Tuesday, January 16, 2007

Prof. HB Sutopo dan Eyang Murtidjono Pensiun

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id


Resep Sehat Voice of America. Penguasaan dua bahasa, bilingual, berpotensi memperlambat seseorang dari ancaman kepikunan. Informasi kesehatan menarik itu saya dengar dari radio Voice of Amerika (VoA) Siaran Indonesia, 15/1/2007. Penggunaan dua bahasa secara aktif diwartakan memacu otak penggunanya menjadi lebih “cemerlang” dan “tahan lama” dibanding otak mereka para pengguna satu bahasa saja.

Kabar ini, sekali lagi, nampaknya semakin mengukuhkan pendapat use it or lose it, gunakan atau kehilangan, baik yang menyangkut otak mau pun otot Anda. Kiranya kita dapat bercermin dari pendapat Alfred Eisenstaedt (1898–1995), fotografer dan jurnalis kenamaan Amerika kelahiran Jerman. Seperti telah dikutip edisi elektronik majalah Life 24 Agustus 1995 (“tepat saya berumur 42 tahun”) ia telah berujar, ”although I am 92, my brain is 30 years old.” Walau saya berusia 92 tahun, tetapi otak saya berusia 30 tahun.

Umur saya kini menjelang 54 tahun. Juga sudah terasa mulai dihinggapi “penyakit” mudah lupa. Pernah saya ke warnet, sesudah berjalan kaki sekitar 2 km, harus kecewa karena disket yang berisi tulisan untuk di-upload ke blog-blog saya dan materi untuk membalas email, lupa tidak saya bawa.

Sehari-hari saya yang terlibat dalam pemakaian tiga bahasa, Jawa, Indonesia dan Inggris, tetapi ketika bercermin diri saya sungguh tidak tahu pasti sejauh mana tesis informasi dari VoA di atas berlaku untuk diri saya. Dari ketiga bahasa itu, pastilah bahasa Inggris yang paling minimal saya kuasai. Maklum.

Tahun 1986 pernah ikut tes TOEFL di Kedutaan Besar Amerika Serikat, nilai saya hanya 58. Padahal untuk bisa lulus harus minimal, kalau tak salah ingat, 76. Di antara yang mampu mencapai angka lulus itu adalah Rene L. Pattiradjawane, lulusan Sastra Cina FSUI, dan kini redaktur senior di Harian Kompas.

Proses penguasaan saya untuk bahasa negerinya Putri Diana itu berlangsung asal-asalan. Sejak kecil hingga kini. Tetap saja asal-asalan. Termasuk setahun terakhir ini ketika saya membaca-baca email atau mendengar obrolan via telepon dengan Niz, my sweet heart yang tinggal di London.


Like father, like son. Belajar bahasa adalah masalah kebiasaan, kata Niz, suatu waktu. Konon ia sendiri saat tiba di Inggris lebih dari 20 tahun lalu, belajar berbahasa Inggrisnya dari anak-anak atau kaum manula saat bekerja sebagai carer, pengasuh mereka.

Bahasa Inggris menarik saya ketika saya masih duduk di klas lima SD Negeri 3 Wonogiri, 1965. Saya tidak tahu untuk tujuan apa, tetapi saat itu ayah saya, Kastanto Hendrowiharso, yang seorang TNI Angkatan Darat, di rumah sering mengucapkan kata dan kalimat dalam bahasa Inggris. Saat itu ia bertugas di Kodim 0734 Yogyakarta. Saya punya ayah hanya setiap hari Sabtu dan Minggu. Beliau rupanya mengambil kursus bahasa Inggris di Yogyakarta dan ketika ia belajar di rumah, saya ikut mendampingi dan mendengarkan, sehingga terimbas secara alamiah.

Tahun lalu, Mas Bambang Setiawan (BS), warga Wonogiri yang lama tinggal di Jakarta, kakak dari Sri Wahyuni (teman seangkatanku di SMP Negeri 1 Wonogiri), bercerita lewat email tentang ayah saya. Mas BS bisa saling mengenal dengan diri saya gara-gara saya memiliki blog di Internet. Ketika di masa kanak-kanak, kami justru tidak saling mengenal.

Yang saya tahu kemudian, adiknya Sri Wahyuni adalah putri dari Wakil Kapolres Wonogiri saat itu. Rumah dinasnya di tepi jalan raya, depan warung menco. Kemudian saya tahu ternyata ibunya Mas BS itu, Ibu Sudarmo, telah pula mengenal ibu saya. “Bu Kastanto itu priyayi-nya tinggi besar,” kenang Ibu Sudarmo. Sebagai istri polisi rupanya beliau akrab pula dengan kalangan istri tentara di Wonogiri.

Mas BS sekarang merupakan salah satu dedengkot :-) paguyuban warga Wonogiri yang tinggal di Jakarta. Kantornya di Graha Irama Building, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta. Di antara warga paguyuban wong Wonogiri itu, begitu ceritanya, antara lain mBak Ari Selopadi. Kalau tidak salah ingat, mBak Ari yang cantik dan tinggi semampai itu, yang pernah menjadi Putri Jawa Tengah, adalah juga alumnus sekolah dasarku, SD Negeri 3 Wonogiri. Termasuk semua adiknya, Minda, Iwan sampai Jajit.

Warga paguyuban lainnya adalah Mas Handrio, putra Pak Pangat, yang jarak rumahnya sekitar 150 m dari rumahku. Menurut Mas Handrio, seperti ditirukan oleh Mas BS, bahwa ia mengenal ayahku sebagai “lancar berbahasa Inggris.” Maka di emailnya pada saat-saat awal kenal, Mas BS membom diriku dengan perkataan : like father, like son.”

Selain belajar bahasa Inggris, beberapa waktu sebelumnya ayahku bercerita bahwa dirinya juga mempelajari bahasa Rusia. Kalau tak salah ingat, beliau bercerita akan ikut tes agar bisa lolos diikutkan menempuh tugas belajar di negeri asal Nikita Khrushchev, Mikhail Baryshnikov sampai Mikhail Sergeevich Gorbachev itu.

Dari buku-buku peninggalannya yang masijh utuh, antara lain dalam Buku Bahasa Rusia : Kursus Permulaan (Moskou, 1959), ia tulis dibeli seharga Rp. 50,00 tanggal 4 Desember 1961. Tercatat ayah mulai belajar 5 Desember 1961, Jam 17.30. Saat itu saya berumur 8 tahun. Dasar anak-anak, dari buku tersebut saya terpancing untuk ikut belajar bahasa Rusia pula.

Ketika SMP, saat dilanda cinta monyet, saya pernah menulis surat cinta berbahasa Indonesia tetapi dengan huruf abjad Rusia. Nasib surat itu mencocoki isi lirik lagu lama, Night of White Satin-nya Moody Blues : “letters I've written, never meaning to send. Surat-surat yang aku tulis tidak pernah dimaksudkan untuk dikirimkan. Kalau pun saya kirimkan, siapa yang mampu menjamin sang jantung hati akan memahami isinya ?

Tahun 1980 ketika berkuliah di FSUI saya berteman dengan Arlima “Ipit” Mulyono, adik pelawak Warkop Prambors, Nanu Mulyono. Ipit pernah berkuliah di Sastra Rusia. Ketika saya mencoba mengobrol dengan satu dua patah kata Rusia, Ipit mengira saya pernah ikut kursus Bahasa Rusia, Jl. Diponegoro, Jakarta.


Memvonis Raja Gerobak. Belajar bahasa Inggris secara tidak langsung lumayan menggebu di tahun 1977-1979. Saat itu saya menghuni sanggar seni rupa yang kami sebut sebagai Gallery Mandungan, Muka Kraton Surakarta. Kehidupan semi bohemian di sanggar itu membuat saya berinteraksi dengan pelbagai aktivis kesenian Solo lainnya.

Photobucket - Video and Image Hosting

Di Luar Arena Scrabble. Aktivitas kesenian di Sanggar Mandungan beragam. Antara lain pementasan musik dan pembacaan puisi. Dalam foto tergambar aktivitas latihan untuk pementasan Malam Puisi 1977. Ki-ka : Murtidjono, Marsudi (membelakangi kamera), Tatah, Harsoyo dan Efix Mulyadi.


Aktivis tersebut antara lain HB Sutopo, Conny Suprapto dan Narsen Afatara, ketiganya adalah pengajar di Jurusan Seni Rupa UNS Sebelas Maret. Ada pula Murtidjono atau Eyang Murti, sebutan gaulnya, yang saat itu baru lulus dari Fakultas Filsafat UGM. Dia lagi kesengsem sama Koes Murtiyah alias Gusti Mung dari Kraton Solo, yang saat itu masih duduk di SMAN 4 Solo.

Kalau aku sih lebih menyukai adiknya, Koes Indriyah. Juga diam-diam menyukai Kenil, putri Pak Panji Mloyosuman, pelajar SMA Ursulin, yang bermurah hati menebarkan senyum penuh pesona dan lambaian tangan ketika setiap kali melintas di depan Mandungan.

Pengunjung setia sanggar lainnya adalah Didik “Fernando” Marsudi almarhum. Ia pegawai Pemkot Solo, aktivis teater dan kemudian dikenal sebagai seniman ketoprak Solo, Harsoyo Rajiyowiryono, mahasiswa Sastra Jawa UNS Sebelas Maret dan kini bekerja di Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo dan juga Broto, pemuda dompu asal Laweyan, sohib-nya Eyang Murti, yang saat itu sepertinya tak selesai-selesai kuliahnya di FE UGM.

Nama-nama di atas adalah musuh-musuh utama saya dalam bermain scrabble. Papan permainan ini saya beli tanggal 6 Juni 1979. Pada boksnya tertulis : Manufactured by J.W. Spear & Sons, Ltd., Enfield, Middlesex, England. Sebelumnya saya membeli yang buatan dalam negeri, tetapi kurang memuaskan. Ibarat pembagian liga dalam kancah sepakbola, maka di Gallery Mandungan sering berlangsung permainan scrabble dalam dua arena : para pemain divisi utama menggunakan papan buatan Inggris dan divisi kedua menggunakan papan scrabble buatan dalam negeri. :-)

Selain sebagai pemain, saya sendiri didaulat sebagai pencatat kata mau pun skor. Juga penghakim karena saya yang memiliki kamus dan sekaligus sebagai motor pengejek bagi pemain lain yang kosa katanya terbatas. Mereka yang sering berulang memunculkan kata “VAN” mendapat vonis ramai-ramai dengan sebutan Raja Gerobak.

Arena permainan kadang tidak hanya di Mandungan, tetapi berpindah ke Baturan, rumah Pak Topo yang berada di kompleks perumahan dosen UNS. Atau berekspansi ke Laweyan, rumahnya Broto, atau rumah Marsudi, di Kauman.

Permainan scrabble ini begitu mencandu, membuat hidup kami seolah terbalik. Siang hari dijadikan untuk tidur dan malam hari digunakan untuk melek, bertarung meramu huruf menjadi kata yang bermakna, sekaligus menggabungkan unsur penguasaan terhadap kosa kata dengan kalkulasi demi meraih nilai tertinggi dipadu strategi membunuh peluang lawan. Sebagai pencandu scrabble dan pelintas batas malam, kami pun mengeluarkan kata-kata mutiara : “Cara terampuh untuk bisa bangun pagi adalah bila semalaman tidak tidur.”


Imbauan Menawan Dari Michigan. Sekarang ini kabar tentang teman-teman bermain scrabble di atas, kadangkala saya ketahui dari surat kabar. Sejak tahun 1980 saya meninggalkan Solo untuk berkuliah di Jakarta dan tahun-tahun sesudahnya membuat saya seperti terbuang sekaligus terputus dari seluk-beluk atmosfir sampai kiprah dunia kesenian.

Seperti saya katakan via email kepada Tinuk R. Yampolsky di New Haven, Connecticut, AS, karena teman-teman sesama aktivis kesenian Solo nampak belum akrab dengan Internet, antara lain telah membuat kami yang secara geografis dekat justru sulit saling bertemu di dunia maya.

Tahun 1987 saya pernah menulis surat pembaca di Majalah Tempo (7/2/1987). Isinya menawarkan Buletin InfoSeksi, yaitu jasa informasi mutakhir kepada klien berupa puluhan daftar isi majalah-majalah ilmiah luar negeri. Saya saat itu sedang merintis bisnis sebagai broker informasi. Secara mengejutkan, alamat saya di majalah itu telah mengakibatkan saya mendapatkan surat dari Pak Topo. Dari Michigan, Colorado, Amerika Serikat. Beliau menceritakan berita gembira, bahwa dirinya telah meraih dua gelar master dan kini meraih gelar Ph.D.

Ia pun mengompori diri saya untuk tergerak pula menempuh pendidikan lanjutan di manca negara. Nasehat hebat. Tetapi karena kebacut putus asa dengan nilai TOEFL saya yang rendah itu, sehingga membuat peluang saya untuk memperoleh beasiswa Fulbright ke AS praktis tertutup karena melewati batas umur, saya mencoba menghibur diri dengan membalas : mungkin diri saya masih ada peluang untuk belajar ke Inggris. Ternyata, sampai sekarang pun impian belajar ke Inggris itu masih pula hanya sebatas sebagai impian belaka.


Pensiunan : Untapped Resources. Informasi lanjutan tentang Pak Topo saya ikuti dari surat kabar, antara lain ketika beliau diangkat sebagai guru besar di UNS Sebelas Maret. Saya lupa tahunnya. Adik saya yang terkecil, Basnendar Heriprilosadoso, masih sempat menjadi mahasiswa dari Prof. HB Sutopo tersebut.

Berita mutakhir, koran Solopos minggu lalu (13/1/2007) mewartakan bahwa Pak Topo telah memasuki masa pensiun sejak November 2006. Sementara itu koran Suara Merdeka, minggu lalu pula, mewartakan Murtidjono akan pensiun sebagai PNS bulan Juni 2007, dan berarti pula pensiun dari jabatannya yang lebih dari dua puluhan tahun sebagai Kepala Taman Budaya Surakarta (TBS) Solo itu.

Saya merasa lucu, juga rada aneh, membaca kabar-kabar di atas untuk memergoki fakta betapa sesama teman sepermainan scrabble di akhir tahun 70-an kini telah memasuki masa pensiunnya. Mungkin bila pekerjaan boleh diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka pak Topo dan Eyang Murti boleh disebut mereka tidak akan bermain lagi. Tetapi bila karier yang diibaratkan sebagai permainan scrabble, masa pensiun bukanlah batas akhir untuk melanjutkan karier mereka. Karena pekerjaan memang miliknya perusahaan, sedang karier adalah milik setiap pribadi.

Di koran tersebut diberitakan, Pak Topo masih memiliki kesibukan sebagai konsultan di Yayasan Indonesia Sejahtera. Juga tetap mengajar di kampus. Eyang Murti konon akan membantu istrinya dalam mengelola perusahaan keluarga, Sadinoe Songkopamilih. Nama ini aku dengar dari ayah sebagai perusahaan terpandang di Solo yang menyediakan peralatan tanda pangkat, seragam sampai sepatu militer.

Pak Topo dan Eyang Murti, masih sehat dan produktif. Demikian pula banyak kaum pensiunan yang lain. Nabi media digital Nicholas Negroponte dari MIT, menyebut kaum pensiunan itu sebagai untapped resources, harta karun yang terbengkalai dan belum dibudi dayakan secara maksimal. Saya telah menyuarakan keprihatinan itu dalam surat pembaca, sekitar dua tahun yang lalu :


Masa Pensiun, Masa Loyo ?
Dimuat di Harian Kompas Jawa Tengah
Rabu, 17 November 2004


Setiap kali penerimaan pelajar atau mahasiswa baru, mirip sebuah ritual, mereka harus menjalani masa orientasi. Bagaimana mereka yang akan pensiun ? Apakah mereka juga memperoleh bimbingan dan orientasi dari para seniornya ? Pertanyaan itu muncul ketika Kompas (10/9/2004) mewartakan tahun 2004-2009 terdapat 590.000 pegawai negeri sipil, terbanyak guru, yang pensiun. Jumlah yang sangat besar.

Hemat saya, sangat disayangkan bila ratusan ribu kaum terdidik yang selama ini terbiasa melakukan olah intelektual, bila tanpa bimbingan dan orientasi, akan membuat sumber daya intelektual mereka jadi muspro, sia-sia, di masa pensiunnya.

Dr. Mary Furlong, pakar Internet AS yang menaruh perhatian kepada kaum lansia, menemukan istilah bahasa Perancis, troisieme age, usia ketiga, untuk sebutan periode kehidupan saat seseorang bebas melakukan apa yang ia inginkan.

Periode Usia Pertama, seseorang berkembang sebagai pribadi. Periode Usia Kedua, mengejar karier dan membentuk keluarga. Di Usia Ketiga, usia pensiun, dirinya menjadi miliknya sendiri. Berbeda dari anggapan bahwa masa pensiun adalah saat dirinya tidak lagi dibutuhkan, lalu menjadi apatis dan loyo, sebenarnya masa pensiun merupakan waktu terbaik untuk mengembangkan kreativitas, terus belajar dan terus bereksplorasi.

Bapak Soeroyo (80 tahun), asal Solo, mungkin dapat dijadikan salah satu contoh. Bangga sebagai epistoholik, sejak pensiun dari PNS tahun 1981 beliau mengisi hari-hari kreatifnya di usia sepuh dan sehat itu dengan terus mengamuk (dalam tanda kutip), menulis surat-surat pembaca. Resepnya, banyak membaca, memperhatikan siaran radio, juga televisi. Bila ada hal-hal yang tidak laras dengan pikiran beliau, segera ia angkat pena. Tulisannya yang arif dan semangatnya yang tinggi menjadi ilham para yunior dalam komunitas Epistoholik Indonesia

Beliau juga rajin menggalang silaturahmi dalam wadah PWRI. Banyak humor. Bahkan punya slogan yang pantas dicamkan oleh sesama pensiunan dan mereka yang akan pensiun. Slogannya TOPP : Tua, Optimis, Prima dan Produktif. Beda dengan TOPP di jaman Orde Baru yang berarti Tua, Ompong, Peot dan Pikun.

Fenomena di AS tentang kaum lansia yang tetap aktif dan terus belajar ditunjukkan dengan data bahwa pengguna Internet yang terbanyak justru berasal dari kelompok demografis usia 50-an ke atas. Alias kaum usia ketiga, para pensiunan !

BAMBANG HARYANTO
Warga Epistoholik Indonesia
Jl. Kajen Timur 72
Wonogiri 57612


Bagaimana diri saya sendiri ? Bila menurut peraturan pegawai negeri sipil, saya akan pula pensiun satu-dua tahun mendatang. Tetapi saya bukan seorang pegawai negeri. Sehingga apabila pekerjaan dan karier diibaratkan sebagai permainan scrabble, maka saya masih tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan orang lain untuk memainkannya.

Bahkan secara konkrit, saya pun masih memainkannya. Walau memang tidak bisa ramai-ramai lagi. Juga tidak pula harus setiap malam. Juga bukan lagi menggunakan papan scrabble buatan J.W. Spear & Sons, tetapi memanfaatkan peranti lunak permainan scrabble buatan Infogrames di komputer .

Dalam hidup kita memang saling memandang. Tetapi, there is only one success – to be able to spend your life in your own way. Hanya ada satu keberhasilan, yaitu menuntaskan waktu hidup Anda untuk menyusuri kehidupan yang telah Anda pilih sendiri. Ucapan penulis Amerika Christopher Morley (1890–1957) di atas kiranya pantas menjadi panduan kita semua. Terutama untuk diri saya pribadi yang selama ini memang tidak pernah menerjuni pekerjaan dan karier sebagai pegawai.

Ketika teman-teman sepermainan scrabble berangkat memasuki pensiun, seperti tergurat dalam lirik lagunya Carpenters yang saya sukai, We've Only Just Begun, mungkin hidup saya dalam beberapa hal justru baru akan dimulai. Lagu indah dan ucapan Morley di atas mampu membuat senyum kecil ketika di Wonogiri ini saya membaca email Niz yang mutakhir. Isinya setengah merajuk, sekaligus mengajukan pertanyaan : kapan mas mendampingi hidup saya di London ?


Wonogiri, 16 Januari 2007


tmw

Tuesday, January 2, 2007

Splendid Entrepreneur Dan Masa Indah Pencinta Sepakbola Dari Wonogiri

Oleh : Bambang Haryanto
Email : wonogirinews@yahoo.co.id



The Technology Paradox merupakan judul sampul yang provokatif dari majalah Business Week, 6/3/1995. Majalah ini saya beli di Solo hampir dua belas tahun yang lalu. Subjudulnya pun inspiratif :

“Telepon seluler menjadi hadiah gratisan. Peranti lunak dijajakan secara cuma-cuma. Komputer laptop berkemampuan sebesar komputer mainframe. Tatkala teknologi tinggi menjadi teramat murah, produsernya pun harus mencari cara-cara baru untuk meraup keuntungan. Mereka telah mendapatkannya.”

Salah satu penganut pemakaian cara-cara baru berbisnis itu antara lain taipan media, Rupert Murdoch. Bos News Corp. ini, demikian kutip Business Week, telah memunculkan istilah splendid entrepreneur untuk merujuk orang-orang yang bersenjatakan antena parabola di India untuk membajak siaran televisi satelit global StarTV milik sang baron media itu. Kemudian para wiraswastawan cerdas itu menjual siaran StarTV tersebut kepada tetangganya melalui saluran kabel.

“Kalangan yang sinis berkata bahwa pembajakan itu akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup Star. Kami berpendapat lain,” cetus Murdoch. Apa logikanya ? Menurutnya, para splendid entrepreneur tersebut justru berjasa memperluas pasar StarTV sehingga membuka peluang bagi Murdoch untuk menaikkan biaya pemasangan iklan di medianya.

Jalan pikiran Murdoch yang mencengangkan. Dan sungguh menyenangkan ketika isi laporan utama Business Week dua belas tahun lalu itu kini menggaung kembali di kepala saya hari-hari ini. Bahkan memunculkan rasa gelitik tersendiri ketika realitas dari kasus yang sama telah melibatkan hidup saya sehari-hari. Yaitu tatkala bisa menikmati buah karya warga Wonogiri, yang sekaligus splendid entrepreneur, yang telah mengikuti logika Murdoch tersebut.

Photobucket - Video and Image Hosting

Dua Belas Tahun Kemudian. Paradoks teknologi telah menjungkirbalikkan norma berbisnis dalam kancah teknologi informasi masa kini. Semua inovasi kini cenderung “dijual” secara gratisan, dari layanan email seperti Hotmail dan Yahoo, fasilitas blog sampai fasilitas tayangan video YouTube. Laporan majalah ini dua belas tahun lalu itu telah memunculkan istilah ekonomi atensi, di mana semua produk gratisan kini berlomba-lomba diobral secara cerdik guna memperebutkan komoditas paling berharga di era digital saat ini : atensi manusia. Fenomena itu marak di masa kini.


Sosok splendid entrepreneur asal Wonogiri itu Totok namanya. Tanpa kreasi Totok tersebut dapat dipastikan penduduk kota Wonogiri sangat terbatas pilihan saluran, termasuk juga kualitas gambarnya, dalam memperoleh akses siaran televisi yang ada. Topografi kota Wonogiri yang terkepung gunung memang menjadi kendala serius bagi penangkapan siaran televisi. Bagi saya pribadi, kendala itu pasti mengisolasi saya dari peluang menonton siaran televisi yang saya sukai : pertandingan sepakbola.

Walau pun demikian, bisnis televisi kabelnya Totok dan kawan-kawan ini kadang juga perlu diingatkan. Entah karena tidak tahu, atau teledor, sekadar contoh, pada hari Selasa malam (26/12/2006) hampir saja saya tidak bisa menonton pertandingan Liga Inggris sehari sesudah Natal.

Sebenarnya pada siang harinya saya sudah berusaha ke rumahnya Totok itu. Ingin mengingatkan bahwa nanti malam ada pertandingan sepakbola. Sepulang dari Perpustakaan Umum Wonogiri, saya ingin mampir. Tetapi saya salah masuk rumah. Yang saya masuki adalah rumah yang pintunya tertutup dan salam saya tiada berbalas. Di sekitar tidak ada yang bisa saya tanyai. Saya memutuskan pulang siang itu.

Selasa malam itu Wonogiri sedang diguyur hujan deras. Tetapi sekitar 15 menit menjelang kick-off, saluran ESPN Star Sports belum muncul. Saya memutuskan untuk ke rumahnya Totok lagi. Dengan memakai payung kecil, saya memaksakan diri menembus hujan untuk menuju rumah pusat penyiaran televisi kabel a la Wonogiri ini. Payung untuk menahan sinar matahari itu agak terlalu kecil, membuat sebagian tubuh saya terciprat air hujan. Tak apalah.

Payung itu berwarna merah dan biru, di mana pada warna birunya ditaburi bintang-bintang warna putih. Pada blok warna merah dihiasi tulisan putih, “USA Atlanta 1996.” Payung ini adalah merchandise yang dibawa adik saya, Broto Happy W. ketika ia meliput Olimpiade Atlanta 1996. Jadi payung itu sudah berumur 10 tahun.

Sokurlah, di malam hari itu saya bisa menemukan rumahnya Totok. Dari balik pagar saya hanya memberikan pesan, harap saluran 7 yang kini diisi oleh stasiun televisi Trans 7, dipindah ke ESPN Star Sports. Ketika saya tiba kembali ke rumah, perjalanan menembus hujan sepanjang satu kilometer itu membawa hasil maksimal. Bisnis Totok memenuhi permintaan pelanggannya.

Sambil menikmati gorengan tempe dan tahu, juga cabai, saya bisa menikmati pertandingan yang dikenal sebagai Boxing Day itu. Baik antara Chelsea vs Reading yang seru, 2-2, mau pun Manchester United yang menekuk Wigan dengan skor akhir 3-1.


Moment of Glory. Mengikuti pertandingan sepakbola melalui media elektronik kiranya merupakan pengalaman hidup yang tidak luar biasa bagi banyak orang. Mengilas balik, ketika saya duduk di bangku SD hingga SMP, sekitar tahun 1965-1968, saya mengikutinya melalui radio. Bukan di rumah, karena keluarga kami tidak memiliki radio. Tetapi di rumah Pak Maryomo.

Ayah dari mBak Mutmainah, mas Gembuk (Bambang Sadoyo), mBak Entuk dan mBak Uci ini, termasuk orang terpandang di kampung kami dengan memiliki radio saat itu. Di depan rumahnya terdapat pohon asam yang besar, hanya sekitar 15 meter dari rumah saya. Radionya masih memakai tabung, kuno, dan belum memakai transistor. Bentuknya besar. Mereknya Philips. Setelah pertandingan usai, saya senantiasa merekonstruksi pertandingan yang terjadi dalam bentuk tulisan. Mirip perilaku wartawan olahraga.

Lewat radio pula, di tahun 1966, saya diberitahu oleh teman SD saya, Sugeng Sudewo, mengenai hasil akhir pertandingan final Piala Dunia 1966. Saat itu Inggris menjadi juara dunia setelah menaklukkan Jerman Barat. Dewo, putra dari Pak Hadisubroto ini, ketika duduk di kelas 6 SD Negeri 3 Wonogiri, adalah teman saya berbagi cerita. Saya rutin membaca serial Nogososro-Sabukinten karya SH Mintardjo dan Dewo mengikuti serial Bende Mataram, karya Herman Pratikto. Saya sering bermain ping pong di rumahnya.

Di kelas 6 yang diampu oleh Pak Narwoto, ia mendapat gurauan perjodohan model anak-anak sebagai Dewo-Karsih. Sukarsih berasal dari Bauresan. Pasangan lain yang juga dijodoh-jodohkan, yang bisa saya ingat, adalah Bodong-Anna. Bahkan merek sepeda motor BSA, dimaknai sebagai singkatan Bodong Seneng Anna.

Bodong adalah sebutan gaul untuk Priambodo. Pengalaman masa kecil yang berkesan dengannya adalah ketika saya ia bolehkan menitipkan sebutir telur bebek agar bisa ikut dierami oleh ayam babon milik Bodong ini. Ketika telur itu benar-benar menetas, saya bisa membawa pulang anak bebek itu dengan perasaan takjub sekaligus gembira.

Sementara itu Anna atau Dwianna Warpinyuliastuti, adalah putri Bapak/Ibu Suwarso. Bapak Suwarso adalah seorang tentara TNI-AD di Kodim 0728 Wonogiri, kolega ayah saya. Saya ingat, setiap kali Anna yang hitam manis dan inosen itu mendapat giliran mendongeng atau bercerita di depan kelas, ia melakukan hal yang tidak bisa saya lupakan. Saat ia diharuskan menunjuk murid lain sebagai pendongeng berikutnya, Anna selalu menunjuk diri saya. Saya tak tahu alasan Anna melakukan hal itu.

Selepas SD, kami berpisah sekolah. Ia meneruskan ke SMP Negeri 2 di Bantarangin, yang hanya sekitar 50 meter dari rumahnya yang kini menjadi agen genteng Soka Kebumen dan warung soto. Hanya kakak perempuannya, Johar, yang bersekolah di SMPN 1 Wonogiri. Bodong sepertinya juga masuk ke SMPN 2.


Kembali tentang Dewo. Ketika sama-sama meneruskan ke SMP Negeri 1 Wonogiri, kami berbeda kelas. Ia duduk di klas 1A dan saya di 1 B. Ketika bermain sepakbola, Dewo tampil sebagai penjaga gawang, sementara saya sebagai penyerang. Setiap kali saya jalan kaki pagi dan melewati lapangan Sukorejo, terutama di gawang sebelah barat, kenangan masa kecil itu seolah tertayang kembali.

Saat itu saya telah melakukan solo run, ibarat Jorge Buruchaga setelah memperoleh umpan jarak jauh kaki kiri sang jenius Maradona pada Piala Dunia 1986, saya berhasil menaklukkan gawang yang dikawal Dewo, teman saya tersebut. Peristiwa ini merupakan moment of glory, mungkin satu-satunya, yang masih berbekas ketika saya mampu bermain sepakbola. Setelah itu, kiranya saya tidak bermain sepakbola lagi.

Dari enam anak laki-laki keluarga Kastanto Hendrowiharso yang pernah menekuni sepakbola hanyalah Bari, anak ketiga, dan anak nomor enam, Broto Happy W., yang kini masih bermain sepakbola untuk membela tim Tabloid BOLA, tempatnya ia bekerja. Anak kesepuluh, Basnendar HPS, menekuni basket. Saya dan Mayor Haristanto, anak keempat, sejak tahun 2000 menjadi aktivis kelompok suporter sepakbola Pasoepati, dari Solo.

Photobucket - Video and Image Hosting

Orang Wonogiri Masuk Televisi. Sebagai suporter sepakbola, saya (nomor dua dari kanan) dan Mayor Haristanto (nomor tiga dari kanan) dan Sengkut Pandega, pernah menjadi nara sumber acara One Stop Football dari stasiun televisi TV7 Jakarta. Dengan dipandu host Deasy Noviyanti, kiri, kami membincangkan peranan suporter Indonesia dalam pertandingan leg I Final Piala Tiger 2004/2005 antara tuan rumah Indonesia vs Singapura, 8 Januari 2005. Seminggu kemudian, saya dan Mayor meneruskan dukungan kepada timnas Indonesia pada leg 2 di Stadion Kallang, Singapura.


Peringatan dari Wonogiri. Bukti kecil kecintaan dan atensi saya terhadap sepakbola, selain meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000), mengelola blog Suporter Indonesia, dan sebagai pencetus komunitas Epistoholik Indonesia dan menulis esai tentang aktivitas ini, saya juga terus menulis surat-surat pembaca. Sebagai contoh di bawah ini :


Hancurnya Sepakbola Melayu
Dimuat Koran Tempo, Rabu, 22 November 2006


Tim nasional Indonesia di bawah umur 23 tahun digunduli 6-0 di penyisihan sepakbola Asian Games 2006 di Qatar. Padahal mereka sempat berlatih 4 bulan, menghabiskan biaya 28 milyar rupiah di Belanda. Asisten pelatih Bambang Nurdiansyah seperti dikutip wartawan Kompas, Samsul Hadi, yang ditanyai oleh BBC (20/11) mengabarkan bahwa Ferry Rotinsulu dan kawan-kawan itu bermain dengan “gaya sepakbola Melayu, bukan sepakbola Eropa.”

Apa yang ia maksud sebagai sepakbola Melayu ? Perlu penjelasan lebih lanjut. Yang pasti, dalam pertandingan tersebut dua pemain kita kena kartu merah dan enam pemain kena kartu kuning. Itukah cerminan “sepakbola Melayu” yang berarti pemain-pemain kita tidak mengindahkan peraturan bermain sepakbola yang berlaku secara universal ?

Tanggal 6/11/2006, di Solo, saya mewawancarai Ponaryo Astaman, kapten timnas senior kita, terkait pernyataan dia yang juga pernah dikutip oleh BBC. Kata Ponaryo, sepanjang menjadi pemain sepakbola dirinya tidak pernah sama sekali memperoleh sosialisasi mengenai pelbagai peraturan dalam bermain sepakbola. Para pemain kita, ujarnya lebih lanjut dan bagi saya sangat mengherankan, mematuhi peraturan bermain sepakbola hanya berdasar pengalaman dan instink masing-masing pribadi, yaitu ketika mereka memperoleh hukuman dari wasit. Realitas yang memprihatinkan !

Hancurnya timnas U-23 di ajang Asian Games 2006 antara lain akibat hukuman dua kartu merah dan enam kartu kuning, walau mereka berlatih di Belanda 4 bulan sekali pun, hanya menunjukkan bahwa mengubah teknik dan mental pesepakbola kita bukan hal yang bisa dilakukan secara instan. Sikap mental suka ambil jalan pintas yang dianut para petinggi PSSI, terutama yang memiliki pendekatan bahwa uang menentukan segalanya, kini terantuk oleh bukti kegagalan yang benar-benar nyata. Uang bukan segala-galanya, Bung Nurdin Halid dan Bung Nirwan Bakrie. Selamat berintrospeksi.


Bambang Haryanto
Jl. Kajen Timur 72 Wonogiri 57612


Ketika hendak merampungkan tulisan ini, saya memperoleh telepon tak terduga dari Hilman, dari Kantor Berita Radio 68H, Jakarta. Ia meminta saya untuk menjadi salah satu nara sumber dalam acara perbincangan radio bertopik sepakbola Indonesia, Jumat malam, 5 Januari 2007 mendatang. Kalau acara ini jadi berlangsung, berarti akan dua kali warga Wonogiri yang masih tinggal di Wonogiri ini, mendapat kehormatan untuk ikut berbicara di forum nasional.

Bagi saya, fenomena di atas senantiasa mengingatkan kesaktian ucapan sejarawan dan Pustakawan Konggres AS, Daniel Boorstin, bahwa setiap kemajuan teknologi komunikasi akan mendekatkan yang jauh tetapi menjauhkan yang dekat. Apakah hal yang saya lakoni sekarang ini bisa termasuk sebagai fenomena the technology paradox juga ?


Wonogiri, 1-3 Januari 2007

tmw