Friday, July 10, 2009

Beethoven, Internet, Bupati Wonogiri 2010

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews (at) yahoo.co.id



Ikon dua singa. Radio Voice of America mengudara jam 5 pagi di Wonogiri. Saat itu ritus jalan kaki pagi saya dari Kajen baru mencapai perempatan ponten. Saya menyebut perjalanan pagi itu dengan rute utara.

Salah satu bagian dari jalan raya Kota Gaplek ini dulu merupakan pertigaan. Di tengah terdapat kolam berbentuk bundar dengan air mancur, fountain, ditengahnya. Untuk lidah Jawa, lokasi itu kemudian disebut sebagai ponten. Sampai saat ini. Walau bangunan kolam dan air mancur itu kini sudah lama tiada lagi di sana.

Di bagian barat jalan, agak ke selatan, terdapat toko tukang gigi. Di tempat ini terdapat ikon yang bagi saya amat melekat bagi warga Wonogiri : dua patung singa. Di belakang toko ini terdapat kampung Jagalan, di mana waktu saya kecil pernah tinggal di sana.

Rumah kontrak orangtua saya, Kastanto Hendrowiharso, kini menjadi Hotel Cendrawasih. Persis di depan rumah mBah Sari, jagal dan pebisnis daging sapi terkenal. Dua patung singa itu saya kenal, kiranya sejak saat itu, tahun 1959. Jadi sudah setengah abad lebih keduanya setia berjaga di sana.

Dari patung singa arah ke utara, terdapat rumah tempat tinggal juragan bis, Pak Kamto. Walau tidak kenal akrab, saya mengenal putri dan putranya. Antara lain Mas Tantyo, Endang (Kempong), Bambang dan Eddy (Gembrot).

Nama terakhir ini sempat saya potret secara mencuri-curi saat kita sama-sama menghadiri pemakaman ulama terkenal KH Abdullah Sadjad, di pemakaman Kajen, 16 Desember 2008. Di bulan akhir Juni 2009, Eddy yang sama-sama bersekolah (adik kelas) di SD Wonogiri 3 dan SMP Negeri 1 Wonogiri itu, telah dipanggil Yang Maha Pencipta di Serang. Dimakamkan di Solo.


Candu Wonogiri. Saya meliwati jalan di sebelah utara rumah almarhum Eddy yang kini disewa untuk toko kacamata Pranoto Optik. Ke arah barat, naik, menyeberangi rel, lalu mendaki kampung Gerdu. Jalan terjal menanjak sepanjang 100-an meter itu membuat terengah. Tetapi selepasnya, badan ini menjadi agak berkeringat. Kemudian disusul hembusan lembut udara pagi Wonogiri yang ramah membelai sekujur badan. Kesegaran semacam ini memang candu.

Sayang, candu semacam ini tak punya banyak pengikutnya yang fanatik di Wonogiri. Di antara yang sedikit sebagai the morning walker itu adalah Pak Mufid Martohadmojo (foto, kiri), mantan guru bahasa Inggris saya di SMP Negeri 1 Wonogiri. Beliau dan kawan-kawan sebaya saya temui bila dalam perjalanan rute selatan. Pak Mufid masih sehat dan bugar, tetapi tidak mau mengatakan ketika saya tanya usianya. Kini kami memang rada sering bertemu di Perpustakaan Wonogiri.

Dulu saya juga sering berpapasan dengan rombongan para lady, terdiri ibu, kenalan dan putrinya, yang juga berolahraga jalan kaki pagi. Tempat awal berangkat mereka adalah toko keramik dan bahan bangunan Metro Jaya, di ujung jalan arah dari Gununggiri. Selain kadang bertukar senyum, juga berucap selamat pagi, ketika kita berpapasan. Kini encounter semacam itu sangat jarang terjadi.

Pedang keadilan. Rute saya akhirnya sampai ke jalan raya di kawasan Wonokarto. Saya belok ke kiri ketika sampai di perempatan pos polisi.Kalau terus ke utara, arah menuju Solo, saya akan melewati di Gedung Pengadilan Negeri Wonogiri.

Di gedung tersebut akhir-akhir ini mencuat kasus persidangan mirip yang terjadi dengan Prita Mulyasari vs RS Omni di Tangerang dan Khoe Seng Seng dkk di Jakarta. Nama terakhir ini, sekitar setahun ini, menggalang kontak SMS dan email dengan saya terkait kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan raksasa properti Jakarta terhadapnya. Tanggal 5/7/2009, Khoe Seng Seng sempat tampil di acara Democrazy, di MetroTV.

Kasus di Wonogiri itu adalah tentang 6 warga yang dipidanakan oleh bidan desa Wahyu Kristiani. Keenam terdakwa itu penduduk Dusun Parangjoho, Desa/Kecamatan Eromoko, yakni Komari, Sukijo, Mardi, Sukardi, Sugeng Riyanto dan Supadi. Keenamnya disidang karena membuat laporan bersama, berisi keluhan yang dikirimkan ke Kepala Puskesmas Kecamatan Eromoko dengan tujuan agar pelayanan kesehatan makin baik.

Warga mengeluh, karena bidan Wahyu tidak senantiasa siap di Poliklinik Desa Eromoko, membuat warga kesulitan saat membutuhkan jasa pelayanannya, terutama ibu hamil tua yang akan melahirkan. Bidan itu juga dilaporkan sebagai ingkar janji dalam mengurus akta kelahiran enam anak. Dia juga diduga tidak menyalurkan bantuan stimulan untuk posyandu.

Menurut laporan wartawan Bambang Purnomo Untung Sabdodadi (“beliau teman saya satu kelas II-A di SMP Negeri 1 Wonogiri”) dari Suara Merdeka (30/6/2009), para terdakwa membuat surat secara kolektif itu sampai dua kali.

Surat kedua itu dibuat atas saran pimpinan Puskesmas Eromoko, dokter Supriyadi, dengan dukungan warga dari 10 RT di empat dusun, yakni Parangjoho, Bon Agung, Geritan, dan Gedong. Keenam warga yang kritis itu justru dituntut hukuman masing-masing enam bulan penjara dengan masa percobaan selama 12 bulan.

Kisah belum berakhir. Pada pembelaan (6/7/2009), mereka ingin dibebaskan. Semoga pedang hukum yang memihak akal sehat, demi menopang sendi-sendi kehidupan berdemokrasi dan rasa keadilan bagi rakyat, sebagaimana yang dialami oleh Prita Mulyasari, nantinya juga bisa berhembus di Wonogiri. Bebaskan Komari dan teman-teman !

Photobucket

Photobucket


Viva forever ! Angan-angan tentang bebasnya Pak Komari dkk. membuat saya menengadah ke awan biru. Di sana, sebelum belok kiri menyusuri Jl. Tentara Pelajar, pandangan saya terantuk kepada papan iklan raksasa yang kosong di dekat pos polisi kota itu.

Papan tersebut sebelumnya diisi informasi dan promosi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Baliho itu mereka eksekusi seperti sajian brosur. Orang perlu berhenti berlama-lama untuk membacanya. Padahal, menurut ilmu komunikasi pemasaran, isi baliho dirancang agar mampu memiliki daya pikat magis dalam dua-tiga detik bagi warga yang melintas jalan raya itu. At highway speeds, you only have about two seconds to deliver your message and make it stick.

Daya pikat magis itu memang menyergap saya pagi itu. Saya nikmati. Sambil senyum-senyum. Agak kecut. Karena di halaman kosong dari baliho tersebut tertulis kalimat : “Spice Iklan Disewakan.” Pada kesempatan lain, pada spanduk yang memromosikan acara jalan santai memeringati HUT Wonogiri ke-268, saya baca kalimat berikut : “Rebut Grand Prize Utama 1 Unit Sepeda Motor. Door Price : Kulkas, VCD, TV 14, Dll.”

Kata di baliho itu mengingatkan saya akan kelompok penyanyi cewek asal Inggris, Spice Girls. Salah satu personilnya, Posh Spice, adalah istri David Beckham. Yang lainnya, Emma “Baby Spice” Bunton, memiliki senyum memesona mirip Miduk, salah wanita terindah saya. Kelompok ini saya kenal ketika bergabung Luciano Pavarotti dalam konser penggalangan dana untuk anak-anak korban perang di Liberia,1999.

Penampilannya bersama Pavarotti dalam lagu “Viva Forever” menyertai keheningan yang menawan. Saat itu saya tenggelam di sofa empuk ketika menjelajahi isi buku inspiratifnya John Howkins, The Creative Economy : How People Make Money From Ideas (2001). Lokasinya : toko buku QB, Jalan Sunda Jakarta, 29 Juli tujuh tahun lalu.

Photobucket

Simfoni nomor sembilan. Penggunaan kata bahasa Inggris dalam media luar ruang yang menggelitik itu, akan semakin diperkaya nuansanya bila Anda sedikit jeli membaca-baca bagian luar bis mini yang wira-wiri di Wonogiri.

Misalnya, saya pernah menaiki bis mini yang terdapat tulisan, “Linkin’ Park.” Bis itu saya naiki ketika ikut rombongan mengantar om saya, Sriawan, untuk dimakamkan ke Pokoh. Mungkin karena suasana duka, dalam sepanjang perjalanan di bis itu tidak terdengar, misalnya lagu “In The End” yang berisi rapnya Mike Shinoda dan teriakan melodius dari Chester Bannington yang vokalis utama grup asal California itu.

Bagaimana bila kita menaiki bis mini di Wonogiri (foto) yang bergambar wajah komponis Jerman, Ludwig van Beethoven (1770–1827) ? Keren juga, pikir saya, ketika bisa memotret dua bis bergambar komponis yang kemudian jadi tuli di usia 30 tahun kelahiran Bonn itu di kota Wonogiri ini.

Betapa mengagumkan karena di Wonogiri ada penggemar lagu-lagu klasik yang fanatik, yang bahkan dikesankan merakyat karena wajahnya dipajang di kendaraan umum untuk rakyat.

Tetapi saya pesimis. Bila menaikinya kita tidak akan mendengar sajian simfoni nomor sembilannya yang terkenal itu. Lagu ini dalam versi pop saya kenal tahun 1972, saat saya bersekolah di Yogya. Dibawakan penyanyi Miguel Rios, berjudul “Song of Joy.” Lagu kesayangan Gus Dur itu pada tahun 2000, atas usul saya, juga agak sering dikumandangkan di Stadion Manahan Solo oleh kelompok suporter Pasoepati.


Sewu kutho. Di dalam bis mini Wonogiri, baik yang memajang label Linkin’ Park atau wajah Beethoven itu, mungkin yang justru sering terdengar adalah lagu-lagu campursari. Ketika saya nunut dari Kedungringin ke GOR Donoharjo, di bis mini rute Wonogiri-Manyaran yang disopiri Wiyono (foto), anak om Mulyono dari Cengkal Wuryantoro, yang menggeber di dalamnya adalah juga lagu-lagu campur sari.

Tidak hanya di bis-bis mini atau perhelatan pengantin, bahkan dalam acara peresmian Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 (EBSK 2007), 9 Juni 2007, di Obyek Wisata Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri, juga menggema lagu-lagu campursari. Yang ikut menyanyi adalah Mardiyanto, Gubernur Jawa Tengah saat itu dan Begug Purnomosidhi, Bupati Wonogiri.

Pak Bupati satu ini punya lagu favorit, Sewu Kutho-nya Didi Kempot. Lagu bertema lelaku pria yang menjelajah seribu kota untuk menemukan cinta itu selalu ia nyanyikan dimana-mana. Isi lagu ini lalu ia wujudkan dengan seringnya main wayang kulit dan membawa misi kesenian Wonogiri ke pelbagai kota. Bahkan sampai Belgia dan Singapura.

Aksi ngelencer-nya ini sering jadi bahan gunjingan tak sedap, dengan dipertanyakan oleh anggota DPRD, baik tujuan sampai siapa yang membiayai. Selalu saja memunculkan kontroversi demi kontroversi. Tapi selalu pula tidak tuntas sampai warga Wonogiri menjadi lupa sendiri.

Dengan demikian apa Pak Begug itu selama ini telah memberi nama jelek bagi misi kesenian Wonogiri, bagi Wonogiri, sekaligus bagi campursari ? Atau sebaliknya ? Kita tunggu sesudah ia lengser pada tahun 2010 nanti.


Hanya pemoles bibir. Yang pasti, campursari, di masa depan bagi warga Wonogiri, nampaknya akan tetap lestari. Karena nampaknya calon-calon bupati Wonogiri masa depan seleranya juga tidak akan jauh-jauh dari campursari.

Dalam Pilbup 2005 lalu, misalnya, ada kandidat yang berkampanye dengan mengedarkan CD campursari. Ia sendiri yang mengarang lagu-lagunya, menyanyikannya, menjadi aktor dalam videonya, sekaligus menjadi produsernya. Tetapi saya tidak tahu apakah ia juga mampu menyanyikan lagu-lagu itu secara live di depan audiens.

Campursari juga jadi senjata dalam Pilbup 2010 mendatang ini. Baru-baru ini, seorang teman yang mengelola kafe, menyodorkan kepada saya CD lagu-lagu campursari. CD tersebut ternyata dirancang oleh sang produser sebagai sarana sosialisasi dirinya guna memperebutkan kursi bupati Wonogiri 2010 mendatang.

Gambar dirinya dalam sampul, dapat diduga sebelumnya, mengenakan beskap Jawa. Memegang keris. Dalam salah satu lagunya, tentu saja ada lirik yang memuja-muji Wonogiri, termasuk Gunung Gandul (saya potret ketika muncul pelangi), aset wisata yang puluhan tahun terbengkalai itu. Hanya jadi buah bibir semata. Dinyanyikan tetapi tidak dipikirkan, tidak diperhatikan.

Tetapi, anehnya, di nomor selanjutnya, entah kenapa, muncul lagu yang memomrosikan Rowo Jombor Klaten sebagai tujuan wisata. Lagu ini, membuat saya sebagai wong Wonogiri, merasa mentah-mentah ia khianati. Sebagai calon bupati Wonogiri, mengapa ia perlu cengkre, ikut-ikut mengurusi Jombor pula ?

Mencerdaskan rakyat. Saya bukan anti lagu-lagu campursari. Saya juga tidak tahu efektivitas media satu ini dalam memengaruhi konstituen ketika berlangsung sebuah pilihan bupati. Yang saya tahu, media ini bersifat searah. Karakternya persis seperti baliho atau spanduk yang riuh dipajang di jalanan saat kampanye Pileg atau Pilpres 2009 yang lalu.

Sarana kampanye satu ini semua seragam berisikan kata-kata sebagai berikut : “Hai rakyat, dengarkanlah dan ikuti kata-kataku. Percayai janji-janjiku, dan pilihlah aku !”

Para politisi itu seolah berada di atas, rakyat berada di bawah mereka, rakyat jadi subordinat mereka, sekaligus mengira rakyat itu bodoh dan mudah mengikuti apa saja kata mereka. Persepsi itu salah besar. Mereka harusnya mau belajar dari ujaran Rebbeca MacKinnon, seorang blogger dan peneliti di Universitas Harvard yang mantan wartawan CNN di Beijing dan Tokyo.

Rebecca MccKinnon bilang, seseorang lebih mampu menyerap dan mengelaborasi kembali informasi secara lebih mendalam bila yang bersangkutan dilibatkan dalam diskusi mengenai materi tersebut. Bahkan mereka akan memiliki pemahaman lebih mendalam lagi bila dirinya mampu menuliskan opini tentang hal bersangkutan di ruangan publik.

Merujuk tesis itu, hemat saya, baik untuk untuk mensosialisasikan pemilu, aturan-aturan baru, juga individu calon legislatif atau calon eksekutif, sudah seharusnya rakyat diajak untuk berdiskusi. Ujung puncaknya mereka diajari untuk menulis di beragam media. Baik berupa surat-surat pembaca, sampai artikel di media massa, atau pun di blog-blog mereka di Internet.

Termasuk membebaskan mereka untuk menuliskan kritik untuk para calon legislatif atau calon eksekutif bersangkutan. Mereka yang kritis jangan sekali-kali dihantam dengan palu hukum seperti yang dialami Pak Komari dan kawan-kawan dari Eromoko dalam cerita di awal tulisan ini.

Dengan demikian, maka papan peraga kampanye di jalanan, juga CD berisi lagu-lagu campursari itu, bukan sebagai media indoktrinasi. Bukan pula media searah, yang merendahkan sekaligus membodohi rakyat. Tetapi lebih merupakan undangan awal bahwa calon legislatif atau calon eksekutif bersangkutan bersedia membuka telinga untuk mendengar aspirasi rakyat. Kemudian terjadilah percakapan, rembugan, diskusi dan interaksi.

Bangkit, blogger Wonogiri ! Media komunikasi yang interaktif tersebut, kini telah tersedia. Internet. Tersaji di sana beragam media sosial sebagai sarana corong warga berbicara. Ada blog, juga Facebook. Terkait media-media sosial ini saya pernah menjual gagasan untuk mengadakan pelatihan ngeblog di Wonogiri.

Saya ajukan gagasan ini kepada dua pengelola warnet di Wonogiri. Tidak berhasil. Ketika itu bulan Puasa, idenya adalah mengadakan acara Ngabuburit with Ngeblog. Saya ajukan ke kepala perpustakaan Wonogiri. Kemudian coba saya hubungi fihak Telkom Wonogiri. Rupanya hari baik untuk gagasan itu belum tiba.

Termasuk ketika saya mencoba mengetahui apa kira-kira pendapat tokoh Wonogiri tentang Internet sebagai sarana mendemokratisasikan dan memakmurkan Wonogiri di masa depan, saya mencoba kontak dengan salah seorang dari calon bupati Wonogiri 2010 mendatang. Kepada salah satu dari mereka yang menjagokan ingin maju, yang memiliki tiga gelar akademis itu, saya mengirimkan SMS kepadanya.

Inti isi SMS saya : untuk menggalang silaturahmi ke depan sebagai sesama warga Wonogiri, saya ingin memperoleh informasi alamat email dan situs tokoh yang bersangkutan. Saya cantumkan juga alamat email saya : wonogirinews (at) yahoo.co.id. Biaya SMS yang habis saya keluarkan memang hanya Rp. 150,00. Biaya untuk membalas SMS standar juga sama, bukan ?

SMS itu saya kirimkan 9 Juni 2009.
Sampai kini sama sekali tidak memperoleh balasan.


Wonogiri, 10-11 Juli 2009


tmw