Monday, July 16, 2012

Leiden, Illinois dan Wonogiri : Dunia Yang Mengecil

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Dunia ini sempit.
Kecil.

Apalagi berkat Internet yang mampu membuat hubungan antarsesama yang dipisahkan oleh jarak geografis, kini senyatanya hanya dipisahkan oleh beberapa ketukan tombol komputer belaka.

Di bawah ini terjadi obrolan antara saya yang berdomisili di Wonogiri dengan teman saya Tinuk Yampolsky (foto) yang tinggal di Illinois, Amerika Serikat. 

Ikut nimbrung teman saya lainnya, Mas Najib Azca, dosen UGM di Yogyakarta. Antara kami bertiga ternyata memiliki jalinan pertemanan yang sungguh tidak saya duga sebelumnya.  


Bambang Haryanto
(Minggu, 15 Juli 2012 : pukul 12:36) : 

Sugeng tanggap warsa,mBak Tinuk Yampolsky. 
Saya pikir dulu akan dirayakan di Indonesia :-). 
Sluman,slumun, slamet. 
Bahagia senantiasa.

Najib Azca
(Minggu, 15 Juli 2012 :pukul 12:46) : 

Nunut mengucapkan selamat hari jadi. 
Semoga ciamik selalu mbakyu Tinuk. 
Konco lawas kah mbak Tinuk dengan mas Bambang? :)  

Bambang Haryanto
(Minggu, 15 Juli 2012 : pukul 13:04) : 

Dunia itu sempit ya, Mas Najib Azca. 
Kalau panjenengan dan saya bisa masuk dalam satu kotak, maka saya pernah satu RW dengan mBak Tinuk Yampolsky. 

Sama-sama dikepung benteng Baluwarti di Solo, 1975-1980. Juga satu sanggar, Sanggar Mandungan, dalam berseniman-ria.

Dalam novel beliau Candik Ala 1965 kata beliau konon ada sosok diri saya disitu.  Saya baca, kok modifikasinya terlalu kreatif,ekstrim bin kejam, sampai2 saya tak bisa memirip-miripkannya. Wokelah,itu memang hak asasi novelis, dimana saya tak bisa mengganggu gugat :-(.

Moga mBak Tinuk tambah bahagia mendapatkan ucapan dari kita yang bisa bersama-sama ini. Dong-dingnya Mas Najib bisa ketemu Tinuk, apa pas di Amerika ?  

Tinuk Yampolsky
(Minggu, 15 Juli 2012 : pukul 15:24) : 

Maturnuwun, mas Hary dan mas Najib. It is small world, isn't it?!  Saya ketemu mas Najib tidak di Amerika, mas Hary, tapi di Leiden-Belanda. Dan yang paling saya ingat, adalah rawonnya.

Waktu itu, saya dan Hasif Amini (adiknya mas Najib) menyusuri dari museum satu ke museum lain di Amsterdam (Reijks Museum dan Van Gogh diantaranya) ketika tiba-tiba cell-phone Hasif berdering dari mas Najib yang bilang lagi masak rawon untuk kami. 

Dan meluncurlah saya ke apartemen mas Najib dan makan rawon, yum! di tengah kesibukannya menyelesaikan disertasi masih sempat-sempatnya masak rawon buat kita.

Kalau ketemu di Yogya belum tentu saya dimasakin rawon, ya mas Najib?! hehe. Anyway, tengkyu untuk ucapannya, ini saya terbangun di tengah malam, dan senang mendapat ucapan dari banyak teman. 

Sekali lagi maturnuwun buat anda berdua.  


Najib Azca
(Minggu, 15 Juli 2012 :pukul 16:06) : 

Betul, perkenalan dan perjumpaan saya dengan dua tokoh Baluwarti ini memang istimewa dan tak terlupakan.

"Rawon" menjadi simpul perjumpaan saya dengan mbak Tinuk Yampolsky; sementara "Kick Andy" menjadi tautan yang merajut perjumpaan saya dengan tokoh supporter sepakbola Nusantara mas Bambang Haryanto.

Sungguh senang dan bangga mengenal kalian.
Salam hangat dari Jogja:).


Wonogiri, 17 Juli 2012

Sunday, July 15, 2012

"Perampok Bank Tua" : Kenangan Wong Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Dia pernah main di film "The Dirty Dozen," "The Wild Bunch," dan "The Poseidon Adventure."

Ketiga film ini sempat saya tonton di tahun 1970-an. Di film “The Dirty Dozen” (1967) ia beradu akting dengan Lee Marvin, Jim Brown dan juga Donald Shutterland.

Dalam “The Wild Bunch” (1969) yang digarap oleh sutradara film koboi garis keras, Sam Peckinpah, ia main bersama William Holden, Robert Ryan dan Warren Oates.

Lagu indahnya Mauren McGovern (ayahnya George McGovern saat itu calon presiden AS) “The Morning After” menjadi lagu tema tentang musibah terbaliknya kapal dalam film “The Poseidon Adventure” (1972). Antara lain dibintangi Shelley Winters dan Gene Hackman.

Tokoh itu yang paling saya ingat adalah ketika main dalam film “Bunny O’Hare Old Age Pension Plan” (1971, foto). Cerita tentang duet pasangan sepuh Bette Davis dan Ernest Borgnine, yang ingin melepaskan diri dari jeratan kekurangan uang, dengan melakukan serentetan perampokan bank.

Senjatanya unik : burung pipit dilepaskan di bank, membuat seluruh kantor bank heboh, dan saat itulah mereka menodong kasir untuk dipaksa menyerahkan uangnya. Salah satu tokoh itu dimainkan oleh aktor pemenang Oscar, Ernest Borgnine.

Ia kemarin meninggal dunia dalam usia 95 tahun.
Selamat jalan, Eyang Ernest.

Semoga kau diterima baik olehNya di alam keabadian.

Tautan : http://news.yahoo.com/blogs/upshot/oscar-winning-film-star-ernest-borgnine-dies-la-212606632.html

Tuesday, June 19, 2012

Wong Wonogiri Menggebrak Acara Kick Andy

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Warisan Anda. "Saya suka mengamati contrail, aliran gas buang berwarna putih yang ditinggalkan oleh pesawat jet.

Ia merupakan jejak sementara yang tergurat di pasir dan kemudian sinar matahari akan menghapusnya untuk selamanya.

Pergilah ke Montana dan mungkin Anda akan menemukan bekas-bekas jejak kaki dinosaurus yang tertoreh sejak ribuan tahun yang lalu."

Awal tulisan yang menarik dari Seth Godin dalam blognya. Ia membicakan topik universal dan menarik, tentang macam apa warisan yang kita tinggalkan sesudah nanti kita tiada.

"Sepanjang hari kita menulis email, status, men-twit atau membubuhkan tanda like, sementara orang lain berkarya secara lebih konkrit. Adakah sesuatu jejak yang bakal Anda tinggalkan dari hidup Anda ?"

Sebagai suporter sepakbola, saya berusaha ikut pula meninggalkan sesuatu jejak sejak sepuluh tahun lalu. Ketika bergabung dalam Pasoepati di tahun 2000 bersama Mayor Haristanto. Saya kemudian menulis pandangan, cita-cita dan juga gagasan tentang suporter sepakbola. Menulis di surat kabar, tabloid, milis dan juga blog.

Tanggal 12 Juli 2000, saat berlangsungnya pertemuan kelompok suporter di kantor redaksi Tabloid BOLA, saya mencetuskan hari itu sebagai Hari Suporter Nasional. Tahun 2002, impian saya tentang masa depan suporter sepakbola memenangkan The Power of Dreams Contest 2002 yang diselenggarakan oleh Honda Prospect Motor.


Jejak belum terkubur. Karena harus bekerja di perusahaan Internet di Jakarta, akhir tahun 2001 saya undur dari kegiatan di Pasoepati di Solo. Ternyata di Jakarta, sampai tahun 2002, masih ada tugas menanti. Berkiprah membidani lahirnya Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia (ASSI). Bahkan didaulat untuk menjabat sebagai Sekretaris Jenderal.

Sesudahnya, saya pensiun. Tetapi tetap menulis di blog ini. Bahkan masih sempat mendukung timnas dalam final Piala Tiger 2004/2005, baik di Jakarta atau pun di Singapura. Foto menunjukkan komentar saya yang dimuat di surat kabar utama Singapura, The Straits Times (17/1/2005). Mayor juga pensiun dari kegiatan suporter, walau dengan wadah Republik Aeng Aeng  ia masih sering bersinggungan untuk beraktifria bersama anak-anak Pasoepati di Solo.

Jejak lama saya itu, syukurlah, masih ada yang mau mengingat. Pada tanggal 10 Maret 2009, Arista Budiyono, sekretaris Pasoepati Jabodetabek, punya ide brilyan. Ia telah menulis surat ke penanggung jawab acara pamer cakap Kick Andy, agar acara populer itu menampilkan pentolan suporter dan pencinta sepakbola dengan kreasinya untuk menggairahkan dunia sepakbola.

Surat Arista Budiyono itu dia pajang di blognya sendiri, berjudul :  Suporter Menendang Kick Andy. Ia mengusulkan nama-nama sineas Andibachtiar "Ucup" Yusuf, Yuli Soempil Sugiarto (dirijen Aremania), Bambang Haryanto, Mayor Haristanto, Yan Tuheryanto (Singa Mania) dan situs Ongisnade.net.

Surat Arista itu tidak terkubur di arsip Kick Andy, tetapi menunggu dibangkitkan pada momen yang tepat.

Testimoni seorang Ibu. Momen itu hadir ketika wajah sepakbola kita harus menitikkan air mata. Yaitu ketika ada penggemar, yang merupakan roh sekaligus pendukung industrinya, tewas karena tingkah kebrutalan suporter brandal yang dibelit oleh fanatisme sempit.

Pada pertandingan Persija Jakarta melawan Persib Bandung di Gelora Bung Karno Senayan, Minggu, 27 Mei 2012, memakan korban dengan tewasnya Lazuardi (28), Rangga Cipta Nugraha (22) dan Dani Maulana (17). Pengeroyoknya berjumlah enam orang yang merupakan suporter The Jakmania telah tertangkap dan menanti untuk disidangkan.

Terenggutnya nyawa suporter sepakbola itu telah mendorong tayangan pamer cakap Kick Andy dari MetroTV untuk membicarakannya. Mengulik akar permasalahan dan menyerap aspirasi dari pelbagai fihak untuk memperoleh solusinya.

Sebagian besar nama yang diusulkan dalam email Arista Budiyono tiga tahun lalu yang kemudian menjadi nara sumber acara yang rekamannya berlangsung Rabu, 13 Juni 2012.


Kick Andy Show 22 Juni 2012 : Fanatisme Berujung Maut, Nara sumber acara Kick Andy, 22 Juni 2012, ki-ka : Cakra Wibawa,Iip Saripah, Mayor Haristanto, Yuli Sugiarto (bertopi), Bambang Haryanto dan Andibachtiar Yusuf

Nara sumberDari kiri ke kanan : Cakra Wibawa (adik almarhum Rangga Cipta Nugraha), Ibu Iip Saripah (ibu Rangga), Mayor Haristanto, Yuli Soempil Sugiarto (bertopi), Bambang Haryanto dan Andibachtiar "Ucup" Yusuf.

Dalam mimbar itu Ibu Iip Saripah mengatakan : "Keluarga memang sudah mengikhlaskan kepergian Rangga. Tapi, cara kepergian yang seperti itu kami masih tidak bisa terima. Kami minta pihak yang berwajib mengusut tuntas kasus penganiayaan yang menyebabkan tewasnya Rangga.”


Kick Andy, 22 Juni 2012 : Kerusuhan Suporter dan Solusinya, Acara bertajuk "Fanatisme Berujung Maut" menghadirkan ki-ka : Sineas Andibachtiar Yusuf, Yuli Sugiarto, Cakra Wibawa dan Iip Saripah, Bambang Haryanto dan Mayor Haristanto. Penonton yang bersemangat (kanan bawah).  

Suasana kental bernuansa sepakbola. Sineas Andibactiar "Ucup" Yusuf, Yuli Soempil Sugiarto, Cakra Wibawa dan Ibu Iip Saripah, Bambang Haryanto, Mayor Haristanto, dan penonton yang bersemangat.

Pada segmen terakhir, pada awal acara Mayor dan saya berusaha membuat studio Kick Andy layaknya suasana pertandingan di stadion sepakbola. Kami menyulap audien sebagai suporter yang bergairah, rileks, damai, bergembira dengan yel-yel dan lagu-lagu penggugah semangat yang bergelora.


Bambang Haryanto, Mayor Haristanto dan host Andy F. Noya, Kick Andy, 22 Juni 2012, Bambang Haryanto mengangkat topik rekayasa sosial suporter sepakbola  Mayor Haristanto berbagi pengalaman mengelola kelompok suporter cinta damai dan atraktif di Solo, Makasar, Pekanbaru dan Manado.

Duta suporter damai dan kreatif dari Solo. Saya dan Mayor, tampil di segmen terakhir. Kami berdua seolah harus menaiki mesin waktu, surut ke belakang di tahun 2000 guna membongkar-bongkar cerita dan kenangan saat Pasoepati berdiri dan mencari bentuk. Saat itu saya menggores sebuah tagline atau semboyan "Revolusi Citra Baru Suporter Indonesia."

Nara sumber yang tidak kalah penting dalam acara Kick Andy kali ini adalah dosen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Najib Azca, Ph.D. "Saya hanya menyumbang sedikit bagian penutup, melihat isu rusuh suporter sebagai  bagian budaya anak muda perkotaan yang dihimpit oleh sistem sosial yang tidak ramah," tulis beliau dalam obrolan di akun Facebooknya.

Saya berdua baru bertemu menjelang naik panggung, tetapi kimianya cocok, seolah kami merupakan teman lama. Itu terbukti ketika saya perkenalkan bahwa Mayor adalah lulusan Ilmu Pemerintahan UGM, yang bernaung pada fakultas yang sama dengan Mas Najib.

Sementara beliau adalah pembimbing dan penguji skripsi sobat saya, Aji Wibowo (yang bertopik suporter sepakbola ; Aji kini redaksi majalah fans Liverpool FC, Walk On, di Jakarta).  Dalam proses penulisan skripsi Aji melakukan korespondensi via email dengan saya.

Jejak langkah kami berdua, malam itu kami torehkan lagi. Di panggung acara Kick Andy. Mendengar pendapat Mas Najib Azca bahwa apa yang kami berdua gagas dan kerjakan selama ini sebaiknya direplikasikan kepada kelompok-kelompok suporter lain di Indonesia, barangkali itu menjadi mimpi berikutnya yang menantang untuk direalisasikan.

Tentu saja saya, Mayor, atau kami berdua,dalam mewujudkan mimpi itu tidak bisa melakukannya secara sendirian. Semua sobat saya suporter sepakbola Indonesia, harus juga mengambil prakarsa.

Semua itu dapat dimulai, seperti harapan penutup saya dalam acara itu dengan tekad : "Jadikanlah kita semua sebagai energi positif bagi dunia suporter sepakbola dan sepakbola Indonesia."

Insya Allah, jejak kita semua bukan seperti nasib asap pesawat jet yang melintas. Yang mudah menghilang dalam waktu cepat dan dilupakan oleh sejarah.


Wonogiri,19-20 Juni 2012
 

Thursday, May 31, 2012

Nalar Tidak Gatuk dan Rokok Di Wonogiri


Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Rumus tiga adalah salah satu rumus terkenal dalam dunia komedi.
Pentas Srimulat berkali-kali menampilkan rumus klasik itu.

Bayangkan sekarang di panggung berjajar para artis, katakanlah :

Dessy Ratnasari,
Becky Tumewu
dan Tukul Arwana.

Lalu pelawak Basuki akan memberi ibarat bagi ketiganya :

Platina,
Emas
dan Gembreng !

Sutera,
Bludru
dan Blangkrah !

Sebutan yang ketiga itulah yang diharapkan untuk meledakkan tawa. Presiden SBY dalam pidatonya dulu, juga selalu memakai rumus tiga itu. Tujuannya untuk memancing tepuk tangan hadirin..

rokok,sehat, iklan rokok di wonogiri, Papan iklan raksasa di jalan raya utama Wonogiri

Rumus tiga di Wonogiri. Di Wonogiri, saat jalan-jalan, sering saya temui rumus tiga itu pada billboard yang melintang di jalan utama. Tulisannya : "Wonogiri Bersih, Indah & Sehat." Saya sering  senyum-senyum sendiri karena pada billboard itu terpampang iklan rokok yang sangat besar..

Mas Ito alias Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, pernah membisiki saya : itu cerminan dari apa yang disebut sebagai cognitive dissonance. Saya menyebutnya sendiri sebagai nalar yang tidak gatuk.

Namanya otak atau nalar yang sudah ditableg sama duit maka rokok pun dipakai untuk mengampanyekan cita-cita Wonogiri yang sehat.

Semoga guyonan ini bisa ikut mengisi catatan bahwa hari ini, 31 Mei 2012, adalah World No Tobacco Day. Hari Tanpa Rokok Sedunia. Tema tahun ini berjudul “Interferensi Industri Rokok terhadap Upaya Pengendalian Konsumsi Rokok”.

Menurut mantan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Kartono Mohamad, tema itu bukan hal baru.  Karena industri rokok sudah lama berkongkalingkong dengan elit politik di negara manapun juga agar tidak mengendalikan konsumsi rokok. Dengan segala cara.

Untuk negara yang elit politiknya bermental korup, hal itu makin mudah (dan murah) bagi industri rokok. Jangan pula harapkan bahwa elit politik itu berpihak ke rakyat, apalagi melindungi kesehatan rakyatnya. Toh kalau rakyat sakit-sakitan, bukan mereka yang menanggung biayanya.

Anda punya pendapat ? Ada banyak cerita lanjutannya,dimana bila Anda berminat silakan klik saja di :
 


Wonogiri,31 Mei 2012

Saturday, May 19, 2012

The Cabuk Story

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Si Hitam. Diplomasi mengenalkan cabuk Wonogiri rupanya butuh waktu puluhan tahun.

“Apa makanan khas Wonogiri ?” itu tanya Pak Taufik Soedarbo, diplomat yang malang melintang di Afrika, Eropa, dan terakhir di Timor Timur menjelang kemerdekaannya. 

Bersama dengan Ibu Bintari Tjokroamijoyo, istrinya, dan Anez, putrinya yang cantik dan kharismatik yang mahasiswi Arkeologi UI, kami ngobrol sambil makan malam. Ada sambal trasi di cobek, dan Pak Dubes makannya secara dipuluk.

“Cabuk,” jawab saya.

Mereka semua tidak faham.Tidak mudah menjelaskan makanan berbentuk pasta, hitam pekat, terbungkus daun pisang yang dipanggang api, beraoma daun kemangi, gurih, lumer dan bisa juga terasa pedas. Disantap bersama nasi hangat, terasa nikmat sekali.

Itu kejadian tahun 1986 di Cilandak, Jakarta.
Sejarah berulang.
Desember 2011 yang lalu.

Kini saya sengaja membawa cabuk langsung dari Wonogiri. Bisa kembali mengobrol lama dengan Pak Taufik, tetapi Ibu Bintari dan Anez tidak bersama kita lagi. Ibu wafat tahun 2007 dan Anez, kelahiran Brussels itu meninggal dunia di Bali, 2005. Saya sempat ziarah ke makamnya, di TPU Jeruk Purut.

Kembali ke cabuk. Yang kemudian memberi komentar justru kakaknya Anez, Mas Anto dan mBak Devi, istrinya. Mereka menyebutnya enak dan bertanya-tanya : “Di manakah bisa dibeli di toko Jakarta ?”

Apakah Anda masih sering kangen menyantap cabuk ?

Di Wikipedia, cerita tentang Wonogiri juga menyebut makanan cabuk, yang “akan lebih nikmat apabila disantap bersama-sama dengan  gudangan, yakni makanan yang berupa sayur-sayuran yang telah direbus dicampur dengan sambal dari parutan kelapa.”

Bahan dasar cabuk adalah wijen, dimana wijen dikenal sebagai ratunya minyak yang berasal dari tumbuhan biji-bijian (queen of the oil seed crop) karena keunggulan nilai gizi dan manfaat kesehatannya.

Untuk keluarga Pak Taufik, Mas Anto & mBak Devi, ada keinginan mengirimkan cabuk kepada mereka. Yang masih mengganjal : apakah tidak terjadi perubahan kimiawi selama dalam perjalanan bila dikirim via jasa kurir ? Jangan-jangan nanti membusuk, dan bahkan beracun :-( ? Bagaimana pengepakan yang terbaik ?

Apakah Anda punya pengalaman yang bisa Anda bagikan ?
Matur nuwun. Saya nantikan.

Wonogiri, 20 Mei 2012

Tuesday, May 8, 2012

Skandal “Mark Up” di Gedung DPRD Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
 Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Badai gugatan. Orang satu ini kalau cangkemane tidak bikin risi orang lain mungkin akan sakit mag atau ambeyen. Dialah : Marzuki Alie.

Saat berbicara di acara bertajuk “Masa Depan Pendidikan Tinggi di Indonesia,” di kampus UI, Marzuki Alie ngablak bahwa koruptor itu adalah orang-orang pintar, bahkan lulusan perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.

 “Para koruptor itu bisa dari anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, anggota Himpunan Mahasiswa Islam, lulusan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan lainnya. Tidak ada orang bodoh,” katanya.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Arindra A. Zainal tak setuju dengan cara berpikir Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie. Dengan pernyataan Marzuki Alie itu, kata dia, sama halnya dengan menganalogikan bahwa semua maling di Indonesia yang berada di penjara adalah orang Islam. Atau misalnya di negara lain Eropa seperti Italia, yang penghuni penjaranya warga beragama Katolik.

"Lalu, apa yang disalahkan agamanya? Kan tidak demikian," ujar dia. Ketua Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) UI ini menuturkan, "Korupsi itu kan tergantung pada orang-orangnya. Jangan menggeneralisasi," kata dia.  

Vonis teroris. Logika berpikirnya politikus Partai Demokrat itu bikin saya ingat isi lelucon komedian muslim AS, Azhar Usman. Dalam akun Twitternya 13 April 2012 yang lalu, di mana saya jadi makmumnya ia, bilang : “Menvonis Islam berdasar tingkah laku para teroris seperti menghakimi kapitalisme berdasar kelakuan Bernie Maddoff. Goblog.”

Ulah Marzuki Alie itu kini menebar badai. Panen gugatan. Sementara itu KPK justru menyatakan, betapa wakil rakyat alias anggota DPR-DPRD, ternyata memuncaki daftar mereka yang diindikasikan melakukan tindak korupsi di tahun 2012 ini.

Halo, Marzuki Alie sang Ketua DPR, omongan Anda tentang alumni PTN yang terlibat korupsi itu apa trik sulap Anda untuk membelokkan perhatian, bukan ? Kapan-kapan Anda silakan datang di gedung DPRD Wonogiri, karena di sini terjadi tindak “korupsi” besar-besaran.

Padahal kantor ini sepertinya setiap hari menjadi jujugan dan pula jadi tongkrongan para wartawan, tetapi mereka sepertinya tetap engga “ngeh” juga. Kenapa ya ? Mungkin ini ilustrasi yang cocok, mencocoki, karena dicoba dicocok-cocokkan untuk fenomena itu. Alkisah, suatu hari saya pernah di sebuah warnet menemukan amplop kosong. Kop amplopnya : DPRD Wonogiri. Lalu ada tulisan tangan, bahwa amplop itu diberikan kepada seorang wartawan.

Saya tersenyum kecil, dan bersyukur sedikit. “Untung saya hanya seorang blogger, fesbuker, dan bukan seorang wartawan.” Di benak lalu tergambar ucapan pengacara muda idealis Rudy Baylor yang dibintangi Matt Damon dalam film The Rainmaker (1997) :

 “Setiap pengacara, minimal dalam satu kasus, dirinya merasa telah menyeberangi batas yang tidak sengaja ia lakukan. Itu terjadi begitu saja. Tetapi apabila Anda kemudian ternyata berkali-kali menyeberangi batas itu, maka batas tersebut akan lenyap selamanya. Dan Anda kemudian akan menjadi bukan siapa-siapa lagi, kecuali menjadi pengacara dagelan. Anda masuk barisan sebagai seekor hiu lainnya lagi untuk berenang-renang dalam air comberan.”  

Mark-up 6 digit. Tapi ngomong-ngomong, apa sih bentuk “korupsi” di kantor DPRD Wonogiri ? Saya ingin tanya Mas Bambang Tri Subeno, kode pos kelurahan Anda, Wuryorejo, 57614. Kelurahane mas bupati, di mana warna cat rumahnya dan cat pagar garasi bisnya kini “menulari” habis-habisan pohon-pohon dan tempat sampah di pelbagai lokasi di Wonogiri, punya kode pos : 57681.

 Lalu Wonokarto, rumahnya Mas Anto (yang masih waris sama saya), adalah : 57612. Ternyata masih sama dengan kodepos rumahnya Mas Mujtahid dan kampung saya yang sama-sama masuk Kalurahan Giripurwo.

Lalu kantor DPRD Wonogiri (foto) yang juga masuk Giripurwo, mengapa punya kode pos tersendiri ? Aturan normalnya, se-Indonesia, kode pos itu 5 digit, kok di kantor para wakil rakyat Kota Gaplek ini justru pethakilan menjadi 6 digit ? Menjadi : 576551 !

Mungkin itu kode pos untuk daerah eksotis Wonogiri yang tidak terjangkau oleh pengawasan rakyat, di mana uang, politik, kekuasaan dan keserakahan, bergelut dan terpilin menjadi menu mereka sehari-hari.

Wakil rakyat, wakil rakyat.
Kodepos wae melu-melu keno mark-up !


Wonogiri, 8 Mei 2012

Thursday, April 19, 2012

Wong Wonogiri, Bismar dan Darah Syuhada

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Bismar Siregar telah dipanggil Sang Khalik.
Lahir : 15 September 1928.
Wafat : 19 April 2012.

Mantan Hakim Agung ini dikenal sebagai sosok pribadi yang jujur, bersahaja, dan sederhana. Pria kelahiran 15 September 1928 ini menjabat Hakim Agung dan pensiun sejak 17 tahun silam.

Beberapa pegiat antikorupsi mensejajarkan Bismar Siregar dengan mendiang Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung Baharuddin Lopa, dan almarhum Hoegeng Imam Santoso, Kepala Polri era 1968-1971.

Saya mengenal secara tatap muka untuk pertama dan terakhir kali, di tahun 1999. Tepatnya pada tanggal 17 Desember 1999, di Gedung Indosat, Jakarta Pusat. Saat itu berlangsung pengumuman pemenang Lomba Karya Tulis Teknologi Telekomunikasi dan Informasi (LKT3I) III/1999 yang diselenggarakan oleh PT Indosat.

Sebagai salah satu finalis saya memasukkan artikel saya yang sebelumnya pernah dimuat di harian Solopos (25/9/1999), berjudul “Bila Demam Bisnis Internet Makan Korban.”

Artikel ini membedah fenomena mabuk bisnis dotcom yang menggila saat itu, yang asal tubruk untuk mendigitalkan segala macam hal, sembari tidak mengacuhkan perbedaan antara model berbisnis di alam nyata, brick and mortar, dengan model bisnis di alam maya. Bisnis digital para pemabuk itu akhirnya bertumbangan dan Internet sempat mendapatkan reputasi buruk.

Kini kehadiran blog, yang tidak banyak membuat orang dibakar eforia, justru menjadikan Internet benar-benar sebagai ancaman konkrit bagi bisnis mainstream media, sekaligus membukakan wacana demokratisasi media yang berada di tangan warga.

Pada malam pengumuman, saya meraih Juara Harapan I Kategori Kelompok Umum dalam lomba karya tulis yang juga didukung oleh Harian Kompas, Republika, Gatra dan LIPI.

Darah syuhada. Saat itu bertepatan dengan bulan puasa. Sebelum pengumuman pemenang, ditampilkan pidato siraman rohani yang diberikan oleh Bapak Bismar Siregar. Ucapan beliau yang nampak menyemangati para peserta lomba, antara lain dengan mengutip pendapat yang bagi saya terasa sakral.

Bismar Siregar mengatakan, “Setetes tinta penulis lebih mulia daripada darah syuhada."

Ucapan yang menggetarkan. Tidak terlupakan. Semula saya kira ucapan tersebut bersumber dari kitab suci Al-Quran. Syukurlah, beberapa tahun kemudian saya memperoleh informasi bahwa itu merupakan ucapan salah seeorang ulama klasik asal Siria, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, 1292-1350.

Terima kasih, Bapak Bismar Siregar.
Selamat jalan. Semoga Anda sejahtera disisiNya.


Wonogiri, 19 April 2012

Sunday, March 11, 2012

Ir Hardoyo Rajiyowiryono,M.Sc, Museum Karst Dunia Wonogiri dan Kenangan Mandungan

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Selamat jalan, Mas Hardoyo Rajiyowiryono,
untuk kembali kepada Sang Khalik.

Kabar mengejutkan kemarin malam (10/3/2012) dari Harsoyo Rajiyowiryono, segera melambungkan kenangan saat kita sering guyon di Sanggar Mandungan, Solo, tahun 1970-an.

Saat itu sampeyan kuliah di Geologi UGM (lulus 1980), tetapi sering membawa majalah sastra Horison dan Budaya Jaya, untuk bahan mengobrol. Juga berbagi lelucon tentang Nasarudin Hoja.

Dalam album foto online yang memajang suasana reuni alumni Teknik Geologi UGM (Hardoyo di sebelah kanan) yang diselenggarakan tanggal 8 Agustus 2009, tersaji ulasan berbunyi :

r hardoyo rajiyowiryono,m.sc, r hardoyo rajiyowiryono,m.sc (kanan) slumnus teknik geologi ugm, reuni tahun 2009, meninggal dunia di bandung, 10 maret 2012

Pendekar Kembar. Tahun 70-an di Geologi UGM ada 3 orang yang sangat nyeni di bidang tulis menulis di antaranya Hardoyo Rajiyowiryono, Harlianto Toto Sudibyo (HTS/Totok) dan Widiyandito (almarhum).

Mereka bertiga membuat Mading HMTG yang terbit sebulan sekali (maklum waktu itu tdk bisa berlangganan koran, baru akhir 70an Geologi berlangganan KR yang bisa dibaca oleh mahasiswa). Puisi-puisi Hardoyo dan Totok sering dimuat di majalah remaja Aktuil (Remi Silado). Sedangkan karikatur-karikatur Widiandito yang menggelitik sering mucul di bulletin board HMTG/Geologi.

Waktu malam ramah tamah kemarin Hardoyo sempat membacakan Puisi2 HTS yang bagus dan seperti gaya puisi2 penyair mabuk Sutarji KB. Foto ini adalah mutakhir penyair Rendra dan Putu Wijaya Geologi UGM yang sudah membengkak tapi juga mulai keropos (Deskripsinya Wak Mufti 71).


Puisi mbeling karya Hardoyo juga akan terus dikenang karena sarat humor dan pesan ironi yang mengunjam. Dalam buku Puisi mBeling: Kitsch dan Sastra Sepintas susunan Soedjarwo,Th. Sri Rahayu Prihatmi dan Yudiono K.S. (Yayasan IndonesiaTera, 2001) telah tersaji dua karyamu :


Cultural Shock

dalam sebuah pesta
polos
seorang anak
berkata :
"mami,
"e-ek!"


Religi

pernah kuangankan
tuan bersujud
bagai manusia
lalu membuang airseni dari
langit dan aku
menganga di bawahnya.


Heboh piramid. Kontak terakhir saya dengan Mas Hardoyo terjadi via SMS bulan lalu. Saat itu saya tanyakan pendapat Mas Doyo tentang heboh piramid Sadahurip. Anda mengeluh, "itulah Indonesia kita," dan lalu berharap bisa mudik ke Solo untuk berbagi kabar dengan Si Benk (Mas Noyo) dan juga dengan saya.

Tuhan ternyata berkehendak lain.
Mas Doyo lahir di Solo, 30 Oktober 1950.
Wafat di Bandung, 10 Maret 2012.

Beliau menempuh pendidikannya di SMA Negeri 1 Solo, kemudian di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada dan selesai sebagai sarjana geologi pada Tahun 1980. Kemudian beliau melanjutkan studinya di Department of Geology, University of Wollongong, Australia dengan meraih gelar master science (honours) in geology, majoring in environmental geology, tahun 1990.

Saya ikut berdoa semoga arwah Mas Doyo diterima dengan sejahtera di sisiNya. Semoga pula, istri beliau mBak Endang Lestari, kedua putranya Aditio Baskoro Hardoyo dan Pradipto Isworo Hardoyo, diberi ketegaran dan ketabahan, untuk terus melanjutkan cita-cita luhur Mas Hardoyo.

Wonogiri tidak akan lupa jasamu. Saya sebagai warga Wonogiri tidak akan melupakan jasa besar Mas Hardoyo. Monumen karya abadinya, Museum Karst Dunia, akan selalu menjadi kenangan atas jasa-jasa beliau dan juga Badan Geologi tempat beliau berkarier. Sebuah situs berita menegaskan hal tersebut :

Publik Wonogiri Berduka
Tokoh Pembangunan Museum Karst Dunia Tutup Usia

Aris Arianto - Timlo.net
Minggu, 11 Maret 2012 | 13:55 WIB

Wonogiri – Salah seorang tokoh yang ikut aktif dalam pembangunan Museum Karst Dunia (MKD) Wonogiri Hardoyo Rajiyowiryono menghembuskan nafas terakhir tadi malam, Sabtu (10/3). Dia meninggal dunia lantaran menjadi korban kecelakaan di Bandung Jawa Barat.

Jenazah saat ini disemayamkan di rumah duka Bandung. Dan akan dikebumikan, Minggu (11/3) selepas sholat Dzuhur.

Harsoyo-adik kandung almarhum- ketika dihubungi Timlo.net melalui sambungan telepon seluler mengatakan kakaknya akan dimakamkan di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Nagrog Bandung. ”Rencananya (pemakaman-red) setelah Dzuhur, atau paling lambat sekitar pukul 14.00 WIB siang ini juga “ tuturnya.

Kepergian sosok penting dalam pembangunan MKD meninggalkan kesedihan terutama bagi masyarakat Pracimantoro, lokasi berdirinya museum. Triyono Rahardjo tokoh masyarakat sekaligus Direktur Cabang LSM Gagasan Anak Negeri (GAN) Wonogiri berujar nama Hardoyo lekat di hati warga Pracimantoro.

“Khususnya sejak wacana hingga usai pembangunan MKD, nama almarhum begitu dikenal warga, sebab apa yang dikerjakannya sangat nyata, sehingga publik memiliki sebuah ikon kebanggaan yang mendunia,” Triyono menuturkan.

Tautan lanjut. Biodata Mas Hardoyo dan cita-citanya tentang masa depan Indonesia dapat Anda simak dalam artikel menarik berjudul Mengenalkan Geo-risk Sebagai Bagian Dari Mitigasi Bencana, Warta Geologi, Juli 2006 dan Memposisikan Kembali Kedudukan Geopolitik Indonesia, Warta Geologi, Juni 2008.



Wonogiri, 10-12 Maret 2012

Wednesday, January 4, 2012

Eyang Murtidjono Dalam Kenangan Rekan dari Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id


Cerita lucu dari Marshall McLuhan tidak berlaku di Taman Budaya Surakarta siang itu.

Cerita tersebut bersumber dari buku terkenalnya Understanding Media : The Extensions of Man (1965).

Buku ini saya beli di Toko Buku Gramedia Gajah Mada Jakarta, 25 Mei 1977. Hasil honor menulis di koran Merdeka, Minggu, Februari 1977.

Nabi media asal Kanada ini pernah cerita tentang suku buta huruf asal Afrika ketika ramai-ramai menonton film. Karena memahami cerita dalam film dibutuhkan keterampilan literasi yang tinggi, film bagi suku Afrika film menjadi tontonan yang membingungkan mereka.

Ketika ada tokoh yang kena tonjok dalam sesuatu adegan, lalu menghilang dari layar, muncul kehebohan. Para penonton asal benua hitam itu akan ramai-ramai berlarian ke belakang layar. Mereka ingin mengetahui nasib aktor tersebut.

“Menyaksikan filmnya Charlie Chaplin, The Tramp, penonton film Afrika menyimpulkan bahwa orang-orang Eropa itu tukang sihir hebat. Karena mereka mampu menghidupkan mahkluk-makhluk yang telah meninggal,” demikian cerita McLuhan.

Numpang mandi. Film tentang seseorang yang telah meninggal juga ditayangkan di siang teduh, Rabu, 4 Januari 2012, di Taman Budaya Surakarta, Solo. Taman ini kemudian bernama Taman Kebudayaan Jawa Tengah.

Saya ikut menonton adegan yang tersaji. Sayangnya dalam layar yang pucat, karena lumens proyektornya tidak mampu menyaingi sinar matahari pendopo besar tyersebut.

Seseorang yang meninggal itu bernama lengkap Drs. Martinus Joseph Murtidjono (61). Nama gelarnya dari Kraton Surakarta : Kanjeng Raden Tumenggung Sudjonopuro. Tahun 1975-1980, di Sanggar Mandungan Muka Kraton Surakarta, saya mengenalnya sebagai Eyang Murti.

“Murti baru belakangan gabung di Mandungan,” tutur Sudarto (76), pegawai Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo era 70-an. Saat itu pria kurus asal Mangkubumen Solo itu, memiliki kulit kehitaman yang terkenal dengan ciri syal yang selalu melingkari lehernya, menjelang lulus kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada.

“Kalau Murti datang dari Yogya,” lanjut Mas Darto, “pasti nginepnya juga di Mandungan. Kalau pagi, bawa ciduk isi sabun, sikat gigi dan odol, untuk menumpang mandi di Sasonomulyo.” Di Mandungan, yang saya ingat, ia sering membawa mesin tulis. Flute. Memainkan gitar, nomornya Villa Lobos. Naiknya Yamaha bebek hijau.

Ia juga memberi saya bacaan menarik. Himpunan guntingan cerita bersambung dari harian Kompas yang dilanggan oleh ayahnya, tokoh Tentara Pelajar (TP) yang terkenal di Solo : Mardeyo Jungkung.

Antara lain cerita thriller, saya lupa judulnya, tentang agen rahasia Perancis yang berusaha membongkar kudeta merangkak yang dilakukan justru oleh presiden Perancis yang ingin menjadi satelit Uni Sovyet di masa perang dingin. Juga cerita berjudul Salamander yang menegangkan.

Minatnya terhadap thriller kiranya yang juga membuat Murtidjono tak jarang berbagi cerita dengan saya. Ia suka sinis atau getol melucukan cerita-cerita perjuangan fisik tokoh-tokoh seangkatan ayahnya saat mereka berperang melawan Belanda. Utamanya untuk cerita-cerita yang menurutnya fiktif, rekaan atau yang bombastis.

Ketika mengintip sebagian buku yang ia bawa ke Mandungan, antara lain saya menemui nama Søren Kierkegaard sampai Teilhard de Chardin. Sebagai mahasiswa Fakutas Keguruan Teknik (FKT) Jurusan Mesin UNS, yang terbius ikut berkesenian di Mandungan, saya tidak ngeh atas nama-nama itu. Bahkan sampai kini.

Tetapi pertarungan intelektual antara kita, yang menarik dan bikin kecanduan sehingga berlangsung hampir tiap malam, adalah saat kami bertanding main scrabble. Benar-benar malam demi malam Mandungan sering sama-sama kita habiskan.

Kompetitornya bukan main-main. Ada Profesor HB Sutopo (almarhum), Conny Suprapto, Marsudi, Broto Dompu (Ekonomi UGM), juga Narsen Afatara yang kandidat doktor dan dosen Seni Rupa UNS. Saat ketemuan di Taman Budaya Surakarta tadi Cak Narsen mengaku sambil tertawa : “Saya dulu bagian yang kalahan.”

Karena meneruskan belajar ke UI, saya meninggalkan Mandungan tahun 1980. Bisa ketemu lagi dengan Eyang Murti, tanggal 9 Desember 1982, di Pemakaman Kajen, Wonogiri.

Tidak saya duga, dirinya bersama Anang Syahroni, Putut Handoko Pramono dan Wahyu Sukirno, ikut melayat saat ayah saya Kastanto Hendrowiharso (54) meninggal dunia.

Di tahun 2007, saat membaca-baca koran Solopos yang mewartakan bahwa Pak Topo dan Eyang Murti pensiun, saya telah menulis kenangan di blog saya. Berkat tulisan itu pula saya bisa kontak lagi dengan Murti.

Lewat email, sms dan Facebook, kami berhubungan. Juga saat Murti dirawat di Rumah Sakit Brayat Minulyo. Saya baru tahu belakangan ia sakit leukemia. Ini penyakit seniman yang lebih elit, cetus sahabatnya, Efix Mulyadi. Saat itu ia via sms mengatakan “telah diperbolehkan pulang, jangan kuatir.”

Jalan kebudayaan. Mas Darto, Mas Ardus, Agustinus Sumargo, Basnendar, Budi, Hajar Satoto (diatas kursi roda), Cak Narsen, Prof. Darsono, Anang Syahroni, Gunarni, Harsoyo, Listyawati, Mayor Haristanto, Niken, Prof. Rustopo, Yantono, saya dan ribuan warga komunitas seniman Jawa Tengah dan DIY, siang itu bisa dipersatukan kembali dalam satu situasi yang sama. Sama-sama merasa kehilangan atas wafatnya Murtidjono.

“Saya pribadi harus berterima kasih kepada Mas Murti, karena dirinya telah mempertemukan saya dengan para raksasa seniman hebat yang berkiprah di Solo,” kata Halim HD, networker kebudayaan yang mengenal almarhum sejak 40-an tahun yang lalu.

“Kami sama-sama kuliah di Filsafat UGM, satu tahun tidak pernah ketemu di kampus. Tetapi ketemuannya di jalan kebudayaan. Termasuk ketika di tahun 1978 Mas Murti mengundang saya ke Solo. Ketika itu Mas Murti sedang membidani embrio Taman Budaya Surakarta,” cetus Halim HD dalam orasi yang sangat emosional.

Sejak itu, dalam hitungan masa 26 tahun, lanjutnya, Murtidjono ia sebut telah berhasil membangun fondasi yang kemudian memunculkan Taman Budaya Surakarta sebagai “rumahnya seniman, rumahnya rakyat, sekaligus rumahnya kebudayaan rakyat.”

Kontroversial. Film yang menggambarkan sebagian fragmen kehidupan Murtidjono itu saya lihat dari arah belakang layar. Seperti saat kita menonton wayang.

Tak ada narasi dalam film itu. Karena narasi yang mendominasi saat itu adalah urutan upacara penyerahan jenazah dari fihak keluarga kepada fihak Taman Budaya Jawa Tengah. Disusul upacara keagamaan secara Katholik. Ucapan belasungkawa dari kalangan seniman, termasuk dari seniman Yogyakarta yang diwakili Landung Simatupang. Pembacaan riwayat hidup Murtidjono hingga doa pemberangkatan.

Di film itu nampak Murti sedang berpidato yang didampingi istrinya, Ningsri Sadiarti. Saya baru tahu saat itu, ia adiknya Bambang Sumantri yang teman kuliah saya di FKT-UNS, Jurusan Mesin.

Pasangan Murti-Ningsri di film itu nampak ceria. Banyak senyum. Sepertinya Murti sedang memuji atau berbagi cerita lucu tentang istrinya kepada audien.

Adegan yang memikat kemudian adalah saat Murti mencium pipi istrinya. Adegan pasangan suami-istri yang dikaruniai putra-putri Gernatatiti (menantu Panji Nugroho), Bramwasdanto dan Oki Nandhi Wardhana sangat mengesankan. Membahagiakan.

Tetapi adegan film berikutnya bagi saya kontroversial. Ada deretan bapak dan ibu, sepertinya semuanya pegawai negeri. Mereka semuanya nampak berpakaian resmi, berlaku takjim dan bahkan dengan gesture menunduk-nunduk. Mereka berbaris berurutan untuk bersalaman dengan Eyang Murti yang didampingi istrinya.

Mungkin ini acara halal-bihalal. Atau peringatan ulang tahun dirinya. Tetapi Murtijono saat itu tampil tanpa jas. Juga bukan berbaju batik. Melainkan hanya dengan kaos warna hitam. Bahkan tanpa lengan. Seperti foto dalam profil pribadinya di akun Facebook (foto).

“Kontroversial. Itulah kakak saya itu,” demikian awal pidato dari fihak keluarga yang berduka. “Dalam pertemuan keluarga, baik eyang sampai orang tua kami, kalau ada sesuatu yang menurut kakak saya dianggap keliru, ia akan mengritiknya. Tetapi sebenarnya, di balik itu ada keinginan yang baik, untuk menuju sesuatu yang lebih baik.”

Cerita satu ini mengingatkan saya komentar seorang nara sumber dalam acara balap mobil F-1 di televisi ketika mengobrolkan sosok pembalap F-1 dari tim Scuderia-Ferrari, Fernando Alonso.

Komentator itu bilang, “kalau pembalap bagus, sebagian besar orang menyukainya. Tetapi bagi pembalap yang hebat, pasti ada sebagian yang menyukai dan sebagian lain membencinya.” Mungkin itu pula profil sosok seorang sahabat yang bernama Murtidjono.

Adios, amigo. Siang itu, jam 11.13, mobil jenazah PDIP Surakarta yang bagian belakangnya ada fotonya Jokowi-Rudi, berangkat meninggalkan pendopo Taman Budaya Jawa Tengah. Membawa peti jenazah rekan saya yang sesama aktivis di Mandungan, di masa-masa muda dulu.Makam keluarga Njithengan-Kayangan, Karangpandan, Karanganyar, kini menjadi tempat istirahatnya yang abadi.

Film tentang Murtidjono sebagai insan, sebagai seniman, juga tentang hidup kita atau mereka yang pernah bersentuhan dengan dirinya, baik yang suka atau yang benci, semoga akan tetap tertayang di layar kehidupan kita masing-masing.

Demikianlah siang itu akhirnya film tentang sobat Murtidjono selesai ditayangkan. Layar pucat itu kembali putih bersih. Ketika sosoknya hilang dari layar, tidak seperti perilaku suku Afrika dalam kisah McLuhan, saya tidak mencari-cari dirinya ke balik layar.

Karena saya sudah ada di sana. Di balik layar. Sambil merangkai kenangan yang berkelebatan di benak tentang dirinya. Saya mengharapkan sobat Murtidjono kini sudah berada di tempat lain, di tempat yang paling enak. Paling baik dari yang terbaik. Di sisi Sang Khalik.

Selamat jalan, sahabat.
Sugeng tindak, Eyang Murti.


Wonogiri, 4 Januari 2012