Thursday, April 23, 2009

Wonogiri, Glasgow, Sepakbola, Cinta

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Tsunami sepakbola. Mie mentah dan dingin campur saus plus sambal. Itu salah satu menu sarapan saya pagi itu. Ini kesalahan pemula. Kesalahan wong ndeso di kota metropolis Singapura. Karena saya tidak sadar bahwa di dekat nampan mie itu ada kompor gas kecil yang diatasnya terdapat kuali tembikar berisi kuah panas untuk menjerang mie tadi. Maklum saja, saya bukan ahli gastronomi.

Sambil sarapan, saya membuka-buka majalah Newsweek edisi terbaru. Salah satu kolomnya ditulis editornya yang cemerlang, Fareed Zakaria. Hari itu, 17 Januari 2005, hanya berselang tiga minggu setelah tsunami dahsyat menghantam Aceh dan negara-negara di tepian Samudera Hindia.

Fareed Zakaria menulis, dalam setiap kejadian bencana, fihak yang diuntungkan adalah justru kaum papa. Kaum miskin. Mereka terbiasa tidak memiliki apa-apa dan sesudah bencana, mereka kembali juga tidak memiliki apa-apa. Tetapi, lanjutnya, bencana tsunami 2004 itu lain. Kaum miskin kali ini juga sangat merasakan akibat fatalnya.

Beberapa hari sebelumnya, saya memimpikan adanya sesisir penghiburan bagi para korban tsunami, juga bagi psyche bangsa Indonesia saat itu. Melalui sepakbola. Di final Piala Tiger 2004. Di semifinal tim kita bisa menghancurkan Malaysia 1-4 di kandang mereka, sungguh menggelorakan.

Tetapi dalam pertandingan final leg pertama di Senayan, 8/1/2005, kita kalah ditekuk Phill Bennet dan kawan-kawan dari Singapura dengan 1-3. Gol tembakan bebas Mahyadi Panggabean tidak menyelamatkan saya, yang duduk di pinggir lapangan, karena nyaris dihantam bom botol air mineral berisi air kecing kekuningan yang dilemparkan oleh penonton kita yang frustrasi dari tribun stadion.

Heal the nation.” Itulah bunyi spanduk besar, rancangan saya dan Mayor Haristanto, yang pada tanggal 16/1/2005, terpampang di sudut timur laut Stadion Kallang, Singapura. Tergurat di sana harapan, melalui sepakbola sembuhkan luka bangsa Indonesia akibat bencana tsunami, dan bangkitlah Indonesia untuk meraih kemenangan dan kejayaan. Kita kalah lagi, 1-2. Agregat : 2-5 untuk kejayaaan Aedi Iskandar dan kawan-kawan dari Negeri Singa itu. Tsunami sepakbola Indonesia kali ini membawa dampak lebih jauh. Mengalir kepedihan sampai kini.

Sepakbola fantasi. Esoknya, ada sedikit penghiburan. Koran utama Singapura, harian The Straits Times (17/1/2005) memuat ucapan saya. Bahwa saya masih punya optimisme terhadap masa depan sepakbola Indonesia. Saya masih mempercayai bahwa Peter Withe, pelatih timnas saat itu, akan mampu membuat timnas kita kembali berjaya.

Optimisme saya itu mungkin optimisme buta. Saya hanya menganalogikan sukses yang dicapai oleh Peter Withe (sampai saya membuat kaos dengan slogan : I Believe The Withe Magic !) ketika melatih tim Thailand, akan juga berbuah sukses ketika melatih Ponaryo Astaman dan kawan-kawan.

Ketika Peter Withe pergi, ketika Nurdin Halid masuk penjara karena tindak pidana korupsi dan ketika Nurdin Halid keluar dari penjara tetapi ia bersama kroninya tetap bersikukuh ingin memegang kendali PSSI, saya kali ini sudah putus harapan. Melalui stasiun televisi antv, beberapa hari lalu, tiba-tiba saya melihat siaran berisi acara peringatan HUT ke-79 PSSI.Dengan tajuk “PSSI Fantasy.” Maka saya pun segera semakin tahu kini : sepakbola Indonesia adalah sepakbola fantasi.

Fantasi-fantasi itu, khayalan demi khayalan itu, memang yang hidup di kepala para pengelola persepakbolaan Indonesia. Berkhayal dengan mengirimkan tim berlatih ke luar negeri akan mampu mendongkrak prestasi. Rumus lama yang selalu didaur ulang walau hasilnya semata kegagalan selama ini. Lalu berkhayal sebagai penyelenggara Piala Dunia 2018 atau 2022. Termasuk mungkin berkhayal, bahwa saat itu ketua PSSI tetap digenggam oleh Nurdin Halid beserta kroni-kroninya.

Mana aksi suporter kita ?. Tulisan Fareed Zakaria, juga cerita yang sering saya ulang mengenai final Piala Tiger 2004 di atas, muncul di benak lagi ketika ngobrol dengan Stuart Bruce. Ia suporter fanatik klub papan atas Skotlandia, Glasgow Rangers. Tempat ngobrolnya : Wonogiri, Kamis, 23 April 2009.

“Sebagai seorang Scotland, Stu itu Rangers sejati, sampai ke tulang dan darahnya :),” demikian bunyi sms dari Ade Soediro, eksekutif Radio Istara FM, Surabaya. Ade adalah tunangan dari Stuart Bruce (foto). Bagaimana ceritanya seorang suporter Glasgow Rangers bisa main ke Wonogiri ? Keajaiban itu bisa terjadi berkat blog di Internet, karena Google, terutama karena keagungan cinta. Hal ini bisa menjadi cerita tersendiri, termasuk menyangkut naskah buku saya Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati.

Stu kini tinggal di Manchester, Inggris. Sebagai seorang billy boys, sebutan bagi suporter Glasgow Rangers, ia pernah melanglang daratan Eropa. Juga sebagai seorang tartan army, sebutan bagi pendukung timnas Skotlandia. Suporter dari bangsa yang kaum prianya suka mengenakan rok kilt dan berbaris meniup alat musik bagpipe ini, tersohor tergolong sebagai kelompok suporter paling suportif dan sopan di Eropa.

The Tartan Army,” kata saya, “ dan juga Roligans dari Denmark, adalah kelompok suporter sepakbola yang perilakunya ingin menjadi suri tauladan kelompok suporter Indonesia.” Karena mereka bersahabat. Saat itu di pojok ruang tamu rumah saya, komputer sedang memutar CD saat kedatangan Pasoepati disambut meriah, gairah dan persahabatan, di tengah gemuruh Aremania di Stadion Gajayana, Malang, 21 Mei 2000. Saat itu tepat satu tahun reformasi di Indonesia !

Stuart Bruce, yang pernah menjadi dosen Sastra Inggris di Unika Sugiyopranoto Semarang, kini mendukung tim divisi 3 Stockport City di Manchester. “Kalau tur keluar kota, saya yang menjadi supir truk untuk membawa rekan-rekan suporter itu,” katanya bangga dan bahagia. Pengalaman hidupnya mendukung tim Skotlandia dan juga Glasgow Rangers yang diakuinya kurang bersinar di kancah Eropa, memberinya kebijakan dan kearifan. “Sebagai suporter tim lemah itu nothing to lose, kita terbiasa mengalami kekalahan, maka kita berusaha menikmati saja proses dan bukan hasilnya,” katanya sambil tertawa.

bambang dan stuart bruce
Suporter sepakbola itu bersaudara. Keajaiban blog, Google, Internet dan keagungan cinta, membawa seorang suporter Glasgow Rangers, Skotlandia, berkunjung ke Wonogiri. Saya dan Stuart bersama kaos tim Glasgow Rangers.

Terima kasih, Stuart. Dalam kunjungan ini Stuart Bruce “membaptis” saya sebagai salah satu bluenoses, sebutan sesama suporter Rangers, asal Wonogiri. Hadiahnya, kaos biru berplisir merah dari yang pernah dikenakan Giovanni van Bronckhorst, keturunan Maluku Selatan dan timnas Belanda sampai Andrei Kanchelskis, pemain sayap Rusia dan mantan MU itu, kini bisa yasa kenakan. Kepada Stuart Bruce, saya berikan buku kliping sejarah Pasoepati dan dokumentasi tur-tur Pasoepati dalam bentuk CD.

“Congrats ! Selamat menjadi fans baru Rangers !,” lagi-lagi sms dari Ade Soediro dan Stuart Bruce dalam perjalanan kereta api Solo-Surabaya. Mungkin Ade dan Stu lupa, rumah saya pun sudah lama menandakan sebagai fans Rangers. Pagar, daun jendela dan daun pintu, semuanya berwarna : biru Rangers. Kedatangan tak terduga dari Stuart dari Glasgow akhirnya itu ibarat sebuah siklus yang sempurna. Karena pada tahun 2007, Broto Happy W., redaktur sepakbola nasional dari Tabloid BOLA, yang adik saya, pernah mengunjungi Ibrox Stadium, markas besar klub Glasgow Rangers.


Teladan Gandhi. Teman-teman baru saya itu kini memang sudah meninggalkan Wonogiri. Tetapi ucapan Stuart Bruce masih membekas. Bahwa proses itu penting, walau hasil juga penting. Perjalanan itu penting, tujuan juga penting.

Menurut hemat saya, insan-insan pemangku kepentingan sepakbola Indonesia harus mau banyak belajar dari pengalaman hidup Stuart Bruce tadi. Menurut hemat saya, kita selama ini semata terobsesi untuk merengkuh hasil tetapi melupakan proses. Bahkan demi merengkuh hasil itu kita tega berbuat menghalakan segala cara, bahkan sampai melakukan tindakan kriminal.

Contoh aktual : aksi mengutak-atik bunyi peraturan FIFA oleh para petinggi PSSI kita, apakah juga perbuatan yang menghalalkan cara, sekaligus sebagai tindak kriminal ? Mungkin ikhtiar semacam ini bisa lolos. Tetapi hasil akhirnya akan dicatat oleh semesta, dan hanya kegagalan yang menyapa pada ujung-ujungnya.

Di tengah carut-marut tindak rekaculika itu, lalu di mana suara para suporter sepakbola Indonesia ? Kalau upaya meluruskan apa yang terjadi dalam tubuh PSSI saat ini dilakukan dengan cara seperti melakukan demo, justru cara seperti ini yang “ditunggu” oleh mereka. Apalagi kalau ada tindak kekerasan. Kita para suporter akan terjebak dalam alunan gendang aksi mereka.

Rekan-rekan suporter, beraksilah dengan metode di luar kotak. Tirulah cara Mahatma Gandhi (1869-1948) dalam menanggapi tindak kekejaman kolonial Inggris saat itu ketika India menjelang kemerdekaannya. Gandhi menyerukan pendukungnya untuk melakukan aksi anti kekerasan. Salah satu aksinya yang terkenal adalah satyagraha, aksi non-koperasi dengan penguasa sipil. Kalau seluruh suporter Indonesia kompak, melupakan dulu konflik semu antarkota, meminggirkan primodialisme, demi masa depan sepakbola Indonesia di tataran terhormat sepakbola dunia, kita mungkin mampu merubah keadaan.

Ketika memperingati sewindu Hari Suporter Nasional, 12 Juli 2008, bersama rekan-rekan suporter Solo, saya merancang melakukan aksi demo berdiam diri di Gladag, Solo. Pesannya adalah, untuk memprotes pengelolaan sepakbola Indonesia saat ini, menurut saya cara yang paling efektif adalah dengan : tidak menonton pertandingan sepakbola Indonesia.


Wonogiri, 24 April 2009

Friday, April 3, 2009

Facebook, Beautiful Girl, Pulomas 1997

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Gadis Pulomas minggu pagi. Awas : berhenti merokok mampu menimbulkan penyakit baru. Penyakit getol membual. Membual karena telah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman kecanduan nikotin, yang bagi saya pribadi sudah berlangsung selama hampir 17 tahun.

Saya mampu berhenti merokok tahun 1989. Pada tahun yang sama, saya mulai melakukan olah raga jalan kaki pagi. Sampai kini. Beberapa orang melakukan jalan kaki pagi sebagai waktu untuk berdoa, bermeditasi atau berpikir. Secara sendirian melakukan jalan kaki akan membantu Anda memperoleh perspektif dan keseimbangan.

Jalan kaki bermanfaat untuk mengurangi stres, menjernihkan pikiran, menggali sisi kreatif Anda, menemukan gagasan-gagasan baru dan memecahkan masalah. Demikian kesimpulan situs AARP (American Association of Retired Persons), organisasi kaum pensiunan Amerika Serikat.

Saat itu, saya tinggal di Jalan Belimbing, Balai Pustaka Timur, Rawamangun, Jakarta Timur. Komplek yang dulu bernama Gedung Pola itu, di seberang Apotik Rini, kini sudah menjadi ruko.

Arena favorit jalan kaki pagi saya di hari Minggu adalah lapangan Pulomas. Di bangku tribun lapangan pacuan kuda Pulomas itu pula saya mampu merampungkan buku Being Digital (1995)-nya nabi media dari Media Lab MIT, Nicholas Negroponte. Buku teknologi informasi yang mampu membuat saya menangis karena optimisme yang ia semaikan di dada ini mengenai masa depan dunia digital yang gemilang.

Di sekitar area lapangan pacuan kuda itu terdapat dua lapangan yang diisi dua kelompok senam yang berbeda. Ada senam kesegaran jasmani yang dipandu dengan lagu-lagu pop/disko, yang bergairah, sementara kelompok lain melakukan senam pernafasan dengan iringan musik bernuansa Mandarin yang lebih lamban.

Saya tidak ikut keduanya. Saya memilih memutari lapangan, 3-5 kali, berlawanan arah jarum jam. Dengan cara demikian saya bisa “mengabsen” sosok-sosok asing tetapi terasa akrab di area tersebut, familiar strangers, karena kita senantiasa bertemu di minggu pagi.

Ada sekelompok bapak-bapak yang berbahasa Batak. Ada pasangan setengah baya, 2sementara anak gadisnya dibiarkan berjalan sendirian. Ada keluarga muda, berdua berkeliling dengan mendorong kereta bayi. Kelompok pria bersepeda nampak duduk-duduk di pinggir jalan yang memisahkan kedua lapangan. Mereka mengobrol sambil istirahat dan cuci mata. Ada mobil bak terbuka, di dekat mereka, yang jualan susu kedele. Di sisi utara terdapat warung dengan kursi dan meja yang selalu penuh pembeli.

Beautiful girl. Salah satu di antara familiar strangers yang rasanya ingin selalu saya temui di tiap minggu pagi, antara 1996-1997 itu, adalah si grasshopper. Ah, ini hanya nama kode, nama rekaan, untuk menggambarkan sosok perempuan dengan kaki belalang yang menawan. Ia selalu datang sendirian. Menaiki sepeda. Kemudian kadang menghilang, tahu-tahu sudah mingle di antara peserta senam. Tentu saja bukan pada kelompok senam pernafasan, yang didominasi kaum sepuh, para manula.

Ia ideal untuk sosok pemain bola volley. Atau model. Tingginya sekitar 168-170 cm. Menjulang dan menonjol. Selalu memakai topi baseball warna turquoise, biru kehijauan. Kuncir ekor kuda menyeruak lubang bagian belakang topinya. Kami merasa saling mengenal, ada feeling, walau tanpa tahu nama masing-masing.

Beautiful girl, mungkin demikian seorang Jose Mari Chan akan menyebutnya seperti cerita dalam lirik lagunya yang berjudul sama : mengenai gadis cantik menawan, berkelebat di depan matanya, yang membuatnya jatuh cinta, dan kemudian ia kuatirkan dirinya menghilang selamanya seperti “gita di waktu malam.” Ia memang menghilang sejak minggu pagi 25 Mei 1997.

Mungkin ia kecewa. Gestur yang ia munculkan, yang menandakan keinginannya untuk bisa saling mengenal di saat itu, tidak saya tanggapi secara agresif. Minggu-minggu berikutnya ia tak muncul lagi. Craig Newmark melabeli momen seperti ini sebagai missed connections dan menjadi salah satu layanan dalam situsnya yang terkenal.

Sejak Januari 1998 saya pun meninggalkan Jakarta, sampai kini. Sehingga sang belalang menawan itu tinggal berenang-renang dalam samudera kenangan. “Swimming forever in my head / tangled in my dreams / swimming forever,” meminjam lirik dari “Radio”-nya The Corrs.


Omongan tolol. Keriuhan setiap minggu pagi di lapangan Pulomas itu boleh jadi mirip yang Anda alami dan rasakan bila Anda terjun sebagai warga situs jaringan sosial seperti Facebook. Sebagian dari mereka yang memang Anda kenal sebagai pribadi, baik mantan kekasih sampai teman kuliah dua puluh tahun lalu, tetapi sebagian besar boleh jadi merupakan orang-orang asing yang akrab atau hanya berlaku sok akrab bagi Anda.

“I want to hate Facebook, but it's getting so hard,” tulis Paul J Rose dari Merchandise Mania di blognya, Januari 2009 yang lalu. Ia bertanya : dapatkah Anda membayangkan dalam suatu pesta di mana semua orang mengenalkan dirinya sebagaimana mereka mengenalkan diri di Facebook ? “Hai, saya Paul dan saya akan mengenalkan diri dengan seseorang yang asing sekarang : maukah Anda menjadi teman saya ?” Menurutnya, cara semacam itu bukan networking. It’s drivel, cetusnya.

Terima kasih, Paul. Menarik juga penilaian Anda. Yang saya tahu, setelah omongan tolol itu memperoleh klik konfirmasi sehingga perkawanan baru terjadi, semua warga keriuhan dalam Facebook itu ingin memperebutkan atensi Anda. Bukankah Thomas Mandel dan Gerard Van der Leun dalam bukunya Rules of The Net : Online Operating Instructions for Human Beings (1996) telah menyimpulkan, the hard currency of cyberspace is attention ?

Bila kita memperoleh atensi, kita merasa baik. Semakin banyak atensi yang kita peroleh, semakin kita merasa berharga di depan teman-teman Facebook lainnya. Hal itu mencandu (baca : 10 Tanda Kecanduan Facebook), juga diam-diam bisa menjengkangkan kita terjun bebas menghuni lonely planet, istilah dari Elizabeth M. Johnson, karena hubungan yang terjadi bukanlah hubungan yang autentik. Mudah-mudahan saya bisa menuliskan topik ini secara rinci di lain kali.

Mana untuk saya ? Facebook juga membuat kita menjadi insan-insan pengintip dan penguping. Walau sejatinya, menurut saya, apa yang kita kuping atau yang kita intip dari foto-foto sampai video mereka tersebut sebagian besar seringkali hanya bermakna bagi mereka yang memajangnya.

Dengan demikian, bila setiap kali kita membuka akun Facebook dengan berbekal WIIFM, What’s In It For Me, mungkin kebanyakan kita akan kecewa. Mungkin rentetan kekecewaan semacam itulah yang membuat seseorang teman memposting di wall-nya bahwa ia ada niatan ingin mundur dari jaringan Facebook. Tak ada nilai tambah yang ia peroleh, begitu alasannya. Alasan yang sah. Juga patut dihargai. Walau mungkin ia kurang bersabar. Atau memang terlalu menuntut dalam memperoleh kue-kue pergaulan dunia maya, yaitu atensi tadi.

Dalam kerumunan familiar strangers semacam Facebook memang telah dibuka peluang bagi kita untuk berhimpun dalam kelompok, group, yang memiliki minat tertentu. Layanan yang bagus. Sayang, pengalaman pahit saya, yang terasa menjengkelkan, adalah ketika mendapatkan rentetan message dari pemilik kelompok itu yang isinya tidak sesuai dengan visi-misi sampai jati diri kelompok bersangkutan.

Saya, tentu saja melayangkan protes. Bila protes ini tidak digubris, maka meninggalkan kelompok bersangkutan merupakan pilihan yang mungkin segera saya lakukan. Seperti halnya suasana kerumunan di lapangan Pulomas di minggu pagi, semua orang memang boleh datang dan juga boleh pula pergi.

Facebook adalah media jaringan sosial yang baru bagi saya. Saya bergabung berkat diajak Rdanz Kusuma dari Malang. Tanggal 19 Juli 2008. Teman pertama yang mengkonfirm drivel saya adalah : Petty Tunjung Sari.

Masih banyak hal yang harus saya pelajari dari Facebook. Untuk itu saya telah membuat folder tersendiri dalam file, di mana info yang terbaru antara lain Facebook can ruin your life sampai berita bahwa Birmingham City University di Inggris telah menawarkan gelar master di bidang media sosial. Di sini, para mahasiswa bakal diajar intensif dengan materi kuliah mengenai situs jejaring seperti Facebook, Twitter dan Bebo.

Facebook, dahsyat.

Tetapi kali ini saya tidak ingin muluk-muluk berharap mengenai kedigdayaan Facebook tersebut. Mengutip lirik lagunya Jose Mari Chan, ”Beautiful girl, wherever you are /I knew when I saw you, you had opened the door /I knew that I'd love again after a long, long while/I'd love again,” siapa tahu pesan ini mampu melambung ke kosmis, menyeruak di antara jutaan pengguna Facebook di dunia, sehingga sampai kepada yang berhak menerimanya.

Mungkin ini sebuah kekonyolan. OK. Tetapi itulah satu sisi kehidupan, di mana Carpenters dalam “Those Good Old Dreams” telah bersenandung indah tentangnya :


As a child I was known for make-believing
All alone I created fantasies
As I grew people called it self-deceiving
But my heart helped me hold the memories.


Wonogiri, 3-4/4/2009