Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id
Tsunami sepakbola. Mie mentah dan dingin campur saus plus sambal. Itu salah satu menu sarapan saya pagi itu. Ini kesalahan pemula. Kesalahan wong ndeso di kota metropolis Singapura. Karena saya tidak sadar bahwa di dekat nampan mie itu ada kompor gas kecil yang diatasnya terdapat kuali tembikar berisi kuah panas untuk menjerang mie tadi. Maklum saja, saya bukan ahli gastronomi.
Sambil sarapan, saya membuka-buka majalah Newsweek edisi terbaru. Salah satu kolomnya ditulis editornya yang cemerlang, Fareed Zakaria. Hari itu, 17 Januari 2005, hanya berselang tiga minggu setelah tsunami dahsyat menghantam Aceh dan negara-negara di tepian Samudera Hindia.
Fareed Zakaria menulis, dalam setiap kejadian bencana, fihak yang diuntungkan adalah justru kaum papa. Kaum miskin. Mereka terbiasa tidak memiliki apa-apa dan sesudah bencana, mereka kembali juga tidak memiliki apa-apa. Tetapi, lanjutnya, bencana tsunami 2004 itu lain. Kaum miskin kali ini juga sangat merasakan akibat fatalnya.
Beberapa hari sebelumnya, saya memimpikan adanya sesisir penghiburan bagi para korban tsunami, juga bagi psyche bangsa Indonesia saat itu. Melalui sepakbola. Di final Piala Tiger 2004. Di semifinal tim kita bisa menghancurkan Malaysia 1-4 di kandang mereka, sungguh menggelorakan.
Tetapi dalam pertandingan final leg pertama di Senayan, 8/1/2005, kita kalah ditekuk Phill Bennet dan kawan-kawan dari Singapura dengan 1-3. Gol tembakan bebas Mahyadi Panggabean tidak menyelamatkan saya, yang duduk di pinggir lapangan, karena nyaris dihantam bom botol air mineral berisi air kecing kekuningan yang dilemparkan oleh penonton kita yang frustrasi dari tribun stadion.
“Heal the nation.” Itulah bunyi spanduk besar, rancangan saya dan Mayor Haristanto, yang pada tanggal 16/1/2005, terpampang di sudut timur laut Stadion Kallang, Singapura. Tergurat di sana harapan, melalui sepakbola sembuhkan luka bangsa Indonesia akibat bencana tsunami, dan bangkitlah Indonesia untuk meraih kemenangan dan kejayaan. Kita kalah lagi, 1-2. Agregat : 2-5 untuk kejayaaan Aedi Iskandar dan kawan-kawan dari Negeri Singa itu. Tsunami sepakbola Indonesia kali ini membawa dampak lebih jauh. Mengalir kepedihan sampai kini.
Sepakbola fantasi. Esoknya, ada sedikit penghiburan. Koran utama Singapura, harian The Straits Times (17/1/2005) memuat ucapan saya. Bahwa saya masih punya optimisme terhadap masa depan sepakbola Indonesia. Saya masih mempercayai bahwa Peter Withe, pelatih timnas saat itu, akan mampu membuat timnas kita kembali berjaya.
Optimisme saya itu mungkin optimisme buta. Saya hanya menganalogikan sukses yang dicapai oleh Peter Withe (sampai saya membuat kaos dengan slogan : I Believe The Withe Magic !) ketika melatih tim Thailand, akan juga berbuah sukses ketika melatih Ponaryo Astaman dan kawan-kawan.
Ketika Peter Withe pergi, ketika Nurdin Halid masuk penjara karena tindak pidana korupsi dan ketika Nurdin Halid keluar dari penjara tetapi ia bersama kroninya tetap bersikukuh ingin memegang kendali PSSI, saya kali ini sudah putus harapan. Melalui stasiun televisi antv, beberapa hari lalu, tiba-tiba saya melihat siaran berisi acara peringatan HUT ke-79 PSSI.Dengan tajuk “PSSI Fantasy.” Maka saya pun segera semakin tahu kini : sepakbola Indonesia adalah sepakbola fantasi.
Fantasi-fantasi itu, khayalan demi khayalan itu, memang yang hidup di kepala para pengelola persepakbolaan Indonesia. Berkhayal dengan mengirimkan tim berlatih ke luar negeri akan mampu mendongkrak prestasi. Rumus lama yang selalu didaur ulang walau hasilnya semata kegagalan selama ini. Lalu berkhayal sebagai penyelenggara Piala Dunia 2018 atau 2022. Termasuk mungkin berkhayal, bahwa saat itu ketua PSSI tetap digenggam oleh Nurdin Halid beserta kroni-kroninya.
Mana aksi suporter kita ?. Tulisan Fareed Zakaria, juga cerita yang sering saya ulang mengenai final Piala Tiger 2004 di atas, muncul di benak lagi ketika ngobrol dengan Stuart Bruce. Ia suporter fanatik klub papan atas Skotlandia, Glasgow Rangers. Tempat ngobrolnya : Wonogiri, Kamis, 23 April 2009.
“Sebagai seorang Scotland, Stu itu Rangers sejati, sampai ke tulang dan darahnya :),” demikian bunyi sms dari Ade Soediro, eksekutif Radio Istara FM, Surabaya. Ade adalah tunangan dari Stuart Bruce (foto). Bagaimana ceritanya seorang suporter Glasgow Rangers bisa main ke Wonogiri ? Keajaiban itu bisa terjadi berkat blog di Internet, karena Google, terutama karena keagungan cinta. Hal ini bisa menjadi cerita tersendiri, termasuk menyangkut naskah buku saya Hari-Hari Sepakbola Indonesia Mati.
Stu kini tinggal di Manchester, Inggris. Sebagai seorang billy boys, sebutan bagi suporter Glasgow Rangers, ia pernah melanglang daratan Eropa. Juga sebagai seorang tartan army, sebutan bagi pendukung timnas Skotlandia. Suporter dari bangsa yang kaum prianya suka mengenakan rok kilt dan berbaris meniup alat musik bagpipe ini, tersohor tergolong sebagai kelompok suporter paling suportif dan sopan di Eropa.
“The Tartan Army,” kata saya, “ dan juga Roligans dari Denmark, adalah kelompok suporter sepakbola yang perilakunya ingin menjadi suri tauladan kelompok suporter Indonesia.” Karena mereka bersahabat. Saat itu di pojok ruang tamu rumah saya, komputer sedang memutar CD saat kedatangan Pasoepati disambut meriah, gairah dan persahabatan, di tengah gemuruh Aremania di Stadion Gajayana, Malang, 21 Mei 2000. Saat itu tepat satu tahun reformasi di Indonesia !
Stuart Bruce, yang pernah menjadi dosen Sastra Inggris di Unika Sugiyopranoto Semarang, kini mendukung tim divisi 3 Stockport City di Manchester. “Kalau tur keluar kota, saya yang menjadi supir truk untuk membawa rekan-rekan suporter itu,” katanya bangga dan bahagia. Pengalaman hidupnya mendukung tim Skotlandia dan juga Glasgow Rangers yang diakuinya kurang bersinar di kancah Eropa, memberinya kebijakan dan kearifan. “Sebagai suporter tim lemah itu nothing to lose, kita terbiasa mengalami kekalahan, maka kita berusaha menikmati saja proses dan bukan hasilnya,” katanya sambil tertawa.
Suporter sepakbola itu bersaudara. Keajaiban blog, Google, Internet dan keagungan cinta, membawa seorang suporter Glasgow Rangers, Skotlandia, berkunjung ke Wonogiri. Saya dan Stuart bersama kaos tim Glasgow Rangers.
Terima kasih, Stuart. Dalam kunjungan ini Stuart Bruce “membaptis” saya sebagai salah satu bluenoses, sebutan sesama suporter Rangers, asal Wonogiri. Hadiahnya, kaos biru berplisir merah dari yang pernah dikenakan Giovanni van Bronckhorst, keturunan Maluku Selatan dan timnas Belanda sampai Andrei Kanchelskis, pemain sayap Rusia dan mantan MU itu, kini bisa yasa kenakan. Kepada Stuart Bruce, saya berikan buku kliping sejarah Pasoepati dan dokumentasi tur-tur Pasoepati dalam bentuk CD.
“Congrats ! Selamat menjadi fans baru Rangers !,” lagi-lagi sms dari Ade Soediro dan Stuart Bruce dalam perjalanan kereta api Solo-Surabaya. Mungkin Ade dan Stu lupa, rumah saya pun sudah lama menandakan sebagai fans Rangers. Pagar, daun jendela dan daun pintu, semuanya berwarna : biru Rangers. Kedatangan tak terduga dari Stuart dari Glasgow akhirnya itu ibarat sebuah siklus yang sempurna. Karena pada tahun 2007, Broto Happy W., redaktur sepakbola nasional dari Tabloid BOLA, yang adik saya, pernah mengunjungi Ibrox Stadium, markas besar klub Glasgow Rangers.
Teladan Gandhi. Teman-teman baru saya itu kini memang sudah meninggalkan Wonogiri. Tetapi ucapan Stuart Bruce masih membekas. Bahwa proses itu penting, walau hasil juga penting. Perjalanan itu penting, tujuan juga penting.
Menurut hemat saya, insan-insan pemangku kepentingan sepakbola Indonesia harus mau banyak belajar dari pengalaman hidup Stuart Bruce tadi. Menurut hemat saya, kita selama ini semata terobsesi untuk merengkuh hasil tetapi melupakan proses. Bahkan demi merengkuh hasil itu kita tega berbuat menghalakan segala cara, bahkan sampai melakukan tindakan kriminal.
Contoh aktual : aksi mengutak-atik bunyi peraturan FIFA oleh para petinggi PSSI kita, apakah juga perbuatan yang menghalalkan cara, sekaligus sebagai tindak kriminal ? Mungkin ikhtiar semacam ini bisa lolos. Tetapi hasil akhirnya akan dicatat oleh semesta, dan hanya kegagalan yang menyapa pada ujung-ujungnya.
Di tengah carut-marut tindak rekaculika itu, lalu di mana suara para suporter sepakbola Indonesia ? Kalau upaya meluruskan apa yang terjadi dalam tubuh PSSI saat ini dilakukan dengan cara seperti melakukan demo, justru cara seperti ini yang “ditunggu” oleh mereka. Apalagi kalau ada tindak kekerasan. Kita para suporter akan terjebak dalam alunan gendang aksi mereka.
Rekan-rekan suporter, beraksilah dengan metode di luar kotak. Tirulah cara Mahatma Gandhi (1869-1948) dalam menanggapi tindak kekejaman kolonial Inggris saat itu ketika India menjelang kemerdekaannya. Gandhi menyerukan pendukungnya untuk melakukan aksi anti kekerasan. Salah satu aksinya yang terkenal adalah satyagraha, aksi non-koperasi dengan penguasa sipil. Kalau seluruh suporter Indonesia kompak, melupakan dulu konflik semu antarkota, meminggirkan primodialisme, demi masa depan sepakbola Indonesia di tataran terhormat sepakbola dunia, kita mungkin mampu merubah keadaan.
Ketika memperingati sewindu Hari Suporter Nasional, 12 Juli 2008, bersama rekan-rekan suporter Solo, saya merancang melakukan aksi demo berdiam diri di Gladag, Solo. Pesannya adalah, untuk memprotes pengelolaan sepakbola Indonesia saat ini, menurut saya cara yang paling efektif adalah dengan : tidak menonton pertandingan sepakbola Indonesia.
Wonogiri, 24 April 2009
No comments:
Post a Comment