Saturday, May 19, 2012

The Cabuk Story

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Si Hitam. Diplomasi mengenalkan cabuk Wonogiri rupanya butuh waktu puluhan tahun.

“Apa makanan khas Wonogiri ?” itu tanya Pak Taufik Soedarbo, diplomat yang malang melintang di Afrika, Eropa, dan terakhir di Timor Timur menjelang kemerdekaannya. 

Bersama dengan Ibu Bintari Tjokroamijoyo, istrinya, dan Anez, putrinya yang cantik dan kharismatik yang mahasiswi Arkeologi UI, kami ngobrol sambil makan malam. Ada sambal trasi di cobek, dan Pak Dubes makannya secara dipuluk.

“Cabuk,” jawab saya.

Mereka semua tidak faham.Tidak mudah menjelaskan makanan berbentuk pasta, hitam pekat, terbungkus daun pisang yang dipanggang api, beraoma daun kemangi, gurih, lumer dan bisa juga terasa pedas. Disantap bersama nasi hangat, terasa nikmat sekali.

Itu kejadian tahun 1986 di Cilandak, Jakarta.
Sejarah berulang.
Desember 2011 yang lalu.

Kini saya sengaja membawa cabuk langsung dari Wonogiri. Bisa kembali mengobrol lama dengan Pak Taufik, tetapi Ibu Bintari dan Anez tidak bersama kita lagi. Ibu wafat tahun 2007 dan Anez, kelahiran Brussels itu meninggal dunia di Bali, 2005. Saya sempat ziarah ke makamnya, di TPU Jeruk Purut.

Kembali ke cabuk. Yang kemudian memberi komentar justru kakaknya Anez, Mas Anto dan mBak Devi, istrinya. Mereka menyebutnya enak dan bertanya-tanya : “Di manakah bisa dibeli di toko Jakarta ?”

Apakah Anda masih sering kangen menyantap cabuk ?

Di Wikipedia, cerita tentang Wonogiri juga menyebut makanan cabuk, yang “akan lebih nikmat apabila disantap bersama-sama dengan  gudangan, yakni makanan yang berupa sayur-sayuran yang telah direbus dicampur dengan sambal dari parutan kelapa.”

Bahan dasar cabuk adalah wijen, dimana wijen dikenal sebagai ratunya minyak yang berasal dari tumbuhan biji-bijian (queen of the oil seed crop) karena keunggulan nilai gizi dan manfaat kesehatannya.

Untuk keluarga Pak Taufik, Mas Anto & mBak Devi, ada keinginan mengirimkan cabuk kepada mereka. Yang masih mengganjal : apakah tidak terjadi perubahan kimiawi selama dalam perjalanan bila dikirim via jasa kurir ? Jangan-jangan nanti membusuk, dan bahkan beracun :-( ? Bagaimana pengepakan yang terbaik ?

Apakah Anda punya pengalaman yang bisa Anda bagikan ?
Matur nuwun. Saya nantikan.

Wonogiri, 20 Mei 2012

No comments: