oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id
Ini Nasionalismeku, Bung ! Apa wujud nasionalisme Anda ? Lebih memilih konsumsi produk makanan tradisional, dibanding makanan asal luar negeri. Mendirikan lembaga pengajaran komputer secara gratis sehingga anak-anak Indonesia di lingkungannya bisa melek teknologi. Atau, menjelang 17 Agustus sengaja memasang bendera di stang spion motor dan memekikkan kata “Merdeka !” untuk pengendara motor lain yang memajang bendera Merah Putih pula.
Itulah sebagian dari 62 pendapat pembaca Kompas dalam mengeskpresikan “Ini nasionalismeku !” yang dimuat dalam edisi16 Agustus 2007. Bagi warga RT 01/RW XI Lingkungan Kajen Giripurwo, Wonogiri, ekspresi nasionalisme itu kiranya bisa direntang lebih panjang dan memunculkan gambaran warna-warni.
Antara lain : Bapak Ketua RT, Haji Oemartopo, budayawan terkenal yang kenyang njajah desa milang kori dengan mendalang di kota-kota di Amerika Serikat, lalu masa revolusi tergabung resimen Sunan Lawu di daerah Sragen dan ikut menyerang kedudukan pasukan Belanda di pabrik Mojo, malam 16 Agustus 2007 nampak menyanyikan lagu “Padamu Negeri” bersama anak-anak kecil Kampung Kajen dengan heroik dan bersemangat. Inilah sepotong adegan ekspresi “Ini Nasionalismeku !” dari peristiwa Malam Tirakatan Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-62 di kampung Kajen.
Anda Ingin Mengenal Kajen ? Betul ? Pergilah dahulu ke Paris, kota cahaya, yang ibukota Perancis. Kunjungilah kantor kedutaan besar Republik Indonesia, dan temuilah salah seorang pegawai lokalnya. Ia bernama : Jeff Francois Coctaz. Kepada mantan anggota angkatan laut dan lulusan antropologi ini, sapalah dengan bahasa Jawa.
Atau bila ingin cepat lebih akrab, panggil saja dengan sebutan Mas Paimin. Lalu tanyakanlah hal seputar Kajen kepadanya. Tanyakan apa ia masih ingat nama Bapak Oemartopo. Nama mBak Nur. Bapak Suroto yang Kaling Kajen. Juga masing-masing nama anak keluarga almarhum Kastanto Hendrowiharso. Tahun 70-an Jeff Coctaz, pernah agak lama tinggal di rumah keluarga Kastanto sebagai sahabat Barry Hendriatmo, salah satu anak keluarga ini. Sejak itu Jeff ibarat sebagai warga Kajen yang kini sedang mengembara di Perancis.
Memang di halaman rumah keluarga almarhum Kastanto inilah acara malam tirakatan 17 Agustus-an tahun 2007 digelar oleh warga Kajen. Secara lesehan. Di sisi barat halaman berukuran 6 x 12 meter ini dipakai sebagai panggung dengan dekor tulisan yang dirancang oleh Jumplong dari Biro Iklan JDI, juga warga Kajen. Lengkung-lengkung kain warna merah-putih di lisplang rumah menjadi aksen yang kental dalam menggugah semangat kebangsaan.
Penjor atau umbul-umbul warna-warni siangnya telah dipasang oleh Mas Parno. Ia punya sebutan angker, yaitu si Jack of All Trades alias McGyver-nya Kajen. Karena suami mBak Tien dan pria peramah asal Cepogo Boyolali yang sudah ajur-ajer sebagai wong Kajen sejak 1974 ini memang memiliki keperampilan serba bisa dalam krida pertukangan. Tetapi tukang santet dan tukang tenung tidak termasuk dalam keterampilannya.
Di pinggiran tempat duduk para pengunjung malam itu dikepung deretan tanaman adenium yang sedang mekar berbunga, koleksi Ibu Iwin M. Taufik, sang tuan rumah. Fasilitas pengeras suara dioperatori oleh Mas Giyadi, warga setempat. Pembawa acara adalah Suharto, tokoh karismatis dan flamboyan dengan sebutan gaul sebagai fish hunter yang sangat terkenal di Pasar Wonogiri.
Memang ia tidak atau belum memiliki kapal pukat harimau atau kesana-kemari selalu membawa harpoon seperti orang Eskimo, tetapi label pemburu ikan yang tertera dalam mobilnya menunjukkan siapa dia. Yaitu entrepreneur kelas kakap urusan kakap, walau sering yang ia urusi untuk bisnis sehari-harinya kebanyakan tongkol, gereh dan juga bandeng. Di Kajen ia memiliki jabatan resmi : Ketua K3.
Kakap, Kerapu dan Kepiting ?
Oh, bukan. Menurut Haryono, Sekretaris RT 01/RW XI, K3 merupakan kepanjangan dari kebersihan, ketertiban dan keamanan. Tema serupa K3 itu ternyata juga menjadi landasan dasar bagi penyelenggaraan beragam kegiatan merayakan hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia Ke-62 di Kampung Kajen.
Meretas Tesis Clifford Geertz. Hal di atas diungkapkan oleh tokoh masyarakat yang terpandang di Kampung Kajen, Bapak H. Wiloso, BA, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia HUT RI Ke-62 Lingkungan Kajen. Bahkan beliau memiliki cerita menarik yang selama ini seolah terpendam di bawah karpet. “Kampung Kajen kita ini, disadari atau tidak, penduduknya selama ini telah terbelah oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu,” kata beliau kepada “wartawan” blog Kajenku, Bambang Haryanto (20/8/2007).
Sekadar gambaran : lingkungan Kajen ini terdiri atas 6 RT. Ada 3 RT di bagian barat dan sisanya di bagian timur. Batas demarkasi yang “membelah” keduanya adalah Jl. Ahmad Dahlan yang merupakan jalan besar untuk bus jurusan Solo-Pracimantoro melintas. Pembelahan antar keduanya sepertinya sesuai dengan tesisnya antropolog terkenal Clifford Geertz.
Kita lihat, untuk Kajen Kulon (Barat) populasinya didominasi oleh kaum santri, tetapi di Kajen Wetan (Timur) oleh kaum abangan. Kajen Barat adalah masyarakat golongan elit, para pegawai negeri, sementara di Kajen Timur kebanyakan kalangan buruh tani. Kalau Pemilu, maka yang menang di Kajen Barat adalah PAN dan di Kajen Timur adalah PDIP atau Golkar. Ada pula perbedaan lain dari segi profil demografi penduduknya : di Kajen Barat relatif sedikit warganya yang berusia anak-anak dan remaja, sementara di Kajen Timur penduduk usia golongan ini berjubelan.
“Kajen adalah Kajen ! Nasionalisme untuk Kajen yang satu,” demikian tegas Pak Loso. Beliau menginginkan adanya ukhuwah alias persaudaraan untuk sesama warga Kajen tanpa adanya pembedaan-pembedaan yang tidak prinsip. Sosok beliau memang dapat dijadikan sebagai contoh. Ia berasal dari Kajen Kulon, tetapi karena luwes, ia pun bisa dengan enak berbicara dan bergaul dengan warga Kajen Wetan. Untuk mengikis kendala di atas, ia optimis akan teratasi oleh generasi-generasi yang akan datang. Sekadar contoh, sudah banyak anak-anak Kajen Timur yang bersekolah, misalnya TK Aisyiyah sampai SD dan juga SMA atau SMK Muhammadiyah yang terletak di Kajen Barat. “Tahun depan, sebaiknya lomba untuk anak-anak bisa memakai halaman sekolah-sekolah itu,” usul Bapak Wiloso. “Memanglah, menyemaikan kebaikan itu butuh sabar, karena untuk memetik buahnya memang dibutuhkan waktu,” tutur beliau dengan bijak.
Kajen Semarak ! Kebijakan itulah yang memandu panitia dalam memilih kegiatan lomba. “Jangan memilih lomba atau pertandingan yang mampu memicu tindakan kekerasan,” demikian angger-angger atau pedoman yang beliau gariskan. Pembiayaannya jangan memberatkan warga di tengah perekonomian yang masih sulit. Jangan sampai ada resiko cedera.
Awal Agustus 2007, pelbagai lomba mulai diselenggarakan. Baik untuk anak-anak, kaum remaja, kaum ibu dan juga kaum bapak. Sebagian besar diselenggarakan di venue utama, yaitu lapangan voli mBelik (Kajen Timur, Rt 01/XI), yang hanya beberapa belas meter dari tepian Bengawan Solo yang airnya di bulan Agustus mengalir tenang.
Perlombaan Anak-Anak (TK-SD).
Dengan arahan koordinasi Fajar Hartanto (Rt 3/RW X), tanggal 5 Agustus 2007, dibuka dengan lomba pukul air perorangan. Adik-adik kita yang bersukaria dan berbasah-basah ini akhirnya menelurkan Juara I – Bestin (1/XI), Juara II – Dila (2/X) dan Juara III – Diki (2/X).
Mayasari (bukan nama bis di Jakarta) dari Rt 02/RW XI kemudian memimpin lomba unik : memasukkan pensil ke dalam botol. Kembali kita sebut nama Bestin (1/XI) karena ia tampil sebagai juaranya, disusul Krisna (1/XI) dan Vian (1/XI) sebagai juara ketiga. Selanjutnya ajang lomba menjadi arena gelak tawa akibat kemunculan beragam badut dengan cemong-cemong warna hitam di wajah mereka. Dengan koordinasi Fandi (Rt 3/XI) belasan anak-anak mengadu kekuatan giginya untuk mengambil koin dari buah melon. Sokurlah buahnya melon, bayangkan bila yang dipilih panitia adalah buah durian. Bisa wajah-wajah mereka godres getih ya ? Ah, kasihan. Inilah juaranya : Krisna (1/XI), Ninis (3/X) dan disusul Nanda (1/XI).
Masih dalam suasana hari yang cerah di Kajen, Minggu sore itu diramaikan dengan anak-anak yang berlarian, sambil mengundang deg-degan para orang tua mereka. Mereka sedang ikut lomba lari kelereng, walau bukan ke lereng bukit. Tetapi yang dimaksud adalah biji kelereng atau sebutan lainnya adalah gundu, yang ditaruh di dalam sendok yang tergigit di mulut-mulut mereka. Lomba seru di bawah koordinator Dito (1/X) kembali memunculkan nama Bestin (1/XI) sebagai juara pertama. Ia melakukan hattrick setelah memenangkan lomba pukul air, memasukkan pensil ke botol dan kemudian lari kelereng. Juara keduanya, Angga (1/XI) dan disusul Yogya (2/X).
Lomba makan kerupuk, yang bila diartikan secara harafiah entah berapa tombong kerupuk yang bakal habis diserbu oleh puluhan anak-anak Kajen, akhirnya memunculkan lagi nama Ninis (3/X) sebagai juara pertama, disusul Arin (1/XI) dan Galih (2/XI) sebagai juara ketiga. Kriuk, kriuk, kriuk.
(Bersambung)
tmw
1 comment:
ditunggu lanjutannya gan....
----------
STMIK Jakarta
Post a Comment