untuk menunjukkan kredibilitas bisnisnya. “Ah, orang Wonogiri satu ini pantas untuk dikisahkan cita-cita dan impian hidupnya,” kata hati saya. Sebab, secara tersirat dan walau sambil lalu, ia sepertinya agak mengeluhkan betapa masih kuatnya budaya ingin menjadi pegawai negeri di kalangan generasinya, dan cita-cita yang sama sepertinya juga belum tergerus secara signifikan untuk generasi anak muda Wonogiri masa kini.

Saya belum tahu mengapa ia berhenti dari karirnya sebagai chef hotel internasional. Tetapi yang pasti, keberaniannya berwirausaha, membuka kafe di Wonogiri dengan konsep unik dan cukup inovatif, di mana ia menjelaskan bahwa “saya sendiri yang menentukan dekorasi sampai makanannya,” sudah merupakan nilai plus tersendiri. Wonogiri, saya pikir, butuh lebih banyak pionir dan orang-orang “tidak normal” seperti dia. Kata hati saya, dengan sebisa saya, saya ingin ikut menerkenalkan kafenya tersebut melalui media blog-blog saya di Internet.

Jam sudah menunjuk pukul 21.30, saya minta pamit sama Mas Susilo. Saya berjanji, dini hari nanti akan kembali ke kafenya lagi. Sokurlah saya bisa tidur sejenak. Begitulah, akhirnya di kafe Ngaso Angkringan ini saya bisa menonton final Liga Champions 2007. Saya menjagoi Liverpool dan harus kecewa karena Steven Gerrard tidak beruntung di babak pertama.

Lalu muncul rasa cemas, ketika muncul adegan the armed robbery oleh si oportunis, Filippo Inzaghi, yang menjebol gawang Liverpool di menit 45+ itu. Istilah the armed robbery secara harafiah berarti sebagai “perampokan bersenjata,” tetapi dalam konteks gol Inzaghi banyak pers Inggris menilai ia handsball dulu karena bola tendangan Andrea Pirlo mengenai lengan Inzaghi, arah bola jadi berbelok dan mengecoh kiper Reina.

Untuk mengurangi cemas dan kecewa saya mengirim SMS ke Niz, yang saat itu ada di Lhoong Aceh. Ia tak membalas. Ia tidur dan memang tak suka sepakbola. Saya juga kirim SMS ke Mustikaningsih, warga Epistoholik Indonesia (EI) di Mojosongo, yang sama-sama sedih karena menjagoi timnya Rafael Benitez itu. Sebaliknya, ketinggalan 1 gol itu membuahkan kegembiraan bagi FX Triyas Hadiprihantoro, guru SMA St. Joseph Solo dan juga warga EI. Juga Purnomo Iman Santoso, warga EI dari Semarang.

Rasa kecewa juga datang dari Aji Wibowo, Banjarnegara. Ia alumnus FISIP UGM di mana ketika menulis skripsinya sempat berdiskusi denganku, persis dua tahun lalu (2005) saat Liverpool menumbangkan AC Milan dengan keajaiban, ketinggalan 0-3, 3-3, dan lalu menang dalam drama adu penalti.

Keajaiban 2005 tidak hadir lagi di tahun 2007 ini. Warga EI dari Jombang, E. Musyadad, bahkan mengaku dremimil mengirimkan wiridan agar Liverpool terhindar dari kekalahan. Ketika terjadi gol kedua oleh Inzaghi lagi, hal itu semakin meremukkan hati Musyadad. Juga hati kami. Peter Crouch masuk, harapan pun sempat muncul. Sayang, ketika Dick Kuyt mampu membobol gawang Dida, waktu pun sudah tidak lagi berfihak kepada tim asal tepian sungai Merseyside ini.

Saya kemudian pamit kepada Mas Susilo. Operasi atau ikhtiar mati-matian saya mencari televisi yang menyiarkan sepakbola atau bal-balan di Wonogiri, berakhir sudah. Dan seperti nasehat Andrew Weil, pada hari-hari mendatang saya bisa kembali dengan lega meneruskan laku “puasa” dalam hal menonton televisi.

“Apabila Anda dapat memilihkan tiga perubahan bagi warga Amerika Serikat dalam mengubah gaya hidup sehingga sistem kesehatan jiwa raga mereka selalu dalam kondisi puncak, apa saja yang harus mereka kerjakan ? ,” demikian pertanyaan terakhir Bonnie Rubin dari majalah Good Housekeeping kepada Andrew Weil.

“Lebih banyak berjalan kaki, memperhatikan pola bernafas (Weil menyarankan cara terbalik, yaitu menghembuskan nafas dulu, baru kemudian menariknya) dan makan lebih banyak buah serta sayuran. Ketiga hal tersebut mampu dilakukan oleh setiap orang,” tutup Andrew Weil.

Dini hari itu saya langsung mempraktekkan ajaran pertama Weil di atas. Dari kafe Ngaso Angkringan di Pokoh ke Kajen saya pulang dengan jalan kaki. Sebagai the morning walker, kali ini jalan kaki pagi saya sungguh-sungguh merupakan ritus yang benar-benar terlalu pagi. Itulah harga yang harus dibayar agar saya bisa menonton sepakbola di layar televisi, di kota kecil Wonogiri ini.

Mission accomplished !


Wonogiri 24-28 Mei 2007


tmw

Tuesday, May 8, 2007

Komputer Rusak, Gethuk Lindri dan Slogan Kosong Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id




Stres Berat. “Mengapa rusaknya komputer mampu mengakibatkan stres 10 kali lebih berat dibanding stres akibat hal-hal lain ?” Itulah salah satu topik menggelitik yang muncul ketika saya meriset di Google. Apakah Anda pernah mengalami stres yang sama ?

Saat itu saya mengajukan topik “computer troubleshooting” di mesin pencari di Internet yang kreasi Larry Page dan Sergei Brin itu.

Saat itu komputer saya memang lagi rusak. Komputer jangkrik yang saya beli di Pasar Senen Jakarta, 2002, tiba-tiba keyboardnya tidak jalan. Ketika keyboard itu saya bawa ke warnet, dicoba operatornya, bisa jalan normal. Saya coba di rumah, tak bisa. Kemudian saya berkonsultasi ke Anisah Computer, sebelah timur SDN 1 Wonogiri. Mereka berkesimpulan bahwa sakit komputer saya itu lebih parah daripada yang semula diduga.

Konsekuensinya mengejutkan : motherboard harus diganti. Apa boleh buat. Sang “ibu” yang penampilannya jelek dan selalu ngumpet di kotak itu harus diganti. Sebelumnya memiliki prosesor merek VIA, yang mudah mengingatkan nama Sylvia dari agen Korean Airline, yang di tahun 1984 menemani saya saat di wisuda. Si VIA itu kini diganti Pentium buatan pabriknya Andy Grove yang punya slogan “Only The Paranoid Survive” seperti judul bukunya yang terkenal.

Mungkin saya ketularan, karena ketika komputer saya menjadi waras pun, paranoid itu seperti enggan pergi. Penyebabnya adalah, baru dua hari, keyboard merek Supreme yang baru itu sudah tidak berfungsi lagi. Bayangkan stresnya karena memikirkan harus membeli “ibu” yang kerempeng dan sialan itu lagi !

Berusaha bersikap sabar dan rasional, maka saya mencoba mencari solusi dengan meriset artikel-artikel di Internet yang bertopik “computer troubleshooting” tersebut. Tips yang diberikan oleh dua situs yang saya pelajari justru menakutkan : motherboard memang harus diganti. Harus diganti lagi, setelah jalan hanya dua hari ?

Ketika mencoba mencari penghiburan akibat saran kejutan yang menggiriskan itu, saya temukan pertanyaan yang muncul di awal tulisan ini. Memang betul, rusaknya komputer mampu memicu stres 10 kali lebih berat bagi kita semua !


Hadiah Ulang tahun Niz. Tanggal 16 April 2007, yang merupakan hari ulang tahun Niz, saya terpaksa menggotong lagi CPU saya ke Anisah Computer. Komputer saya tinggalkan, untuk pergi ke warnet Salsa yang ada di Pokoh. Operatornya ternyata Eko, saya kenal saat ia dulu bekerja di warnet CosmicNet, utara Kodim, yang menutup usahanya. Saya menulis email untuk mengucapkan selamat ulang tahun untuk Niz yang saat itu masih tertidur lelap dini hari, di kota London.

Sokurlah, ketika kembali ke Anisah Computer, motherboard ternyata tak ada masalah. Keyboard yang harus diganti, tanpa biaya. Saya merasakan lega, dan di rumah sambil mengopi balik pelbagai harta karun ke hard disk, saya menemukan kejutan-kejutan kecil. Kini komputer saya menjadi agak “Jawa” karena memiliki koleksi lagu-lagu Jawa. Antara lain 10 Campur Sari Pilihan Volume 1, Campur Sari Gunung Kidul – Album Sukses, 11 Koplo Dico The Best. Saya sekarang bisa mengenal suaranya Manthou’s, Nurhana, Sunyahni dan Wuryanti.

Salah satu lagu campur sari yang menarik perhatian adalah lagu “Gethuk Lindri” yang dinyanyikan oleh Wuryanti. Lagu itu memuja-muja kelezatan jajanan yang terbuat dari singkong itu, dan ini yang menarik dan sekaligus absurd, saat ia katakan bahwa gethuk lindri itu terkenal dari Wonogiri !

Dalam lagunya Wuryanti bercerita bahwa warung yang menjual gethuk lindri itu dijejali pembeli. Mereka harus antri. Penjualnya cantik, merak ati, dengan senyum serta lirikan mata menggoda. Kalau Anda membeli, dijamin tidak akan melupakannya. “Yen wis kadung ngincipi, ora liya mesti bakal bali,” simpul Wuryanti.

Mungkin saya yang salah. Tetapi hampir setiap pagi menyusuri jalanan di Wonogiri, saya belum pernah menemukan kios atau warung yang menjual gethuk lindri itu. Yang agak mudah dijumpai adalah penjual serabi, termasuk di mulut Jalan Kajen, jalan utama kampung saya. Tetapi di mana gethuk lindri itu dijual di Wonogiri ? Saya tidak tahu.

Saya mencoa merenung-renung : lagu menarik itu mungkin harus dianggap hanya fiksi. Indah, tetapi tidak nyata. Pelbagai kebohongan dengan kemasan indah itu bukan hal yang penting untuk dipertanyakan, digugat atau dikritisi. Ucapan dalang bahwa negara kita itu gemah ripah, tentrem lan toto raharjo harus didengarkan sebagai unsur musik semata. Hal serupa agaknya juga berlaku untuk slogan WISATA yang menempel pada hampir semua rumah di Wonogiri.

Wonogiri Adalah Kota Wisata ? Pemkab Wonogiri telah lama menentukan tagline atau slogan tersebut. Sebagian besar warga Wonogiri, yang baik-baik, penurut, pasif, memegang kuat budaya Jawa yang wegah rame itu, mungkin sudah melupakan fakta betapa kurang jumbuhnya antara slogan dengan kenyataan tersebut.

Sementara warga Wonogiri yang kritis, cendekia, sudah lama melupakan Wonogiri ketika mereka meninggakan kota ini. Wonogiri yang indah bagi mereka adalah masa lalu yang hanya mereka tengok saja di hari-hari Lebaran. Selebihnya, di kota tempat mereka mencari sesuap nasi justru dalam pergaulan berusaha menutupi fakta sebagai wong Wonogiri.

Identitas sebagai wong Wonogiri mungkin ibarat kita makan gethuk lindri : enaknya sekejap, tidak begitu bergizi, warnanya itu-itu pula dan tidak seperti kata Wuryanti, tidak makan gethuk yang satu ini juga tidak ada pengaruh apa-apa bagi kenikmatan, apalagi bagi kesehatan. Mungkin seperti halnya lagu campur sari, hanya bikin kita ngantuk ?

Selamat ulang tahun ke-266 Wonogiri !



Wonogiri, 9 Mei 2007

tmw