Friday, February 15, 2008

Ancaman Di Balik Wabah Grafiti di Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews(at)yahoo.co.id


Teori jendela pecah. Kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling menelorkan teori broken windows, jendela pecah, untuk menerangkan asal muasal epidemi tindak kejahatan. Paparannya yang menarik dap[at anda baca di bukunya Malcolm Gladwell, The Tipping Point : How Little Things Can Make a Big Difference (2000).

Keduanya berpendapat, kriminalitas merupakan akibat tidak terelakkan dari ketidakteraturan. Jika jendela sebuah rumah pecah namun dibiarkan, siapa pun yang lewat terdorong menyimpulkan pastilah di lingkungan tersebut tidak ada yang peduli. Atau rumah itu kosong.

Dalam waktu singkat akan ada lagi jendelanya yang pecah, dan belakangan berkembang anarki yang menyebar ke sekitar tempat itu. Di sebuah kota, awal yang remeh seperti corat-coret grafiti, ketidakteraturan, dan pemalakan, semua setara dengan jendela pecah, ajakan untuk melakukan kejahatan yang lebih serius lagi. Buku The Tipping Point tadi bahkan menyimpulkan, “bahwa orang yang setiap hari lewat di jalanan bersih atau naik kereta api yang serba rapi cenderung akan menjadi orang lebih baik ketimbang bila mereka setiap hari lewat di jalanan penuh sampah dan naik kereta atau bus kota penuh corat-coret.”

Itukah pula ancaman besar tindak kejahatan yang akan marak dan meruyak di Wonogiri ? Karena lanskap kota Wonogiri yang kurang elok itu kini terasa makin sesak dengan munculnya corat-coret grafiti. Mari kita telusuri panorama hasil corat-coret artis jalanan yang tidak berani memunculkan jati dirinya secara terus terang itu :

Photobucket

KEKACAUAN VISUAL. Grafiti di atas tergores pada tembok bangunan rumah di Jl. Kabupaten. Apa makna pesan di balik corat-coret itu ? Sulit difahami. Tetapi karya “seni lukis jalanan” itu berperan menambah kekacauan visual bagi warga kota kecil ini. Dan adakah pengaruh buruknya bagi psike mereka ?


Photobucket

TANGGA MERAIH PENGAKUAN ? Penjual tangga bambu sedang melintas di jalan sekitar komplek SMA Negeri 1 Wonogiri. Adakah para siswa sekolah ini pula yang membuat grafiti di dekat sekolah mereka tersebut ? Kalau benar, apakah aksi mereka itu sebagai akibat lingkungan sekolah mereka yang justru tidak kondusif untuk menyalurkan energi “bomber” mereka yang meluap-luap ? Mengapa mereka memilih “jalan gelap” untuk meniti tangga guna meraih pengakuan, bahkan kemashuran ?

Photobucket


Photobucket

PARADOKS MENCARI CINTA. Para “bomber” atau pelukis grafiti itu suka menyembunyikan jati dirinya. Dapat dimaklumi, mereka itu dapat dianggap telah melakukan tindakan yang tidak terpuji. Tetapi lihatlah, mereka mempromosikan diri agar dijadikan pacar, seperti tertuang dalam karyanya (atas, di menara waduk Gajah Mungkur) dan di daerah Sanggrahan, pada tembok Jl. Dr Wahidin, timur SDN Wonogiri 1. Bagaimana seseorang dapat mengenal mereka, lalu bisa menjadi pacar mereka, kalau para bomber itu selalu menyembunyikan jati dirinya ?

Photobucket

OPERASI RAHASIA. Para “bomber” itu kiranya orang-orang malam. Mereka beraksi ketika malam tiba. Lihatlah, karya di atas itu tergores pada tembok jalan di Jl. Pelem 3, persis di utara markas Kodim 0728 Wonogiri. Operasi rahasia mereka sukses, bahkan di dekat markas tentara !


Photobucket

AKTORNYA ITU-ITU SAJA ? Dari pelbagai motif grafiti yang ada di Wonogiri segera nampak bahwa karya-karya tersebut dilakukan oleh “pe-bomber” yang sama. Karya di atas terletak di pintu garasi sebuah rumah di Jl. Kartini.

Photobucket

APA INTI PESAN MEREKA ? Grafiti ini terdapat di tembok rumah/toko Tukang Gigi Jaya Leo di dekat Ponten. Tepatnya di sebelah selatan Bank Jawa Tengah. Apakah Anda bisa meraba arah pesan dari grafiti satu ini ?


Photobucket

KARYA SENI YANG HILANG. Tembok di dekat garasi bis Giri Indah, Jl. Kartini, semula nampak meriah dengan grafiti. Kemudian cat hitam telah membuat karyanya yang dikerjakan sang “bomber” alias seniman jalanan dengan sepenuh hati dan mungkin dalam hitungan beberapa malam itu, akhirnya bernasib lenyap dari pemandangan.


Langka kanal berekspresi ? Mengapa tiba-tiba grafiti marak dan apa kira-kira akibat jangka panjangnya bagi Wonogiri ? Ada dugaan, generasi muda di Wonogiri selama ini merasakan kesulitan untuk berekspresi secara otentik dalam mengaktualisasikan potensi mereka.

Sekadar contoh : secara rutin berlangsung di Wonogiri pelbagai acara budaya kolosal gagasan Pemkab. Seperti Kirab 1000 Keris, Kirab Umbul-Umbul dan Kirab Benda-Benda Pusaka yang melibatkan ribuan pelajar. Tetapi sangat jelas, kita semua tahu, aktivitas semacam itu bukan acara “mau” otentik mereka. Aktivitas semacam itu bukan otentik “milik dunia” mereka. Tetapi mereka harus ikut karena perintah guru, guna membawa nama sekolahnya.

Mungkinkah kesumpekan semacam itu yang mendorong mereka bergerilya, berekspresi, mencoret-coret tembok kotanya ? Untuk mengkritisi beragam kegiatan seremonial yang disukai pembesar Pemkab Wonogiri dan potret aktivitas kalangan pelajar di Wonogiri, saya pernah berkomentar dengan menulis surat pembaca seperti tertuang di bawah ini :


Perpustakaan di Wonogiri
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Rabu, 8 November 2006

Sekolah masa kini bukan lagi ibarat Matahari dan para murid sebagai planet-planet yang mengelilinginya. Para guru dan orang tua juga bukan satu-satunya sumber bagi mereka untuk memperoleh pengetahuan dan kearifan. Wawasan ini menyelinap ketika menyaksikan pelajar Wonogiri pada hari pertama masuk sekolah sesudah Liburan Lebaran. Hari itu, sesudah ritus halal bihalal, jam belajar ditiadakan, dan murid-murid pun diijinkan pulang.

Sebagian dari mereka berbondong-bondong menyerbu pasar swalayan. Ada juga yang nongkrong-nongkrong di pasar. Setahu saya untuk kota sebesar Jakarta pada setiap kompleks pertokoan telah dipasang pesan yang melarang pelajar berseragam untuk keluyuran di pusat-pusat perbelanjaan tersebut. Saya tidak tahu mengapa larangan yang sama tidak diterapkan di Wonogiri.

Yang kiranya boleh saya menduga, mereka menyerbu pasar swalayan karena sebagai satu-satunya tempat yang menarik. Mereka bisa melihat barang-barang bagus, sekaligus bisa melambungkan impian untuk bisa memilikinya. Di tempat berpendingin itu impian-impian mereka memperoleh rumah yang nyaman.

Celakanya, hanya impian sebagai konsumen. Sementara impian sebagai kreator, produsen, mungkin tidak memiliki tempat untuk subur berkembang. Baik di kelas, di rumah, di ruang-ruang perpustakaan sekolah atau umum, juga tidak bergejolak di lapangan-lapangan olah raga. Mereka tidak betah di sana.

Apalagi fasilitas umum untuk mengembangkan intelektualitas, bakat seni dan bakat olahraga di kota kecil Wonogiri, nampak belum mendapat perhatian yang berwenang secara memadai. Tidak hanya menyangkut bangunan fisiknya, tetapi terutama muatan kegiatannya yang mampu menarik generasi muda. Perpustakaan umum Wonogiri hadir dengan ruangan seadanya, lebih banyak lengang karena lokasinya dipencilkan, berada di luar lalu lintas ramai para pelajar.

Wonogiri konon tinggal satu-satunya kabupaten di Jateng yang tidak memiliki mobil/perpustakaan keliling. Warung Internet satu-satu berguguran. Sementara aktivitas anak muda justru cenderung dikooptasi birokrat hanya sebagai barisan pion guna meraih prestasi-prestasi semu yang tidak ada nilai-nilai edukasinya yang tinggi.

Mungkin itulah penyebab mengapa Wonogiri masih termasuk daerah tertinggal dalam hal pembangunan sumber daya manusia. Apalagi, otak-otak terbaik asal daerah ini lebih suka berkiprah di kota lain. Bahkan tidak jarang, mereka pun malu untuk mengaku sebagai wong Wonogiri. Dari mana harus mulai untuk bisa meretas lingkaran setan seperti ini ?


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri
Warga Epistoholik Indonesia


tmw

Sunday, February 10, 2008

Iklan Rokok Mengepung Kota Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id



Duit rokok, birokrat cadok. Bilbor tak begitu besar itu pernah dipasang di Krisak, dari arah Solo di sisi kiri sesudah monumen. Isi pesannya luhur : mengampanyekan Wonogiri Menuju Sehat 2010. Bilbor di Krisak itu kini hilang, entah mengapa. Tetapi bila pun tetap terpasang, akhirnya hanya menjadi ikon ironi besar bagi Wonogiri. Sebab ketika Anda memasuki kota yang memiliki wakil bupati seorang dokter, pelbagai bilbor yang lebih besar dan berisi iklan-iklan produk yang mengancam kesehatan justru amat dominan di kota kecil ini.

Photobucket

PROMOSI NIKOTIN ! Lanskap Kota Gaplek ini senyatanya sudah sumpek oleh centang-perenangnya iklan-iklan rokok. Dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), para birokrat di Pemkab Wonogiri sepertinya tega menyiksa isi otak warganya untuk setiap harinya dijejali iklan-iklan rokok.

Penetrasi iklan-iklan rokok itu begitu merajalela dan nyaris tidak menyisakan pertimbangan estetika. Para birokrat itu jelas mengidap sakit myopia, cadok, sehingga tidak mampu memikirkan dampak ancaman terhadap kesehatan yang serius akibat rokok yang bakal harus dibayar lunas oleh generasi muda Wonogiri di masa depan.

Sebagai ilustrasi, silakan simak gambaran mengejutkan di balik iklan-iklan rokok itu sebagaimana berita di harian Jawa Pos Radar Yogya yang dikutip BBC (14/12/2007). Harian itu ketika melaporkan hasil seminar “Studi Kelayakan Penyusunan Perda Pembatasan Rokok” di Yogyakarta (13/12/07), mengajukan fakta bahwa dua pertiga dari 19 juta penduduk miskin Indonesia adalah perokok.

Bayangkan kemudian : untuk kebiasaan buruk yang mencandu itu pada sepanjang tahun 2006 saja mereka telah rela menghabiskan uangnya untuk membeli rokok sebesar 23 trilyun rupiah. Angka pemborosan uang itu bisa untuk membeli 5,8 juta ton beras. Dana yang sama juga lebih besar dibanding dana APBN untuk subsidi BBM yang diperuntukkan bagi mereka.


Perang Nikotin di Wonogiri. Indonesia dan termasuk pula Wonogiri, sekarang memang menjadi medan perang industri rokok. Baik yang berasal dari dalam negeri atau pun dari luar negeri. Hampir empat tahun lalu saya telah menulis surat pembaca berikut ini :


Bonus rokok di tiket olahraga
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, 20 Agustus 2004


Pengumuman aneh tertera di loket penjualan tiket kejuaraan bola voli yunior se-Jawa Tengah yang berlangsung di GOR Wonogiri, 7/8/2004 yang lalu. Tertulis harga tiket Rp. 3.000 dan pembeli dapat bonus sebungkus rokok. Saya batal nonton dan berpikir, bukankah pabrik rokok itu curang, melakukan dumping harga untuk mempromosikan produknya ?

Bukankah ini rekayasa bisnis tak etis, untuk produk yang berpotensi besar mengakibatkan kecanduan dan sekaligus membahayakan kesehatan ? Apalagi sasarannya anak-anak muda, di pentas yang tujuannya mempromosikan pentingnya kesehatan, yaitu ajang olahraga ?

Rokok, produk yang membahayakan kesehatan, tampil sebagai sponsor pertandingan olahraga sudah lumrah di tanah air kita. Modus serupa juga gencar dalam pertunjukan musik dan acara lain yang diperkirakan menyedot kehadiran anak-anak muda. Memang, anak-anak muda seumuran SMP-SMA kini jadi target utama produsen rokok. Sebab sekali mereka kecanduan rokok di usia rawan itu, kebiasaan buruk tersebut akan sulit hilang sampai dewasa atau meninggal di usia muda.

Peristiwa di GOR Wonogiri itu, dalam skala besar, mencerminkan pribadi bangsa kita yang terbelah. Kita adakan ajang untuk mempromosikan kesehatan, tapi sponsornya produk yang membahayakan kesehatan. Semakin banyak dibangun tempat-tempat ibadah, tetapi seperti kasus ramai di DPRD-DPRD, mereka pun tak malu berkorupsi secara berjamaah.

Kita mengaku mendukung reformasi, tapi sosok-sosok Orde Baru tetap berjaya di panggung. Gembar-gembor tak tergiur kembali terjun ke politik, tapi tetap glibat-glibet dan ngotot mengajukan RUU yang bertabiat sebaliknya. Mengaku harus netral dalam pemilu, tapi bukti VCD yang bocor ke masyarakat berkata sebaliknya pula. Itulah anomali kepribadian kita sebagai bangsa.

Photobucket

NALAR TIDAK GATHUK. Pesan dalam bilbor iklan rokok ini dan pesan yang ada di bawahnya senyata-nyatanya sangat kontradiktif. Tidak masuk akal sehat. Bagaimana bisa produk rokok mampu mempromosikan sehat bagi warga Wonogiri ?


Anomali yang sama juga diperlihatkan oleh pucuk pimpinan bangsa kita, saat itu. Untuk mengedepankan potretnya, saya telah pula menulis surat pembaca berjudul “Nalar Yang Masih Tidak Gathuk,” dan dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah, Sabtu, 18 September 2004. Silakan menyimaknya di bawah ini :

Sivitas akademika Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang pantas dipuji ketika menempuh kebijakan melarang segala bentuk iklan rokok di lingkungan kampusnya. Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) di Purwokerto berdemo menuntut dicabutnya sarana reklame rokok dalam suatu kegiatan di kampus. Lebih hebat lagi, Universitas Petra Surabaya menetapkan larangan merokok di lingkungan kampusnya sejak pertengahan Agustus 2004.

Berapa banyak institusi pendidikan kita dan warganya berlaku cerdas seperti ketiga kampus tadi ? Tidak banyak. Banyak kepala sekolah atau rektor yang tidak merasa bersalah bila ring basket, bangku taman di lingkungannya, terpampang merek rokok. Tidak sedikit mahasiswa yang mengadakan kegiatan di kampus, turnamen olahraga misalnya, dengan alasan lebih mudah mencari duit sponsor maka dikirimi proposal utama adalah pabrik-pabrik rokok.

Realitas yang menyedihkan. Insan-insan cendekia kita itu begitu tertabrak upaya memperoleh uang, maka mudah saja terjadi apa yang disebut sebagai cognitive dissonance (CD), kesadaran yang tak nyambung. Demi uang, mereka seolah melupakan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh rokok dan kebiasaan merokok yang mereka kampanyekan itu. Nalar rancu, tidak gathuk (Jawa) ini, dikuatirkan akan mudah berlanjut bila mereka telah terjun di masyarakat. Dengan berpendapat demi uang maka apa pun suara hati, suara kesadaran, boleh dipinggirkan. Ini benih korupsi, bukan ?

Nalar rancu itu tak hanya diidap oleh insan-insan kampus kita. Pada tanggal 19/8/2004, Presiden kita mengunjungi pasukan TNI-Polri yang bertugas di Aceh, di lembah Aloe Gintong, Kecamatan Jantho, Kabupaten Aceh Besar. Kepada para prajurit, seperti dilaporkan Kompas (20/8/04 :1), Presiden (Megawati-BH) berpesan : Jaga kesehatanmu dan berhati-hatilah dalam bertempur. Berita yang sama telah dimuat di Solopos (20/8/04 :2) bertajuk : Di Aceh, Presiden bagikan rokok kepada prajurit.


Anak-anak sebagai korban. Nalar yang rancu itu mampu mengakibatkan dampak yang serius. Mari kita ikuti cerita dari wartawan William Ecenbarger dalam artikelnya yang berjudul America’s New Merchants of Death, Saudagar-Saudagar Kematian Baru dari Amerika Serikat di majalah Reader’s Digest, 4/1993 : 17-24.

Ia menyebutkan, raksasa industri rokok Amerika sebagai saudagar-saudagar kematian baru semakin agresif memindahkan pasarnya ke luar negeri. Karena sebagai negara maju dengan penduduknya berpendidikan, berkesadaran tinggi menjaga kesehatan, membuat konsumsi rokok semakin menurun. Apalagi perangkat hukumnya ketat dan tegas.

Sasaran perpindahannya justru negara miskin dan berkembang. Indonesia dengan penduduk ratusan juta, dengan sbagian besar penduduknya berusia muda, jelas merupakan pasar sangat menggiurkan. Sadisnya lagi, anak-anak dan kaum muda yang menjadi sasaran bidik utama mereka.

Mengapa anak-anak ?

Ketika perokok tua berhenti merokok atau meninggal, masa depan industri rokok bergantung kepada keberhasilan perekrutan konsumen baru mereka, yaitu anak-anak dan kaum muda. Terlebih lagi dari hasil kajian didapat data bahwa seseorang mulai merokok rata-rata pada umur 12 – 16 tahun. Mereka yang tidak merokok ketika berumur 18 tahun akan tidak kecanduan merokok.

Ketika serbuan rokok Amerika mengganas di Indonesia, reaksi apa yang dilakukan oleh industri rokok Indonesia ? Melawan dengan sengit. Terjadilah perang iklan secara sengit antarsaudagar kematian, baik melalui acara musik, olahraga, kegiatan tradisional, pemberian beasiswa, bahkan lomba karya tulis untuk wartawan. Ujung dari itu semua adalah : anak-anak muda kita yang jadi korban. Apalagi bom-bom nikotin itu mereka poles sebagai citra gaya hidup muda, gaul, gaya, funky, masa kini.

Sampai-sampai mahasiswa dan dosen dua perguruan tinggi negeri, UNS di Solo dan Undip di Semarang Jawa Tengah (Kompas Jawa Tengah, 17/9/2004), mau termehek-mehek dan terbius sihir promosi rokok berselubung seminar pendidikan akibat julignya kreator iklan mengemas produk yang berbahaya untuk dikonsumsi anak-anak muda kita.


Orang miskin korban utama. Perang antarsaudagar kematian di atas mirip fenomena perang melawan teroris di negeri kita, pasca 11 September 2001. Saat itu Amerika Serikat bangkit, bergegas menata diri memerangi terorisme. Peraturan imigrasi yang ketat sampai kewaspadaan tinggi, mampu mempersempit ancaman teroris. Akibatnya, teroris memindahkan teaternya melawan AS dan sekutunya di negara-negara luar AS. Termasuk ke Indonesia, di mana teror bom di Bali, Hotel Mariott Jakarta dan di depan Kedubes Australia adalah contoh aktualnya.

Sebagaimana contoh terorisme di atas, perang perebutan pasar rokok merembet ke negara kita. Indonesia karena perangkat hukum relatif lemah dalam regulasi rokok, bahkan presiden kita enggan menandatangani FCTC (WHO Framework Convention on Tobacco Control) atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau, menjadikan negeri ini ideal dijadikan arena perang antarpara penjaja bom-bom nikotin itu.

Korbannya ?

Menteri Kesehatan AS Richard Carmona mengutip isi Laporan Pemerintah AS No. 28 (Deutsche Presse-Agentur, 27/5/2004) menyatakan bahwa merokok mengakibatkan penyakit untuk semua organ tubuh, pada semua tingkatan usia, di seluruh dunia. Tercatat 440.000 warga AS meninggal tiap tahun akibat penyakit yang terkait dengan merokok dan menghamburkan biaya 157 milyar dollar per tahun, di mana 75 milyar untuk pengobatan dan 82 milyar dollar untuk produktivitas kerja yang hilang.

Itu di Amerika Serikat, sebuah negeri kaya yang penduduknya kebanyakan berpendidikan dan memiliki kesadaran kesehatan yang tinggi. Bagaimana jumlah korban dan kerugian akibat bom-bom nikotin di Indonesia ? Siapa saja mereka ?

Memanglah, konsumen rokok justru sebagian besar adalah orang-orang miskin. Juga anak-anaknya. Termasuk mereka adalah pula warga miskin yang terdaftar sebagai warga Wonogiri, di mana menurut laporan koran Seputar Indonesia (19/1/2008 : hal. 13) disebutkan bahwa Wonogiri termasuk sebagai tiga besar daerah tertinggal di Jawa Tengah.

Photobucket

MENGANCAM SEJAK DINI. Sebuah persewaan playstation di Wonokarto, Wonogiri. Arena permainan yang disukai anak-anak ini ikut diincar sebagai ajang untuk mengajak anak-anak berkenalan dengan rokok.

Sebagai ilustrasi, saya memiliki tetangga yang berusaha warung makan dan juga ada yang mengelola persewaan play station. Antara lain konsumennya adalah sebagian siswa sekolah kejuruan swasta yang lokasinya ada di kampung saya. Mereka itu sering nampak jajan, juga main games, sambil menikmati merokok.

Sementara itu saya pernah meliwati warung-warung yang berada di sekitar sekolah kejuruan swasta, di sekitar Kaloran, Wonogiri Kota. Saat itu jam istirahat, dan saya saksikan sekitar 30-50 persen siswa yang memenuhi warung-warung itu sedang merokok.


Photobucket

GURU KITA TUTUP MATA ? Iklan-iklan rokok juga hadir secara demonstratif di depan hidung komplek sekolah. Nampak dalam foto warung-warung yang berada di sekitar gedung SMP Negeri I Wonogiri terdapat 5 dari 7 warung yang ada memakai kain tabir penutup warungnya yang berisi iklan-iklan rokok.

Sepertinya para guru bekas sekolah saya ini, sudah tak peka akan hal semacam itu ? Apakah fenomena pelajar merokok di sekitar lingkungan sekolah sekarang ini tidak lagi menjadi perhatian para guru-guru mereka ?

Kalau para birokrat, bahkan juga kalangan guru atau orang tua siswa di Wonogiri seolah menutup mata rapat-rapat, juga membutakan nuraninya terhadap fenomena makin gencarnya iklan-iklan rokok dan budaya merokok di kalangan anak didik mereka, lalu siapa lagi yang hirau terhadap masa depan generasi muda kita di Wonogiri ini ?

Hanya Tuhan Yang Maha Tahu.


Wonogiri, 9/2/2008

tmw

Monday, February 4, 2008

Setelah Amuk Bengawan Solo

Rasanya belum terhapus dari ingatan pelbagai rekomendasi penting hasil Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007 terhadap penyelamatan masa depan sungai legendaris itu. Isu-isu tersebut beberapa hari ini telah diungkap kembali oleh wartawan Kompas, pelaku ekspedisi sekaligus saksi hidup yang mencatat pelbagai kerusakan sungai kita itu dari hulu sampai hilir.

Photobucket

Sebelum cahaya. Beberapa siluet pengunjung nampak sedang melintas di tepian waduk Gajah Mungkur sebelum matahari muncul di ufuk. Tepian waduk ini menjadi salah satu rekreasi dan berolah raga ringan bagi warga Wonogiri di hari Minggu pagi.

Photobucket

Benteng penahan air. Tanggul waduk Gajah Mungkur di lihat dari sisi utara bangunan. Garis yang melintang di bawah adalah pipa yang digunakan untuk menyalurkan lumpur waduk ke penampungan. Objek yang nampak kecil adalah pengunjung waduk di pagi hari.

Saya sebagai warga Wonogiri dan kebetulan jadi saksi peresmian ekspedisi itu pada tanggal 9 Juni 2007, di kolom ini telah mengusulkan agar tanggal itu dijadikan sebagai hari peduli dan cinta Bengawan Solo. Rasanya usulan saya itu harus dicabut, atau direvisi. Karena setelah Bengawan Solo mengamuk dan mengakibatkan banjir yang konon lebih besar dibanding tahun 1966 melanda Solo hingga Bojonegoro, kepedulian dan aksi terhadap upaya penyelamatan bengawan itu harus dilakukan setiap hari.

Mulai saat ini.

Semua fihak harus terus saling mengingatkan, terlebih karena kita adalah bangsa yang sangat pelupa dan sangat mudah alpa mengerjakan pekerjaan rumahnya.



Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia

Catatan : Surat pembaca ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di Kompas Jawa Tengah, Senin, 12 Januari 2008.

Pintu Air Waduk Gajah Mungkur

Selepas musibah banjir yang melanda Solo (26/12/2007), tiba-tiba pintu air Waduk Gajah Mungkur Wonogiri menjadi fokus liputan beberapa radio swasta di Solo. Ada yang menerjunkan reporter, tetapi ada juga yang hanya mengandalkan nara sumber penduduk lokal yang nampak tidak menguasai masalah. Isi liputan mereka nampak bias, sangat menyederhanakan masalah, di mana seolah dibuka atau ditutupnya pintu air waduk itu sebagai penyebab utama terjadinya (atau tidak terjadinya) banjir di Solo.

Photobucket

Pintu Sedang Dibuka. Dua dari empat pintu air waduk Gajah Mungkur sedang dibuka. Foto diambil Minggu, 30/12/2007.

Photobucket

Waduk di pagi hari. Dengan latar depan deretan alat-alat berat, yaitu back hoe yang digunakan untuk mengeruk lumpur yang mempercepat pendangkalan, panorama waduk Gajah Mungkur nampak cukup asri di pagi hari.

Reportase radio itu sama sekali tidak menyinggung adanya belasan anak-anak sungai Bengawan Solo antara Wonogiri-Solo yang jauh lebih banyak menyumbang luapan air ketika hujan deras terjadi. Ingat, akibat perubahan iklim telah membuat curah hujan berlangsung lebih pendek waktunya tetapi dengan curahan yang berlipat-lipat kuantitas dibanding sebelumnya. Sementara itu kuantitas aliran air ketika pintu waduk Gajah Mungkur dibuka diperkirakan hanya sebesar 16 persen saja. Terlebih lagi proses buka dan tutup pintu air itu tentu dilakukan secara terukur dan bertanggung jawab.

Saya berharap pemberitaan yang dangkal dan bertendensi menciptakan horor dari radio-radio swasta itu harus diakhiri dan diganti dengan pemberitaan yang lebih komprehensif, bersifat edukatif dan bertanggung jawab.


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612
Warga Epistoholik Indonesia


Catatan : Surat pembaca ini dengan penyuntingan redaksi telah dimuat di Kompas Jawa Tengah, Senin, 31 Desember 2007.