Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id
Mobil dan megafon.
Itulah peralatan yang menonjol dan terlihat dari kiprah bagian hubungan masyarakat (humas) Kabupaten Wonogiri. Setiap ada hal-hal tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat, mobil dengan petugas humas bersenjatakan megafon itu segera berkeliling kampung.
Saya lupa nama petugasnya yang berhalo-halo itu, walau saya pernah ia boncengkan dengan motor model lamanya dari kantor humas sampai Perpustakaan Wonogiri. Setiap kali beliau berhalo-halo, mudah memancing komentar-komentar jahil. Terutama merujuk kepada laju mobilnya, sehingga pendengar pengumuman itu berpotensi hanya memperoleh informasi yang terpotong-potong.
Misalnya, penjelasan tentang apa dan siapa, boleh jadi terdengar jelas di RT 1. Lalu hari dan tanggal penyelenggaraan, hanya jelas terdengar di RT 2. Sementara informasi mengenai tempat dan jam penyelenggaraan, tak lagi terdengar bagi penduduk RT 1 dan RT 2, dan hanya difahami oleh penduduk RT 3. Sementara penduduk RT 4 hanya memperoleh seruan untuk datang berbondong-bondong, tanpa tahu untuk apa perintah bersangkutan.
Gangguan atau noise dalam berkomunikasi itu semakin diperparah karena modus seruan tersebut masih bercokol pada paradigma pegawai negeri sebagai pangreh praja. Sebagai penguasa. Maka halo-halo itu cenderung sebagai perintah kepada rakyat. Top-down.
Sebagai contoh yang mutakhir, materi halo-halo itu adalah mengajak warga untuk menjaga kebersihan lingkungan. Ajakan itu disampaikan karena sebentar lagi Wonogiri konon segera didatangi tim dari propinsi untuk menilai kelayakan Wonogiri dalam kontes memenangkan Piala Adipura. Rakyat hanya menjadi obyek peserta. Atau bahkan obyek penderita.
Idealnya, ajakan itu disampaikan dalam semangat bottom-up, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Sehingga krida kebersihan dan ikhtiar mereka dalam menjaga lingkungan itu dimaknai sebagai kepentingan warga itu sendiri. Bila ide ini berhasil, maka masalah menguber anugerah itu otomatis terpadu di dalamnya.
Gue, gue, gue ! Petugas humas kabupaten saya itu, dalam istilah dunia strategi berburu pekerjaan, condong menerapkan trik yang disebut WIFM, singkatan dari What's In It For Me. Trik ini jelas-jelas berorientasi kepada kepentingan dirinya sendiri sebagai sebuah sekrup mesin birokrasi.
Ketika kampanye pemilihan umum apa pun, dan juga dalam pilkada, saat jalan kaki pagi di Wonogiri saya menemukan sebagian besar pesan dalam baliho kampanye mereka hampir semua kandidat mengambil posisi WIFM itu. Orang Jakarta akan bilang : gue, gue, gue. Pilih saya, coblos saya, menangkan saya !
Padahal idealnya, seharusnya ia mengejawantahkan pendekatan WIFT, singkatan dari What's In It For Them. Intinya, semua kebijakan, seruan dan ajakan itu pertama kali harus dijelaskan sebagai bermanfaat bagi masyarakat. Masyarakat dimotivasi, agar tergugah. Lalu mereka dapat tergerak mengeluarkan prakarsa, energi dalam bentuk partisipasi sampai ditemukannya solusi-solusi yang inovatif. Bila mampu berjalan, segi positifnya toh juga bakal mengimbas kepada pemerintahan.
Tendangan buat pembuat problem. Perbedaan tajam antara WIFM dan WIFT itu juga dapat disimak dari postingan status di Facebook kita-kita ini. Silakan Anda menghitung sendiri perbedaan persentasi dari kedua titik pandang tersebut. Boleh jadi Anda bisa mulai menghitung dari diri sendiri ?
Dalam ranah strategi berburu pekerjaan dan juga dalam bisnis, mereka yang sadar atau tidak sadar menggunakan pendekatan WIFM itu akan terancam disingkirkan dalam babak awal memperebutkan peluang. Sebab perusahaan akan mempertimbangkan mereka yang mampu memberikan solusi. Sementara mereka yang datang hanya hendak menyodorkan problemnya sendiri, jelas berpeluang kena tendang sejak dini !
Wonogiri, 28/2/2010
tmw
No comments:
Post a Comment