Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id
Email itu datang dari New Haven, Connecticut, Amerika Serikat. Pengirimnya Tinuk R. Yampolsky. “Mas Heri Teksi, ini Tinuk. Mungkin nama ini sudah tenggelam dalam ingatan mas Heri, tapi kita pernah saling tahu lebih dari 20an tahun yang lalu ketika Kamandungan sempat menjadi pos bagi para teman-teman yang hidupnya setengah mbohemian. Mudah-mudahan ingat. Kebetulan sekali waktu aku cari-cari artikel tentang Indonesia di Google, menemukan website anda. Jadi aku coba contact.”
Dua puluh tahun lalu saya punya nama sebagai seniman : Hariteksi B. Haryanto. Kala itu, 1977-1980, saya menjadi aktivis kesenian di Kamandungan, muka kraton Surakarta. Tinuk yang saat itu mahasiswa Sastra Indonesia UNS Sebelas Maret, termasuk juga dalam lingkar pergaulan kalangan aktivis Solo itu.
“Sejak tahun 1987 aku pindah ke AS. Tapi sejak 2001 sebenarnya aku balik ke Jakarta, karena bojoku selama 6 tahun lebih diposkan di Jakarta di kantor Ford Foundation. Sayang sekali kita tak sempat ketemu selama aku tinggal di Jakarta, dan sering balik ke Solo. Mas Murti dan yang lain-lain masih sempat ketemu. Sejak Agustus kemarin aku balik lagi ke AS, karena tugas bojoku selesai. Kami tinggal di Connecticut sekarang, Philip bojoku akan sabbatical setahun dan akan menjadi fellow di Yale University. Anakku satu, dan di High School sekarang.”
Tentu, saya belum lupa akan dirinya. Lalu emailnya saya balas, termasuk menceritakan bahwa aku sempat membaca di surat kabar bahwa Tinuk telah membuat film dokumentasi seputar hilangnya penyair dan aktivis buruh Solo, Widji Thukul, menjelang kejatuhan rejim Soeharto.
Cerita Tinuk di emailnya kemudian : “Tentang Widji Thukul, ini salah satu keprihatinan mendalam yang tak bisa hilang dari pikiranku. Ketika Soeharto jatuh, aku masih di Connecticut. Dan sudah mendengar kalau Thukul tak lagi pernah pulang sesudah beberapa tahun menjadi buronan militer. Dalam jarak sepuluh ribu mile dari tanah air, berita-berita semacam ini bener-bener bikin aku kayak hidup dalam horor. Terutama karena bagaimanapun Thukul adalah salah seorang teman yang kukenal dekat di tahun-tahun ketika kita semua masih aktif di dunia kesenian di Solo.”
Saya juga tahu sosok Widji Thukul. Saat itu mungkin ia masih duduk di SMP ketika dirinya sering hadir dalam pelbagai perhelatan kesenian di Kamandungan dan PKJT Sasonomulyo. Widji Thukul kemudian menjadi penyair, aktivis kesenian dan pejuang buruh.
”All a poet can do today is warn,” demikian tegas Wilfred Owen (1893-1918), penyair Inggris. Widji Tukul yang menulis puisi-puisi tentang kemiskinan dan protes sosial di kala rejim Soeharto dan militer begitu represif, sebenarnya juga menyuarakan peringatan. “Hanya ada satu kata : lawan !,” demikian salah satu mantranya yang terkenal dalam salah satu puisinya. Nampaknya Widji Thukul kemudian harus membayar mahal untuk semua itu. Ia tak lagi pulang ke rumah.
Emailnya Tinuk dan cerita tentang Widji Thukul mengisi benakku saat melakukan jalan kaki pagi, 20/12, menuju arah selatan.
Acara sampinganku : mengirimkan majalah Freekick untuk perpustakaan SMP Negeri 3 Wonogiri. Gedungnya dulu merupakan gedung milik SPG Negeri. Tanggal ini adalah tepat satu tahun meninggalnya Widhiana Laneza, perempuan mempesona kelahiran Brussels, di Denpasar, Bali : tepat tiga hari sesudah pernikahannya.
Jalan kakiku mencapai Tugu Ganesha, monumen yang dibangun mantan Tentara Pelajar di Pencil. Kalau naik bis menuju Pracimantoro, akan kelihatan di sisi kanan. Sebagai guyon, nama kampung ini sering aku sebut sebagai Pencilvania. Kalau mau berjalan setengah kilometer ke selatan lagi, aku mampu mencapai bibir Waduk Wonogiri.
Pada tahun 1990-an sering aku temui rombongan bapak-bapak berjalan kaki menuju tepian waduk ini. Antara lain rombongan Pakde Sukiyo (“ayah Mas Anto, mBak Desi, Mas Chandra, suami dari Bude Harni yang mantan guru geografi SMA Negeri 1 dan mantan Kepala Sekolah SMA Negeri 2”) bersama Pak Mufid, mantan guruku dalam pelajaran bahasa Inggris di SMP Negeri 1 Wonogiri.
Rombongan lain adalah Bah Jomo, pemilik toko kelontong dekat Pasar Wonogiri, bersama rekan-rekannya. Bah Jomo merupakan "ikon" di Wonogiri. Awet muda. Aku ingat, ia pun melayat saat ayahku, Kastanto Hendrowiharso, meninggal tahun 1982. Pernah saya ke tokonya untuk membeli bahan ritsluiting, segera muncul ceritanya. Tentang tokonya yang semakin sepi pembeli, harus mengurangi karyawan, gara-gara di dekatnya berdiri toko swalayan baru.
Dulu juga saya sering ketemu dengan Pak Slamet, asal Jagalan. Ia sering membawa-bawa beban, tongkat besi. Sayang, sesudah pensiun dari DLLAJR, Pak Slamet tidak mudah saya temui lagi di jalanan pagi Wonogiri. Bapak Sarono dari Kedungringin, ayahnya Mas Sigit, juga saling menyapa bila berpapasan di pagi hari. Kini beliau lebih sering saya temui saat mengayuh sepeda.
Di kampung saya, praktis hanya saya sendiri yang rutin melakukan jalan kaki pagi. Soliter. Ada keuntungan tersembunyi ketika menyusuri jalanan pagi secara sendirian itu.
“Beberapa orang melakukan jalan kaki pagi sebagai waktu untuk berdoa, bermeditasi atau berpikir. Secara sendirian melakukan jalan kaki akan membantu Anda memperoleh perspektif dan keseimbangan. Jalan kaki bermanfaat untuk mengurangi stres, menjernihkan pikiran, menggali sisi kreatif Anda, menemukan gagasan-gagasan baru dan memecahkan masalah,” demikian kesimpulan situs AARP (American Association of Retired Persons), organisasi kaum pensiunan Amerika Serikat.
Tawaran beragam keuntungan yang menggiurkan. Untuk memaksimalkannya, saya selalu membawa bloknot dan bolpoin saat berjalan kaki. Ketika gagasan muncul, segera saya menuliskannya. Melakukan jalan kaki pagi secara sendirian juga bermanfaat untuk menjaga jarak dengan lingkungan sekitar.
Dengan posisi ini saya berusaha selalu menjadi wisatawan di kota sendiri, sehingga setiap kali tetap mampu menikmati hal-hal kecil yang mungkin sudah tidak ada nilainya apabila saya telah lebur atau melebur dengan lingkungan. Manfaat lain dari upaya menjaga jarak itu adalah mampu melakukan kritik terhadap ulah kaum birokrat kota Wonogiri ini :
Parodi Parade Penjor
Dimuat : Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 2 September 2006
Manajer MURI, Paulus Pangka, pernah mengeluh karena rekor-rekor yang diajukan ke lembaganya kebanyakan hanya bertumpu pada pencapaian prestasi yang bersifat superlatif. Rekor-rekor superlatif itu seperti X terpanjang, Y terbanyak sampai Z terbesar dan sejenisnya. Menurutnya, rekor semacam itu seringkali tidak unik, tidak berkelas dunia, karena mudah sekali untuk dipecahkan oleh fihak lain. Kasarnya, selama UUD (ujung-ujungnya duit) ditegakkan, maka membuat rekor atau menumbangkan rekor MURI semacam itu menjadi hal yang mudah sekali dilakukan !
Rekor-rekor kelas superlatif dan menjunjung tinggi “UUD” itulah yang kini digandrungi unsur-unsur birokrat pemerintah daerah. Mereka getol memobilisasi massa, mungkin dengan unsur setengah paksaan, terkait acara seremonial seperti HUT Kemerdekan atau Hari Jadi Pemda/Pemkot, dengan mengadakan acara-acara artifisial untuk tujuan meraih rekor MURI.
Sebuah kabupaten di Jawa Tengah pernah mengadakan acara Kirab 1000 Keris, pesertanya membeludak hingga lebih dari 2000. Tetapi konon dari cek acak tim MURI ternyata banyak peserta yang terdiri para pelajar itu membawa keris-keris palsu (birokrat sengaja mengajarkan budaya dusta atau perilaku korup pada generasi muda ?), mengakibatkan piagam MURI batal diserahterimakan. Acara artifisial yang sungguh memboroskan moral dan material !
Dalam memperingati HUT Kemerdekaan RI, jajaran birokrat kabupaten yang sama baru saja mengadakan acara pawai/parade umbul-umbul (bahasa Balinya penjor), juga dengan semangat untuk meraih Piagam MURI. Mereka memobilisasi para pelajar lagi. Adakah makna penting dari fenomena bambu-bambu berujung bengkok, berhias kain warna-warni itu, sehingga harus diparadekan oleh generasi muda kita ?
Saya teringat lelucon pengamat ekonomi Hartoyo Wignyowiyoto yang berlidah tajam dan cerdas itu. Dalam acara televisi di masa Orde Baru ia berkata bahwa budaya Indonesia dapat diibaratkan sebagai sosok penjor atau umbul-umbul itu. Karena selama ini di Indonesia, katanya, mereka yang bengkok-bengkok selalu berada di atas, selalu dihormati, juga dielu-elukan, sementara mereka yang lurus dan di bawah, justru dikubur dan selalu dibenamkan !
Bambang Haryanto
Pemegang Dua Rekor MURI
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia
Wonogiri, 20-21 Desember 2006
tmw
1 comment:
Baik!!!!
Please click and visit! Thanks!
Post a Comment