Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (a) yahoo.co.id
Puing masa lalu. “Setelah ke Pasadena, aku akan meluncur ke Alaska.” Kalau ucapan ini terdengar di Wonogiri, Anda jangan bayangkan bahwa si pengucap tersebut akan segera terbang ke Amerika Serikat dan terus ke Kutub Utara.
Pasadena adalah nama warung Internet baru di kawasan Gudang Seng. Sedang Alaska adalah singkatan dari Alas Kethu, kawasan hutan di bagian utara Wonogiri yang kini sedang ramai dibicarakan. Disengketakan.
Antara keinginan bupati Begug Purnomisidi yang ingin menjadikan Alas Kethu sebagai kompleks pabrik etanol, bermitra dengan perusahaan dari Cina. Pabrik dengan bahan baku singkong ini diproyeksikan akan menyerap 15 ribu tenaga kerja. Klaim yang bisa diperdebatkan. Tapi ia bersikukuh, kalau proyek ini gagal, ia akan mundur.
Sementara itu kubu yang menentang adalah mereka yang pro lingkungan hidup, ingin menyelamatkan hutan itu dari keruasakan atau kepunahan, karena berfungsi sebagai paru-paru kota Wonogiri dan sebagai daerah resapan air.
Yang pasti, sekilas cerita tentang Pasadena atau Alaska itu seolah mencitrakan Wonogiri yang sedang bergulat antara masa lalu dan masa depan. Katakanlah, warnet Pasadena merupakan simbol yang mencerminkan orientasi Wonogiri terhadap masa depan. Era informasi.
Karena warnet ini, dan sekitar sepuluh warnet lainnya di kota Wonogiri, menjadi wahana bagi warga kota gaplek yang melek Internet untuk mampu merengkuh dunia. Sementara isu mutakhir tentang Alaska, alias Alas Kethu, yang melibatkan wacana dengan kata-kata kunci pabrik, singkong sampai buruh, jelas mewakili mazhab dari dunia atau era agraris dan industri. Kemana Wonogiri akan melangkah ?
Terancam. Jalanan Alas Kethu masih lengang ketika anak-anak nampak berangkat ke sekolah. Kalau hutan di sekitar mereka lewat itu kelak menjadi industri, jalan diperlebar, mobil lalu lalang, maka keindahan pagi yang sunyi di hutan ini hanya tinggal dalam impian.
Mental kelangkaan. Debat tentang Alas Kethu itu melemparkan saya untuk mengenang isi laporan Harian Kompas tentang profil Wonogiri. Kalau tidak salah ada empat seri tulisan, di tahun 1980-an. Tahun 1980 itu adalah tahun pertama saya menginjak kota Jakarta. Sebagai mahasiswa di kampus Rawamangun, Universitas Indonesia. Artikel itu memercikkan kebanggaan saya sebagai orang Wonogiri.
Sayang, klipingnya sudah tidak lagi saya miliki. Yang cukup menggores di ingatan adalah ilustrasi mengenai dominannya penduduk Wonogiri yang melakukan boro, merantau ke seluruh pojok-pojok tanah air. Mereka meninggalkan Wonogiri yang tandus, berbatu kapur, lahan yang tidak membuahkan kemakmuran baik sandang atau pangan bagi warganya. Gambaran lain dari koran itu adalah mengenai keuletan warga Wonogiri berkarya di perantauan.
Cerita-cerita sukses mereka lalu ditunjukkan saat Lebaran tiba. Para kaum boro itu mudik ke Wonogiri, menularkan virus yang sama kepada generasi mudanya. Sehingga selama ini dikatakan bahwa Wonogiri terus-menerus mengalami brain drain, mereka-mereka yang terbaik dipaksa harus pergi dan sukses di luar kota Wonogiri. Secara sinikal, slogan Wonogiri sebagai Kota Wisata di mana kata-kata ini tertempel hampir semua rumah di Wonogiri, mungkin memang ditujukan kepada kaum boro ini. Berwisatalah ke Wonogiri ketika Lebaran tiba !
Akibat brain drain itu, apakah kemudian yang tinggal di Wonogiri hanya remah-remahnya belaka ? Orang bisa berdebat. Tentu saja tidak mutlak semuanya. Karena Harian Kompas itu juga melaporkan kisah sukses warga Wonogiri, di tanah mereka di kota ini. Sebagai contoh mencolok adalah dinasti-dinasti wiraswastawan yang terjun berwirausaha guna melayani kebutuhan warganya untuk ulang-alik, merantau dan pulang itu. Kisah sukses pengusaha-pengusaha bus Wonogiri kemudian dibabarkan.
Terkait perbincangan tentang atmosfir berusaha di Wonogiri, ada satu dua alinea yang saya ingat saat itu. Dipaparkan bahwa akibat latar belakang alam yang keras, sumber daya yang terbatas, konon membuat perangai pebisnis asal Wonogiri selalu sengit dalam bersaing. Bahkan bersikap tegaan satu sama lainnya. Buntutnya, membuat pebisnis Wonogiri lebih suka bekerja sama dengan pebisnis dari daerah lain, dibanding mereka bekerja sama dengan sesama pebisnis asal Wonogiri sendiri.
Kalau boleh diberi label, persaingan itu terjadi karena bersumber dari pola pikir kelangkaan, scarcity mentality. Dunia ini terbatas. Oleh karena itu sukses orang lain berpotensi mengurangi peluang sukses diri saya sendiri. Roti dunia yang bisa mereka makan akan mengurangi jatah roti yang bisa saya makan.
Hidup akhirnya semata menjadi arena persaingan dan perbandingan. “Ketika orang lain sukses, di mulut saya katakan ucapan selamat padanya, dengan senyum juga, tetapi mengapa ada sebungkah kepedihan dan luka besar menganga di hati saya ?”
Apakah sikap mental suka bersaing dan suka membanding-bandingkan itu juga masih mencengkeram mindset warga Wonogiri, apa pun profesi mereka ?
Kutukan oyot mimang. Wacana tentang kontroversi proyek Alas Kethunya Begug akan terus bergulir di hari-hari mendatang. Ribut-ribut itu membuat saya beberapa hari lalu memutuskan jalan kaki pagi, menyusuri jalan yang membelah Alas Kethu itu. Sebelah kiri terdapat area hutan yang dibabat ketika Begug terpilih pertama kali, lalu mencita-citakan area itu sebagai replika Taman Mini Indonesia. Impiannya itu hanya impian, sampai kini. Lalu muncul impian barunya mengenai pabrik etanol tadi.
Jalan kaki saya hanya sampai pertigaan, yang kalau belok ke kanan menuju Seneng Kata “Seneng” itu tertanam di kepala saya sejak Sekolah Dasar. Tahun 1960-an. Muncul dari mulut teman saya, (almarhum) Sri Wahyono. Setiap liburan, ia bilang, selalu ke Seneng. Dengan melintasi hutan, ya Alas Kethu itu, yang jauh lebih lebat dibandingkan saat ini.
Kata dan cerita mengenai hutan atau alas saat itu dari Sri Wahyono (bapak dan ibunya, Sidin Wirotenoyo adalah sahabat ayah dan ibu saya) mampu memberikan eksotika tersendiri di kepala seorang murid SD yang belum pernah mengenal bagaimana hutan itu sebenarnya. Hutan menjadi sesuatu yang hidup dan menawan di dalam kepalanya akibat membaca-baca komik Wiro, Tarzan Jawa.
Atau mendengar cerita dari tetangga, dari anak yang lebih besar. Dari Mas Marino, tetangga saya yang waktu kecil suka mencari kayu bakar ke Alas Kethu, muncul dongengan. Bahwa konon di Alas Kethu itu ada yang namanya oyot mimang. Akar mimang. Akar kutukan.
Ceritanya, kalau Anda melangkahi akar kutukan itu maka Anda akan hanya berjalan melingkar-lingkar di hutan bersangkutan. Tersesat. Tidak mampu menemukan jalan pulang. Kalau tidak ditemukan oleh para pencari, akhirnya kelaparan dan ngenas di hutan. Apakah bupati Begug Purnomisidi kelak juga bernasib menerima “kutukan” serupa, akibat ia berani melangkahi atau bahkan merusak habitat akar kutukan Alas Kethu itu ?
Dunia ini berkelimpahan. “Kutukan” itu sebenarnya sudah terjadi. Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal tanggal 7 Desember 2004 menyajikan data pahit : dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ternyata Wonogiri termasuk sebagai daerah tertinggal. Status itu mungkin telah menjebak warganya untuk hanya berkubang dalam masalah yang dalam piramida kebutuhan manusia-nya Abraham Maslow disebut kebutuhan primitif. Kebutuhan penyambung hidup. Walau Wonogiri, jelas, tidak sendiri di negeri serba terpuruk saat ini.
Masalahnya, apakah Wonogiri mampu meretas keterbatasan dan keterkungkungannya itu ? Tergantung kepada warga Wonogiri yang tinggal, juga diasporanya yang tersebar di seluruh dunia dalam ikut berwacana membangun Wonogiri. Terlebih lagi, berkat revolusi digital, semua sumber daya (brainware ) itu, di mana pun berada, kini semakin mudah untuk diintegrasikan guna menghadirkan pasar diskusi atau bursa ide yang hidup tentang masa depan Wonogiri.
Sekadar provokasi gagasan : kalau Bupati Sragen kini melangkah dengan membangun sebuah technopark, guna memberdayakan brainware warganya, apakah benak warga Wonogiri hanya puas dijejali udreg-udregan dengan masalah yang berorientasi ke dunia manufaktur, yang menuju senja ?
Kalau di dunia fisik yang terbatas itu sesama warga Wonogiri dikondisikan berpuluh tahun untuk halal saling sikut, atau saling jegal guna memperebutkan jatah roti yang terbatas, maka di dunia digital yang berkelimpahan itu sudah saatnya warga Wonogiri mampu membangun kolaborasi. Semua dapat memperoleh bagian. Semua mampu meraih kemenangan.
“If cyberspace is a nation, it is probably of the most benevolent nations that has ever existed,” kata nabi media digital dari MIT, Nicholas Negroponte dalam wawancara dengan Newsweek (8/1/1998). Dunia maya, dunia digital, adalah dunia penuh kebajikan, penuh berkah. Karena warganya saling tolong-menolong. “It is a place where people help each other,” demikian tutur Negroponte menutup wawancaranya.
Warga Wonogiri, dengan semangat saling tolong-menolong, marilah kita pindah persneling sikap mental yang melatarbelakangi kemelut Alas Kethu, Alaska. Mari kita ramai-ramai menuju Pasadena.
Wonogiri, 24 Juli 2008
tmw
No comments:
Post a Comment